Sejarah Cirebon: Pedukuhan Kecil yang Menjelma Jadi Kerajaan Islam

Sejarah Cirebon: Pedukuhan Kecil yang Menjelma Jadi Kerajaan Islam

Ony Syahroni - detikJabar
Rabu, 06 Agu 2025 12:00 WIB
Gedung Balai Kota Cirebon
Gedung Balai Kota Cirebon. (Foto: Ony Syahroni)
Cirebon -

Di pesisir utara Pulau Jawa, terbentang sebuah wilayah yang sarat akan sejarah dan budaya. Dahulu, daerah itu hanya berupa pedukuhan kecil bernama Kebon Pesisir sebelum menjelma menjadi Cirebon yang dikenal hari ini.

Hingga kini, jejak masa lalu Cirebon masih terasa dan dapat dilihat keberadaannya. Bangunan-bangunan keraton, situs-situs bersejarah hingga peninggalan budaya lainnya menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang daerah berjuluk 'Kota Udang'.

Secara administratif, Cirebon merupakan sebuah daerah di Provinsi Jawa Barat yang lokasinya tepat berada di lintas utama jalur Pantura. Kini, Cirebon telah memasuki usia ke-598 tahun, sesuai peringatan hari jadi yang belum lama ini dirayakan oleh Pemerintah Kota Cirebon. Lebih dari lima abad, bukanlah usia yang singkat bagi sebuah daerah. Peringatan hari jadi Cirebon biasa dilaksanakan setiap 1 Muharram.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di balik nama Cirebon sendiri tersimpan cerita dan pesan tentang keberagaman. Cirebon semula bernama Sarumban atau Caruban yang berarti campuran. Nama ini menggambarkan bahwa sejak awal Cirebon dibangun di atas keberagaman suku, bangsa, budaya, dan agama.

Kisah tentang awal mula berdirinya Cirebon termaktub dalam naskah-naskah sejarah dan kerap disampaikan melalui sebuah tradisi, seperti pembacaan Babad Cirebon yang rutin digelar di Keraton Kanoman.

ADVERTISEMENT

Pemerhati Sejarah Cirebon Farihin Niskala menyebut salah satu kisah yang menerangkan sejarah berdirinya Cirebon tersimpan dalam naskah Purwaka Caruban Nagari.

Menurutnya, berdasarkan naskah tersebut, Cirebon mulanya hanyalah sebuah pedukuhan kecil yang dibangun oleh dua orang tokoh, yaitu Ki Danusela dan Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.

Peristiwa babad alas yang mereka lakukan untuk membuka wilayah itu terjadi pada tahun 1445. "Tahun itu dianggap sebagai awal mula Cirebon muncul," terang Farihin.

Sebab, di tahun itu pemerintah awal Cirebon terbentuk yang dikenal dengan istilah pakuwuan, dengan pemimpinnya yang disebut kuwu. Saat itu, yang menjabat sebagai kuwu adalah Ki Danusela, sementara Walangsungsang sebagai wakilnya.

Karena wilayah yang dipimpinnya saat itu banyak ditumbuhi alang-alang, Ki Danusela lalu mendapat julukan Ki Gedeng Alang-alang. Wilayah yang dipimpin Ki Danusela kala itu diisi oleh masyarakat dari berbagai suku bangsa.

"Di situ ada masyarakat dari berbagai wilayah. Ada dari Arab, Cina, Persia, India, Tumasik (Singapura), Ujung Mendini (Malaysia), Jawa, Sunda dan lain-lain," terang dia.

Mereka kemudian berembuk dan bersepakat menamai daerah yang sebelumnya bernama Kebon Pesisir menjadi Sarumban atau Caruban yang berarti campuran. "Jadi kata Caruban itu berasal dari Sarumban, artinya campuran. Nah percampuran berbagai suku, bangsa, budaya, bahasa, agama inilah yang melahirkan sebuah entitas baru yang kemudian kita kenal sebagai Cirebon hari ini," kata Farihin.

Selain itu, Farihin menuturkan lahirnya Cirebon tak lepas dari visi dan misi dakwah Islam yang dibawa Pangeran Walangsungsang. Melalui dakwahnya, Walangsungsang berhasil mempersatukan masyarakat dari berbagai suku dan budaya dalam satu ikatan kebersamaan.

"Lahirnya Cirebon ini bersamaan dengan visi-misi dakwah Islam yang dibawa oleh Pangeran Walangsungsang atas perintah gurunya, Syekh Nurjati. Tapi dasar yang dilakukan oleh Walangsungsang dalam penyebaran Islam itu adalah beliau menyatukan seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang," terangnya.

Keraton Kasepuhan Cirebon.Keraton Kasepuhan Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Mendirikan Keraton dan Pasukan

Setelah masa Pakuwuan, Pangeran Walangsungsang membentuk pusat pemerintahan berupa keraton. Sekitar tahun 1454, ia mendirikan Keraton Pakungwati lengkap dengan pasukannya.

Pangeran Cakrabuana sendiri merupakan putra dari Prabu Siliwangi, seorang raja dari Kerajaan Pajajaran. "Keraton yang dibangun Walangsungsang juga saat itu statusnya masih di bawah Kerajaan Pajajaran," kata Farihin.

Selama kepemimpinannya, Pangeran Cakrabuana berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Atas pencapaian tersebut, Prabu Siliwangi memberikan penghargaan yang disampaikan melalui utusannya.

"Prabu Siliwangi mengirim utusan Ki Jaga Bayan untuk memberi penghargaan dan memberikan kursi Gading Gilang Kencana kepada Walangsungsang," ucap Farihin.

"Dan di situlah momentum Walangsungsang kemudian diangkat sebagai Tumenggung Sri Mangana," sambung dia.

Setelah masa kepemimpinannya, Walangsungsang kemudian menyerahkan tampuk kekuasaan kepada keponakannya, yaitu Sunan Gunung Jati. "Walangsungsang mengangkat keponakannya, Sunan Gunung Jati sebagai raja berikutnya," terang Farihin.

Era Kepemimpinan Sunan Gunung Jati

Dalam Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon karya Heru Erwantoro, disebutkan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memimpin Kesultanan Cirebon sejak tahun 1479 hingga 1568.

Langkah politik pertama Sunan Gunung Jati setelah menjadi penguasa adalah menggalang kekuatan dengan Kesultanan Demak dan kerajaan Islam lainnya.

Di samping itu, ia juga berupaya membuat Kesultanan Cirebon lepas dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang ditandai dengan dihentikannya pemberian upeti berupa garam dan terasi. Dan sejak saat itu, Kesultanan Cirebon menjadi wilayah yang berdaulat.

Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon mengalami perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang. Baik di bidang keagamaan, politik hingga perdagangan. Pada masa itu, upaya mengislamkan penduduk sangat diintensifkan dan penyebaran Islam ke berbagai wilayah terus menerus dilakukan.

Pada sektor perekonomian, Kesultanan Cirebon menjalin kerja sama perdagangan dengan beberapa negara. Seperti Campa, Malaka, India, China dan Arab.

Kesultanan Cirebon juga berhasil memperluas wilayahnya dengan menguasai pelabuhan Sunda Kelapa. Penyerang ke pelabuhan Sunda Kelapa pada 1527 dilakukan oleh pasukan gabungan antara Demak, Cirebon, dan Banten. Penguasaan atas pelabuhan Sunda Kelapa itu sebagai upaya untuk membendung pengaruh Portugis.

Pedati Gede, Kereta Pengangkut Barang yang Menjadi Simbol Kejayaan Pelabuhan CirebonPedati Gede, Kereta Pengangkut Barang yang Menjadi Simbol Kejayaan Pelabuhan Cirebon Foto: Fahmi Labibinajib

Pembangunan Sarana dan Prasarana

Masih dikutip dari sumber yang sama, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Cirebon tidak hanya berfokus pada perluasan wilayah, melainkan juga membangun berbagai sarana dan prasarana.

Salah satunya memperluas keraton lama yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, yakni Keraton Pakungwati. Keraton tersebut diperluas dan dilengkapi dengan bangunan-bangunan tambahan, lengkap dengan tembok kokoh yang mengelilinginya.

Di sisi lain, perhatian Sunan Gunung Jati tertuju pada jalur transportasi air. Di sungai Kriyan, pangkalan perahu dibangun, lengkap dengan sebuah gapura bernama Lawang Sanga. Di sekitarnya, dibangun pula bengkel perahu, istal untuk kuda-kuda kerajaan, serta pos-pos penjagaan.

Sementara itu, di Pelabuhan Muara Jati dilakukan perbaikan dan penyempurnaan fasilitas-fasilitas pendukung pelayaran. Salah satunya adalah mercusuar yang dulu dibangun oleh Ki Ageng Tapa dengan dibantu oleh orang-orang China. Di pelabuhan ini juga didirikan bengkel besar untuk memperbaiki perahu berukuran besar yang mengalami kerusakan.

Tidak berhenti di situ, pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon turut membangun sarana transportasi guna mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pembangunan tersebut mencakup jalur transportasi penunjang pelabuhan laut, baik melalui sungai maupun darat.

Di masa itu, Pelabuhan Muara Jati merupakan tempat perdagangan rempah-rempah, beras, hewan potong dan tekstil. Di sekitar pelabuhan juga banyak pedagang asing yang bermukim, seperti pedagang dari China dan Arab.

Untuk menjaga keamanan wilayah, Sunan Gunung Jati membentuk pasukan yang diberi nama Jagabaya. Dengan jumlah memadai dan kemampuan yang terlatih, pasukan ini ditempatkan di pusat kerajaan hingga ke wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Cirebon.

Selain memimpin Kesultanan Cirebon, Sunan Gunung Jati juga merupakan salah seorang dari Wali Songo. Karena itu, setiap kebijakannya tidak terlepas dari upaya menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1480, ia mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terletak di sisi kiri keraton

Sunan Gunung Jati menempatkan masjid sebagai pusat dakwah Islam. Oleh sebab itu, di setiap wilayah bawahan Kesultanan Cirebon didirikan masjid jami.

Melalui berbagai langkah yang dilakukan Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi negara yang kuat dan disegani oleh negara-negara lain.

Adapun setelah Sunan Gunung Jati wafat, Kesultanan Cirebon perlahan mengalami kemunduran. Meski begitu, nama Sunan Gunung Jati masih dihormati hingga kini.

Kompleks Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon hampir setiap hari ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.

Keraton Kanoman Cirebon.Keraton Kanoman Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Warisan Kesultanan Cirebon yang Masih Bertahan

Jejak sejarah Kesultanan Cirebon masih dapat dilihat dan dirasakan melalui berbagai peninggalan yang bertahan hingga kini, baik berupa bangunan, benda bersejarah, dan lain sebagainya.

Beberapa peninggalan itu bahkan masih berdiri kokoh dan kini difungsikan sebagai destinasi wisata sejarah.

Pengunjung tidak hanya dapat menikmati keindahan arsitekturnya, tetapi juga mempelajari kisah yang terkandung di balik setiap detailnya.

Beberapa destinasi populer yang menjadi warisan Kesultanan Cirebon, di antaranya Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, Taman Air Goa Sunyaragi dan beberapa peninggalan lainnya.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads