Buitenzorg, Kota yang Lahir dari Lelahnya Seorang Penguasa Kolonial

Lorong Waktu

Buitenzorg, Kota yang Lahir dari Lelahnya Seorang Penguasa Kolonial

Andry Haryanto - detikJabar
Selasa, 07 Okt 2025 07:30 WIB
Hotel Bellevue te Buitenzorg
Hotel Bellevue te Buitenzorg (Foto: Leiden University Libraries)
Bogor -

Bila Bandung diimajinasikan oleh Pidi Baiq sebagai kota yang tercipta karena Tuhan sedang tersenyum, maka Buitenzorg, nama lama untuk Bogor, lahir karena Gustaaf Willem baron van Imhoff sedang mengeluh. Ia lelah dengan Batavia yang lembab, kanal-kanalnya berbau, dan udaranya yang seperti uap panas dari neraka.

Dalam pikirannya terlintas keinginan sederhana, tapi dengan daya cipta besar. Sebuah kota di dataran tinggi, sejuk, sunyi, dan bebas dari segala beban kekuasaan. Dari imajinasi itu lahir nama Buitenzorg, yang secara harfiah berarti tanpa kekhawatiran, zonder zorg. Tulisan ini disarikan dari Jurnal Jaarboek Monumentenzorg berjudul Buitenzorg & Istana Bogor: Eén en dezelfde?, karya Peter van Dun, dan terbit pada 2002.

Jika Bandung bagi Pidi Baiq lahir dari cinta, maka Buitenzorg lahir dari pelarian. Dari keinginan seorang penguasa kolonial untuk beristirahat dari dunia yang ia atur sendiri, tercipta kota yang sejuk dan hijau, yang kemudian tumbuh menjadi ruang hidup bersama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buitenzorg adalah kisah tentang manusia yang ingin beristirahat, tentang kekuasaan yang mencari kesejukan, dan tentang warisan yang terus hidup selama ada yang bersedia merawatnya.

ADVERTISEMENT

Berawal pada tahun 1745, Van Imhoff membeli sebidang tanah di kaki gunung, sekitar enam puluh kilometer selatan Batavia. Ia mendirikan vila peristirahatan yang menjadi awal berdirinya Istana Buitenzorg, kelak dikenal sebagai Istana Bogor.

Nama itu menandai upaya seorang gubernur jenderal melarikan diri dari panas dan wabah di Batavia. "Dialah yang pertama kali memutuskan membeli tanah dan membangun kediaman di luar Batavia," tulis Van Dun (hal.161).

Bangunan sederhana itu kemudian berkembang menjadi kediaman resmi musim panas para gubernur jenderal Hindia Belanda. Pada abad ke-19, halaman istana dikelilingi kebun botani yang kelak dikenal sebagai Kebun Raya Bogor.

Van Dun mencatat bahwa kebun itu bukan hanya memperindah lanskap, melainkan juga menjadi lambang kekuasaan dan pengetahuan Eropa di tanah jajahan. "kebun raya itu masih ada dan menjadi salah satu daya tarik utama Bogor hingga kini," beber Van Dun. (hal.160-161).

Di sekeliling istana, kehidupan kolonial tumbuh. Di selatan berdiri Chinese Kamp yang pusat perdagangan Tionghoa. Di utara tumbuh kampung-kampung pribumi, di barat berdiri stasiun kereta, kantor residen, gereja, sekolah St. Vincentius, kantor pos, dan vila-vila Eropa.

Peta Baedeker 1914 yang dikutip Van Dun menunjukkan Buitenzorg sebagai kota kecil yang menopang kehidupan istana. Kini, setelah dua setengah abad berlalu, kota itu telah menjadi permukiman menengah dengan populasi sekitar 700.000 jiwa (jumlah penduduk pada saat jurnal dibuat). "Dianggap sebagai kota satelit Jakarta," ungkap Van Dunn (hal.161).

