Setelah bertahun-tahun hanya menerima janji tanpa realisasi, kesabaran warga Desa Japura Kidul, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, akhirnya mencapai titik nadir. Puluhan warga nekat menutup jalan poros kabupaten yang menghubungkan antar desa dengan pagar bambu dan batang pohon pisang. Tak hanya itu, aksi protes juga diwarnai dengan aksi dramatis "mandi lumpur", sebagai simbol keputusasaan mereka terhadap kondisi jalan yang rusak parah.
Aksi dilakukan di jalan poros sepanjang 500 meter yang menjadi akses vital bagi warga dari Desa Japura Kidul, Japura Lor, dan Beringin. Kondisi jalan yang sudah rusak selama lebih dari dua dekade ini tak hanya menghambat aktivitas harian, tetapi juga menimbulkan kecelakaan.
"Sudah sembilan orang jatuh di jalan ini, rata-rata pagi hari saat menuju pasar atau masjid," ungkap Ahmad Yunus, salah satu warga yang ikut dalam aksi, Selasa (8/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ahmad, kerusakan jalan yang memburuk setiap musim hujan membuatnya berubah menjadi kubangan lumpur licin. Warga pun merasa dikhianati oleh janji-janji manis dari berbagai pihak yang tak kunjung ditepati.
"Kami ini nggak minta jembatan emas, hanya jalan yang bisa dilalui. Jangan cuma datang pas kampanye," ujarnya dengan nada geram.
Lebih dari sekadar infrastruktur, jalan tersebut adalah urat nadi kehidupan warga. Akses menuju sekolah, puskesmas, pasar, hingga tempat ibadah semua bergantung pada jalan ini. Saat rusak, kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat ikut terhambat.
"Kami cuma minta pemerintah buka mata dan buka hati. Jalan ini hak kami sebagai warga negara," tutup Ahmad.
Kepala Desa Japura Kidul, Heriyanto membenarkan, bahwa desanya telah berulang kali mengajukan usulan perbaikan jalan ke Pemerintah Kabupaten Cirebon. Namun semua upaya itu selalu mentok di meja birokrasi.
"Kami sudah coba perbaiki secara swadaya, tapi jalan ini statusnya jalan kabupaten. Dana desa tidak bisa digunakan untuk perbaikan," jelas Heriyanto.
Ia mengaku, sering menjadi sasaran kemarahan warga karena dianggap tidak bertindak. Padahal, sebagai kepala desa, ia terikat aturan dan tidak memiliki wewenang untuk mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur milik kabupaten.
"Kami ini seperti tameng. Padahal kami juga bingung harus bagaimana lagi," katanya pasrah.
Aksi penutupan jalan dan mandi lumpur ini, menurut Heriyanto, adalah bentuk kekecewaan warga yang sudah memuncak. Ia berharap, pesan dari aksi damai ini bisa sampai ke telinga pejabat yang berwenang.
"Warga sudah tidak ingin dijanji-janjikan lagi. Kalau tidak didengar, bukan tidak mungkin aksi berikutnya akan lebih besar," pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pemerintah Kabupaten Cirebon terkait respons terhadap aksi warga ini.
(mso/mso)