Siang itu tepatnya di bulan Sura dalam kalender Jawa, sejumlah warga di Desa Larangan, Kecamatan Lohbener, Kabupaten Indramayu tampak sibuk. Di halaman rumah salah seorang sesepuh setempat, warga saling bergotong royong membuat bubur. Yakni bubur Sura.
Perlu diketahui, pembuatan bubur Sura ini sudah menjadi tradisi turun-temurun. Bagi warganya, membuat bubur tidak lah sulit. Mereka terlihat kompak mengolah bahan serta bumbu dari aneka rempah yang sudah tersedia.
Tak hanya bapak-bapak. Para ibu-ibu pun tak mau ketinggalan. Mereka juga terkadang mengambil bagian saat memasak bubur Sura dalam wajan yang besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bubur Sura ini biasanya dilakukan oleh sesepuh di Desa setempat. Tapi dikerjakan secara ramai bersama warga lainnya. Intinya sih menyambut tahun baru Jawa, di bulan Sura," kata Sesepuh Desa Larangan, Tarjaya kepada detikJabar, Rabu (16/7/2025).
Dipaparkan Tarjaya, penanggalan dalam istilah Jawa khususnya di wilayah Cirebon dan Indramayu sedikit berbeda dengan penanggalan Hijriyah. Biasanya, istilah tahun ditentukan sesuai perhitungan dalam 1 Windu.
Penanggalan dalam kalender Jawa biasanya menggunakan metode per 1 Windu. Umumnya kalender Jawa itu juga disebut metode Arbaniah.
"Sura (bulan Jawa) tahun ini namanya Daltumis atau uraian dari tahun Dal, hari Sabtu Manis/Legi," paparnya.
Artinya lanjut Tarjaya, tanggal 1 pada awal bulan Sura di tahun ini jatuh pada hari Sabtu Legi. Hal itu pun selisih 1 hari dengan sistem penanggalan Hijriyah, dimana tanggal 1 Muharam jatuh di Hari Jumat Kliwon.
"Biasanya kita itu beda sehari sama Salafiyah atau yang banyak orang kenal Hijriyah. Kalau Hijriyah Jumat berarti kitanya Sabtu," ucap Tarjaya paparkan penentuan tanggal 1 Sura dalam kalender Jawa.
Disebutkan Tarjaya, dalam kalender Jawa, terdapat 8 nama berbeda untuk setiap tahunnya. Hal itu disesuaikan dengan perhitungan setiap Windu.
Ia menyebut awal tahun dalam sewindu bernama Aboge (Tahun Alif, Hari Rabu Wage). Serta di tahun ke delapan disebut Kirmage (Tahun Jim akhir, Hari Jumat Wage).
Sementara untuk hari dan pasaran Pancawara itu dipastikan jatuh setiap tanggal 1 Sura.
"Nah, penentuan nama tahun itu digunakan untuk setiap Windu. Jadi kalau sudah sewindu nanti balik lagi. Dan tanggal 1 Sura-nya itu pasti akan jatuh di hari dan pasaran sesuai tahunnnya," paparnya.
![]() |
Adapun lanjut Tarjaya, setelah Aboge, tahun kedua bernama Hekadpon (tahun He, hari Ahad/Minggu, pasaran Pon). Kemudian Walmapon (tahun Jim Awal, Hari Jumat, pasaran Pon), lalu Jesahing (tahun Je, hari Selasa, pasaran Pahing).
"Tahun ini itu ke 5 dalam Windu. Namanya Daltumis (tahun Dal, Sabtu manis) lihat aja di kalender, hari sabtu pasti pasarannya legi," kata Tarjaya.
Setelah itu tahun Bemismis (tahun Ba, hari Kamis, pasaran Manis/Legi). Lalu Wonnenwon (tahun Wau, hari Senin, pasaran Kliwon). Setelah itu di tahun ke 8 disebut Kirmage (tahun Jim akhir, hari Jumat, pasaran Wage).
"Kalau tahunnya kayaknya sih sama dengan Hijriyah. Soalnya kan nama Aboge itu persilangan dari huruf Hijaiyah dari arab dan harinya dari nama Jawa," terangnya.
Di sisi lain, pembuatan bubur Sura juga dijadikan ajang mempererat tali silaturahmi dengan warga sekitar. Uniknya, makanan yang ada sejak zaman dulu itu dipercaya memiliki banyak khasiat untuk kesehatan tubuh.
Pasalnya, bubur Sura itu dibuat dari ragam bahan dan perpaduan bumbu rempah. Terutama dari aneka pangan hasil bumi, buah hingga rempah.
"Hebatnya leluhur kita. Menjaga kebugaran tubuh itu diolah dulu jadi bubur. Soalnya kan kalau kita makan kencur mentah itu kurang enak, makanya di olah dulu jadi bubur," ungkapnya.
(yum/yum)