Ketika Herman Willem Daendels berkuasa (1808-1811), ia memperkuat posisi Buitenzorg dengan membangun Grote Postweg atau Jalan Raya Pos. Jalan ini difungsikan untuk menghubungkan Batavia, Buitenzorg, dan Bandung.

Jalan itu melaju lurus ke arah gerbang istana, simbol paling konkret dari bagaimana kekuasaan kolonial menghubungkan pusat pemerintahan dengan ruang peristirahatannya.

Tapi alam punya caranya sendiri untuk mengingatkan manusia akan kesementaraan. Pada 10 Oktober 1834, gempa besar mengguncang Buitenzorg dan meruntuhkan istana lama. Tiga tahun kemudian, pada 1837, istana dibangun kembali dengan rancangan baru.

"Bangunan putih bergaya neoklasik, berlantai satu, dengan kubah emas kecil di atas pintu utama," tulis Van Dun (hal.161-162).

"Karena gempa pada 1834, bangunan yang semula dua lantai dipugar kembali dan menjadi satu lantai," kata Ina, pemandu tur di Galeri Bumi Parawira, Bogor, kepada detikjabar, akhir pekan lalu.

Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menjadikan Istana Bogor sebagai kediaman resminya. Ia menata ulang interior dan menambahkan paviliun untuk tamu negara. Di istana ini pula, jurnalis Belanda Aad van der Heuvel melakukan wawancara terakhir dengannya.

Namun ketika masa Presiden Soeharto tiba, istana itu berubah menjadi ruang yang diam. "Istana itu kosong. Ia dirawat, tapi tidak dihuni. Dijaga, tapi tak dihidupi," tulis Van Dun (hal.162).

Tahun 1989, pemerintah Indonesia meminta bantuan teknis kepada Belanda untuk memeriksa kondisi bangunan. Delegasi teknis yang datang dipimpin oleh Peter van Dun sendiri, bersama arsitek dari Rijksdienst voor de Monumentenzorg (RDMZ) dan TU Delft.

Mereka diterima oleh Prof. Dr. Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di sanalah terucap kalimat yang menandai babak baru hubungan sejarah dua bangsa.

"Mari kita sebut ini warisan bersama," kata Van Dun (hal.163).

Kalimat itu, menurut Van Dun, doorbrak de barrière. Ia mengistilahkannya memecah penghalang dan rasa canggung terhadap istilah koloniaal erfgoed. Sejak saat itu, lahirlah kebijakan baru di Belanda bernama HGIS Cultuur, dana pelestarian warisan bersama.

Hasil pemeriksaan tim menunjukkan bahwa bangunan masih dalam kondisi baik, hanya portiko baja dari tahun 1952 yang berkarat dan sistem penangkal petir yang perlu diperbaiki. Rencana pemanfaatan ulang pun muncul untuk menjadikan istana sebagai galeri seni, monumen negara untuk konferensi internasional, dan tempat menginap tamu kenegaraan.

Namun, seperti dicatat Van Dun, rencana itu berhenti di tahap saran, karena alih kelola dari lembaga kepresidenan ke kementerian tak pernah benar-benar terjadi.

Dalam bagian akhir laporannya, Van Dun memerhatikan Bogor yang tumbuh di sekitar istana. Ia menulis tentang pentingnya memperbaiki kampung melalui Kampong Improvement Programme (KIP), membenahi ruang publik, air, dan sanitasi.

Ia juga menyoroti kawasan Tionghoa lama dan permukiman Eropa 1920-an yang masih berfungsi baik. Namun ia juga memberikan catatan sekaligus kekhawatiran nasib Kota Bogor ke depannya karena pembangunan yang masif.

"Jika penebangan pohon untuk perluasan jalan terus dilakukan, karakter hijau Bogor akan hilang," tulis Van Dunn (hal.163).

Seperti Bandung dalam kalimat Pidi Baiq, yang lahir dari senyum Tuhan, Buitenzorg Van Imhoff lahir dari letih manusia. Namun kesamaan muncul dari dua tempat ini, yaitu sebagai takdir di mana imajinasi, alam, dan sejarah saling bertemu.

Halaman 3 dari 2
(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads