Di sepanjang jalan Siliwangi, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon terdapat banyak peninggalan sejarah dari mulai abad ke 16 hingga pasca kemerdekaan. Banyaknya peninggalan sejarah, tidak lepas dari fungsi Jalan Siliwangi sebagai jalan tertua di Cirebon. Diperkirakan rute Jalan Siliwangi sudah ada sejak abad ke 15.
Pegiat sejarah dari komunitas Cirebon History, Putra Lingga Pamungkas mengatakan salah satu alasan kenapa Jalan Siliwangi menjadi jalan tertua di Cirebon karena pada masa Sunan Gunung Jati, jalan Siliwangi menjadi penghubung antara Keraton Cirebon yang menjadi pusat pemerintahan, dengan Astana Gunung Sembung yang menjadi rumah bagi Sunan Gunung Jati.
"Jadi Sunan Gunung Jati kalau mau ke keraton lewatnya ke sini," tutur Lingga beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Tugu yang Jadi Saksi Cirebon Merdeka Duluan |
Jalan Siliwangi sendiri diambil dari nama seorang raja dari Pajajaran, bernama Prabu Siliwangi. Pada masa Hindia-Belanda, Jalan Siliwangi banyak dibangun rumah, sekolah, hotel dan bangunan pemerintahan. Beberapa bangunan masih bisa dilihat hingga sekarang. Tapi ada beberapa bangunan juga yang sudah runtuh dan beralih fungsi.
Di mulai dari perempatan Jalan Siliwangi yang terdapat tugu proklamasi. Di bangun untuk memperingati pembacaan naskah proklamasi pada tanggal 15 Agustus 1945. Bentuknya mirip pensil, yang memiliki tinggi 3 meter dengan warna putih sebagai warna dominan.
Proklamasi yang dilaksanakan dua hari sebelum kemerdekaan tersebut, dibacakan Dr Soedarsono di Alun-Alun Kejaksan. Ada sekitar 100 orang yang mengikuti pembacaan proklamasi. Konon, naskah proklamasi yang dibacakan lebih panjang dibandingkan dengan naskah proklamasi yang dibacakan Soekarno.
Berjarak 200 meter dari tugu Proklamasi, terdapat bangunan SMP Negeri 1 Kota Cirebon. Salah satu bangunan sekolah, merupakan bekas bangunan sekolah kolonial Belanda. Menurut Lingga, dulu, SMP Negeri 1 Kota Cirebon bernama Meer Uitgebreid Lager Oderwijs (MULO) yang dibangun tahun 1925.
![]() |
MULO merupakan setingkat Sekolah Menengah Pertama atau SMP. Dibangunnya sekolah oleh pemerintahan kolonial dan tidak peruntukan untuk penduduk pribumi tapi khusus untuk anak-anak keturunan Belanda, Eropa dan anak Sultan. Bahasa keseharian yang digunakan pun adalah bahasa Belanda.
Menyeberang dari sekolah SMP Negeri 1. Terdapat tanah kosong yang difungsikan sebagai tempat parkir. Padahal dahulu tanah kosong tersebut berdiri salah satu hotel zaman Hindia Belanda di Cirebon, bernama Hotel Green. Pada masa Agresi Militer Belanda, Hotel Green jadi markas tentara Belanda.
"Tahun 1947 ketika agresi militer, Belanda menduduki objek penting di Cirebon termasuk hotel, stasiun, rumah sakit, pelabuhan dan lain sebagainya," tutur Lingga.
Lingga sendiri belum menemukan data yang pasti mengenai kapan diruntuhkannya hotel, yang sekarang berubah menjadi tempat parkir kendaraan. Namun, menurut Lingga, kemungkinan Hotel Green diruntuhkan setelah Indonesia merdeka.
![]() |
Di samping Hotel Green tepatnya di belakang salah satu gerai perbelanjaan, ada rumah dengan arsitektur kolonial. Menurut Lingga, dulunya rumah tersebut merupakan rumah dinas bagi kepala sekolah di MULO. Tidak jauh dari tempat hotel Green ada beberapa gedung dengan arsitektur Hindia Belanda lain. Tapi sudah beralih fungsi menjadi pertokoan.
Berjalan sebentar, terdapat gedung Balai Kota Cirebon. Berdiri dengan gaya arsitektur art deco sebuah gaya bangunan yang menggambarkan kebebasan. Meski berusia lebih dari seratus tahun. Balai Kota Cirebon masih kokoh berdiri. Di bangun oleh Gammente Cirebon lewat arsiteknya JJ. Jiskoot pada tahun 1924 sampai tahun 1927. Pada masa kolonial gedung balai kota dijadikan sebagai pusat pemerintahan.
Lingga menjelaskan, sebelum dibangun balai kota, pusat pemerintahan Cirebon berada di Kebumen dekat dengan gedung Bundar dan SMP 14 Kota Cirebon.
"Jadi di situ ada satu gedung namanya gedung residen Cirebon yang mencakup sewilayah 3 Cirebon. Tidak ada Kota Cirebon, nggak ada Kabupaten Cirebon. Tapi residen Cirebon," tutur Lingga
Terdapat beberapa ruangan di dalam balai kota. Di atas pintu salah satu ruangan, ada tulisan Per Aspera ad Astra yang berarti dari jerih payah menuju bintang. Menurut Lingga, semboyan ini dicetuskan sebagai filosofi agar Cirebon bisa bangkit dari keterpurukan.
"Ketika itu Cirebon, sedang masa sulit, banyak yang terjadi dari mulai kebanjiran, penyakit menular dan sungai kotor. Kemudian 1906 Gammente Cirebon dengan tekad kuatnya, membangun Cirebon sebagai kota yang maju," tutur Lingga.
Di ruangan yang lain terdapat pintu masuk menuju ruang bawah tanah alisan bunker. Dahulu bunker dibuat agar para pejabat pemerintahan bisa melarikan diri dengan mudah ketika ada penyerangan. Konon, jalur bunker tersebut bisa tembus sampai Pelabuhan Cirebon.
Tidak jauh dari pintu masuk ruang bawah tanah, terdapat tangga untuk akses menuju ruang sirene. Sirene tersebut terletak di bagian atap gedung. Digunakan sebagai tanda masuk dan pulang para pejabat pemerintahan Hindia Belanda. Walaupun sudah berusia seratus tahun lebih, sirene masih dapat dibunyikan hingga sekarang. Di bulan Ramadan, sirene dibunyikan ketika masuk waktu imsak dan berbuka puasa.
Dari gedung balai kota, berlanjut ke Stasiun Kejaksan. Tepat di samping Jalan Siliwangi, ada lokomotif kereta yang dibuat pada tahun 1887. Lebih tua dari stasiun Kejaksan yang berdiri tahun 1912. Dahulu, ada sekitar 11 unit lokomotif yang dikirim dari Jerman ke Indonesia. Namun dari 11 lokomotif, yang tersisa hanya lokomotif yang ada di Cirebon. Lokomotif tersebut berjenis B1304.
![]() |
Meski sudah berusia lebih dari seratus tahun, lokomotif masih terlihat kokoh berdiri.Dengan warna hitam pekat, lokomotif yang memiliki tinggi 3700 mm, panjang 8023 mm dan berat 27 ton serta kecepatan tempuh 60 km perjam tersebut, menjadi monumen penyambutan sebelum masuk stasiun Kejaksan. Berlanjut, masih di sepanjang Jalan Siliwangi, berjarak sekitar 400 meter dari lokomotif kereta, Ada makam yang di dekatnya terdapat batu yang berbentuk mirip alat vital laki-laki.
Batu yang letaknya tepat di depan Pasar Kramat tersebut dikenal dengan batu Celak, sedangkan makam yang berada disampingnya merupakan makam seorang tokoh yang bernama Datuk Pardun. Sosok Datuk Pardun sendiri, merupakan anak dari Syekh Siti Jenar yang mendapatkan hukuman mati oleh dewan wali sanga setelah memberontak kepada kerajaan.
Mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh dewan wali sanga, membuat Datuk Pardun ingin membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Akhirnya bertemulah dengan Panembahan Ratu I yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati. Sebagai tanda atas pemberontakan Datuk Pardun, akhirnya di dekat makamnya diberikan batu Celak yang berbentuk alat kelamin laki-laki. Bertujuan agar setiap orang yang melihat batu tersebut tidak bersikap seperti Datuk Pardun.
Namun, karena bentuknya yang unik, ada mitos yang dipercaya sebagian masyarakat bahwa batu Celak di makam Datuk Pardun dapat meningkatkan kesuburan. Tidak hanya di Kota Cirebon, batu Celak juga dapat dilihat di Pasar Keramat yang ada di Dukuh Puntang, Kabupaten Cirebon. Itulah beberapa tempat bersejarah di sepanjang Jalan Siliwangi, Kota Cirebon
(dir/dir)