KH Abdul Syakur Yasin atau dikenal Buya Syakur merupakan salah seorang ulama besar di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Buya Syakur sempat mengeluhkan sakit lambung dan pada Rabu (17/1/2024) sekitar pukul 01.22 WIB. Kemudian, beliau wafat di RS Mitra Plumbon Cirebon.
Buya Syakur yang juga dikenal umat muslim Tanah Air sebagai ulama berkharismatik ternyata memiliki perjalanan panjang di masa hidupnya yang menginspirasi. Kiai kelahiran 2 Februari 1948 di Kecamatan Kertasmaya, Kabupaten Indramayu itu dikenal sosok cendekiawan yang banyak menimba ilmu di sejumlah negara. Mulai dari Mesir, Irak, Tunisia dan negara lainnya. Termasuk di beberapa negara di Eropa dan Afrika.
Ketua Ponpes Cadangpinggan Kecamatan Sukagumiwang Miftahul Jannah menyebut, Buya Syakur saat masih menjadi mahasiswa di luar negeri dikenal aktif dalam berbagai kegiatan. Salah satunya ia pernah memimpin sebuah kegiatan majalah di Tunisia. Bahkan, beliau termasuk orang yang juga berkawan dengan tokoh besar lainnya seperti almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Quraish Shihab.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beliau jadi orang pertama yang masuk tes lulus perguruan tinggi di Tunisia. Kemudian beliau di sana jadi ketua majalah di sana lah. Kemudian dia dengan Gus Dur, Nur Cholis Majid, Quraish Shihab, beliau membuat grup diskusi," kata Miftahul Jannah, Kamis (18/1/2024).
Meski dari keluarga sederhana, Buya Syakur selain banyak mendapat kesempatan menyelesaikan pendidikan tinggi di luar negeri. Beliau juga sempat diangkat sebagai staf ahli di Kedutaan Besar, Kementerian Luar Negeri di Tunisia.
"Kemudian jadi staf Duta Besar di Tunisia membidangi politik, makanya beliau paham dengan politik di Timur Tengah," imbuhnya.
Singkatnya, sekitar tahun 1991, Buya Syakur ketika itu kembali ke Tanah Air setelah bertahun-tahun menimba ilmu di negeri orang. Ia pun aktif berdakwah dari kampung ke kampung lainnya yang ada di Kabupaten Indramayu. Beliau juga mendirikan sebuah pondok pesantren yang saat itu masih bernama Ponpes Yasiniyah.
Seiring waktu, jumlah santri di pondok pesantren yang dibangunnya semakin meningkat. Sehingga, sekitar tahun 1996, ia mengambil keputusan untuk membuat pondok di Kecamatan Sukagumiwang yang kini bernama Ponpes Cadangpinggan.
Sekedar diketahui, saat ini terdapat sekitar 600-an santri yang menetap di Ponpes Cadangpinggan. Selain belajar ilmu agama mereka juga belajar di sekolah formal dari tingkat SMP, SMA dan SMK sederajat.
Kelembutannya saat berdakwah, cara penyampaiannya yang mudah dipahami menjadi satu kenangan yang tidak terlupakan bagi jemaah dan santri.
"Banyak pemahaman yang berbeda yang menurut saya itu lebih paham, dan mudah dicerna, contoh ketika menjelaskan kata takwa, beliau menjelaskan arti yang bisa mudah dipahami oleh kita," ungkap Miftahul Jannah.
Kehilangan sosok Buya Syakur juga dirasakan H Tokidin. Sebagai pengurus pondok yang sudah mengikuti kegiatan Buya sejak tahun 1992, Tokidin merasa sangat kehilangan.
Bagi Tokidin, Buya termasuk orang yang nilai toleransi cukup tinggi. Seperti yang banyak ia dapatkan dari pesan Buya tentang menghormati manusia.
"Beliau itu merangkul semua tidak memandang agamanya apa, etis mana, dia salat atau tidak sepanjang dia manusia hendaknya kita hargai gitu. Karena Allah SWT juga menyuruh malaikat untuk menghormati manusia itu sebelum manusia punya agama apa dan sebagainya" ungkap Tokidin.
Tidak hanya itu, pesan Buya Syakur yang dia kenang salah satunya beliau sangat menghormati perempuan. Di antaranya beliau menafsirkan sisi keadilan tentang pembagian waris dengan kondisi sosial masyarakat.
"Begitu pesan beliau apalagi kepada perempuan, beliau sangat menjunjung tinggi sangat membela perempuan gitu selama yang saya pahami," ujarnya.
"Termasuk penafsiran ayat-ayat tentang waris kan kalau secara tekstual dalam Al-Qur'an itu lelaki, itu dua kali lipat dari perempuan. Itu kan yang di Arab kalau di kita kan perempuan juga ikut membangun perekonomian. Ini terlihat melawan arus tapi itu melihat dari sisi keadilan itu dengan kondisi di sini," jelasnya.
Seiring waktu, rutinitas dakwah Buya Syakur semakin padat. Tak hanya memberikan pengajian rutin di lingkungan Pondok Pesantren, ia pun sering mengisi pengajian di luar daerah dari Bandung hingga Jakarta.
Bahkan, di era modern saat ini, penyampaian dakwah Buya Syakur juga mulai dilakukan secara online di berbagai media sosial. Mulai Instagram hingga YouTube.
"Ya jadwal itu dari ngaji setiap malam Senin, malam Jumat. Kemudian ngaji di undangan-undangan gitu ada di Bandung, di Jakarta," kata Miftahul Jannah.
Tidak hanya itu, Buya Syakur juga sering melakukan zikir di sekitar pantai hingga di tengah hutan yang ada di Indramayu. Menurutnya, rutinitas itu dimulai sejak tahun 1990 lalu, di mana Buya Syakur mengikuti jejak para nabi.
Salah satunya kata Miftahul Jannah menjelaskan para nabi itu kan mendapatkan pencerahan setelah berzikir. Kalau nabi Khidir AS kan di laut, kalau nabi Ibrahim AS di padang pasir.
"Nah kalau kita di Indramayu kan ada hutan dan pantai. Dari tahun 2000 tapi kalau yang di hutan itu dari tahun 1990, tadinya pindah-pindah cuma karena usia juga dan alas (hutan) juga sudah berkurang jadi tempatnya di Terisi aja," ungkapnya.
(sud/sud)