Urgensi Revisi KUHAP di Mata Akademisi Cirebon

Urgensi Revisi KUHAP di Mata Akademisi Cirebon

Devteo Mahardika - detikJabar
Kamis, 27 Feb 2025 21:00 WIB
Sejumlah guru besar di Cirebon berkumpul membahas RKUHP
Sejumlah guru besar di Cirebon berkumpul membahas RKUHP (Foto: Devteo Mahardika/detikJabar)
Cirebon -

Akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Cirebon mendesak agar adanya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Revisi dibutuhkan agar relevan dengan perkembangan hukum modern.

Gagasan tersebut mengemuka dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon atau Cyber Islamic University (CIU) pada Kamis (27/2/2025).

FGD bertajuk 'Revisi KUHAP: Sejauhmana KUHAP Menjawab Tantangan Hukum Pidana Modern' ini digelar di Auditorium Pascasarjana lantai III dan menghadirkan sejumlah pakar hukum sebagai narasumber.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pemaparannya, Prof. Jamali menegaskan bahwa pembahasan revisi KUHAP saat ini perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, birokrat, dan aparat penegak hukum. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi.

"Revisi KUHAP harus dilakukan secara cermat dan inklusif agar dapat diterima oleh masyarakat luas dan menjawab tantangan hukum pidana modern," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Para narasumber dalam diskusi ini memberikan berbagai masukan dan kritik terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang tengah dibahas di DPR RI.

Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Sugianto, S.H., M.H sekaligus akademisi dari UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Dia menegaskan, bahwa revisi KUHAP tidak boleh dilakukan secara eksklusif oleh pemerintah dan legislatif saja. Ia mendorong keterlibatan aktif akademisi, LSM, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil dalam pembahasannya.

"KUHAP adalah instrumen hukum yang mengatur proses peradilan pidana, sehingga revisinya harus mempertimbangkan berbagai perspektif agar tidak memunculkan polemik di kemudian hari," ujarnya.

Prof. Sugianto juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap proses revisi KUHAP yang dianggap terlalu cepat. Dengan rencana pengesahan pada 21 Maret 2025, ia menilai masih banyak aspek yang perlu diperbaiki agar revisi ini benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat.

"Jangan sampai revisi ini dilakukan secara terburu-buru tanpa kajian yang mendalam. Jika dipaksakan, revisi ini justru bisa menimbulkan permasalahan hukum baru di kemudian hari," tegasnya.

Sedangkan Dr. H. Dudung Hidayat, S.H., M.H., dari Universitas Gunung Jati Cirebon, menyoroti ketidakjelasan aturan mengenai penyelidikan dalam draf revisi KUHAP. Menurutnya, regulasi yang tidak tegas dalam tahap penyelidikan bisa membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik.

Hal senada disampaikan oleh Dr. H. Rusman, S.H., M.H., yang mengkritik beberapa pasal dalam revisi KUHAP yang dianggap belum mencakup pengertian penyelidikan secara utuh.

"Ketidaktegasan aturan tentang penyelidikan dalam KUHAP dapat berpotensi melanggar hak asasi tersangka dan menciptakan ketidakpastian hukum," tegasnya.

Sementara itu, Dr. H. Hermanto, S.H., M.H., menyoroti masalah penyitaan barang bukti tanpa izin dalam keadaan mendesak yang diatur dalam revisi KUHAP. Menurutnya, aturan ini berpotensi disalahgunakan jika tidak diawasi secara ketat.

Salah satu gagasan menarik dalam diskusi ini adalah usulan agar konsep Restorative Justice dimasukkan dalam revisi KUHAP. Restorative Justice adalah pendekatan hukum yang lebih menitikberatkan pada pemulihan hubungan sosial dibandingkan sekadar penghukuman terhadap pelaku kejahatan.

"Dalam banyak kasus ringan, pendekatan Restorative Justice lebih efektif karena memungkinkan adanya penyelesaian yang adil bagi korban dan pelaku," ujarnya.

Sebagai bentuk kontribusi akademik, Cyber Islamic University (CIU) berkomitmen untuk terus mengawal proses revisi KUHAP dengan kajian ilmiah yang mendalam. Hal ini diharapkan dapat memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan benar-benar mewakili kepentingan hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads