Aderalism, Kuas yang Menyulam Rindu Majalengka

Aderalism, Kuas yang Menyulam Rindu Majalengka

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Senin, 01 Sep 2025 08:30 WIB
Ade saat sedang membuat lukisan di Majalengka Creative Center
Ade saat sedang membuat lukisan di Majalengka Creative Center (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Majalengka -

Di salah satu ruangan Gedung Majalengka Creative Center, deretan lukisan terpajang rapi di dinding. Aroma cat minyak tercium samar, sementara seorang pria paruh baya tampak tenggelam dalam dunianya. Tangannya lincah menggoreskan kuas ke atas kanvas, seakan berbicara lewat warna dan detail.

Pria itu bernama Ade (53), lebih dikenal dengan nama Aderalism. Julukan yang ia sandang bukan sekadar nama, melainkan cerminan keyakinannya dalam berkarya.

"Realisme itu yah kita melukis dengan realistis saja. Apa adanya. Nggak perlu didramatisir, Kenapa pakai nama itu, karena meskipun saya bergelut di bidang imajinasi tapi cara berpikir saya realistis," tutur Ade belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak kecil, Ade sudah merasa seni mengalir di nadinya. Meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal seni, ia tekun belajar secara otodidak.

ADVERTISEMENT

"Mensyukuri apa yang diberi Tuhan karena merasa dikasih bakat, jadi harus diasah terus sampai jadi hobi. Saya nggak kuliah seni. Belajar otodidak dari mulai lihat karya orang, lihat pelukis yang menurut saya bagus untuk diikuti dan mendengar orang yang sedang berbicara," ujarnya.

Perjalanan hidup membawanya jauh dari tanah kelahiran. Bali menjadi rumah keduanya selama delapan tahun-tempat para seniman dari seluruh penjuru dunia bertemu dan berkarya. Namun, panggilan kampung halaman terlalu kuat untuk diabaikan.

"Saya asli orang Majalengka. Merantau ke Bali untuk mencari uang sambil belajar. Di Bali 8 tahun terus balik lagi ke sini. Atas dasar kesadaran ingin pengembangan daerah dalam bidang yang saya bisa yaitu seni rupa. Jadi buat komunitas namanya Perupa Majalengka (Peka)," kata Ade.

Ade saat sedang membuat lukisan di Majalengka Creative CenterAde saat sedang membuat lukisan di Majalengka Creative Center Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Kini, karya Ade tidak hanya mewarnai ruang-ruang di Indonesia, tapi juga sampai ke mancanegara.

"Kalau di ekspor itu harganya tergantung, kayak yang ini pesanan dari Jepang harganya Rp 3.5 juta. Dedi Mulyadi, Erick Thohir, Bang Ara, Pak Sekda, Pak Pj Bupati sama Bupati Majalengka juga pernah pesen di sini. Paling lama buatnya sampai 2 tahun. Kalau dikerjakan tidak ada gangguan paling 4 harian," ungkapnya.

Meski pesanan datang silih berganti, Ade tidak pernah menjadikan uang sebagai beban pikirannya. Ia percaya rezeki akan mengikuti selama ia tidak malas dan tetap berpikir positif.

"Dari 1995 saya mengambil sikap bahwa melukis itu sebagai profesi. Saya buat enteng saja. Hidup jangan dibuat pusing, tergantung kita menyikapinya. Dan saya meyakini setiap pekerjaan pasti ada timbal baliknya. Kan yang mengatur rezeki sudah ada, asalkan jangan males," katanya.

Kecintaannya pada seni sekaligus kerinduannya pada Majalengka mendorong Ade untuk mendirikan komunitas Perupa Majalengka (Peka) pada 2017. Komunitas ini menjadi wadah para pegiat seni rupa, dari seni lukis, ukiran, batik, hingga ecoprint-untuk bertemu dan berkarya bersama.

"Ide awalnya saya mencoba untuk merangkul orang yang bergelut dalam bidang seni rupa di Majalengka untuk buat komunitas. Tak hanya seni lukis tapi juga seni rupa bambu, batik, ukiran, relief dan ecoprit," jelas Ade.

Salah satu karya monumental komunitas ini dapat ditemukan di Taman Sejarah Majalengka.

"Karya Perupa Majalengka yang monumental itu ada di relief Taman Sejarah. Di situ ada relief yang dibuat oleh temen-temen perupa dengan memberdayakan para pengrajin batu yang di Lengkong, Majalengka. Diikutkan juga di acara seni atau karnaval," tambahnya.

Kini, sekitar 50 orang tercatat sebagai anggota Peka. Mereka rutin bertemu, melukis bersama, dan sesekali mengadakan pameran. Namun Ade berharap kegiatan pameran dapat lebih sering dilakukan, seperti masa awal komunitas ini berdiri.

"Pengin pameran bersama lagi. Soalnya dulu sering pameran bersama, tapi sekarang sudah jarang. Cuma masih temu-temu rutin saja sama belajar lukis juga setiap dua minggu sekali. Dampaknya adanya komunitas ini besar salah satunya adalah dibuatnya gedung Creative Center Majalengka," pungkasnya.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads