Pada pagi 22 Maret 1952, kuda yang ditunggangi Perdana Menteri Ceylon (sekarang Sri Lanka) Don Stephen Senanayake terhuyung di jalanan pantai Kolombo. Sang perdana menteri jatuh dari pelana, terluka, dan tak lama kemudian wafat.
Dari ranjang sakitnya, ia menunjuk putranya, Dudley, sebagai pengganti. Namun dua nama lain, Solomon Bandaranaike dan John Kotelawala, sudah lama bercita-cita menjadi pemimpin negeri pulau itu.
Setahun berselang, lewat pemilu, John Kotelawala berhasil merebut kursi perdana menteri dan segera merancang arah baru bagi diplomasi Ceylon. Ia percaya negara-negara kecil Asia tak boleh lagi berjalan sendiri-sendiri. Kotelawala menghidupkan kembali gagasan federasi Asia yang pernah didengungkan Bandaranaike, dan menjadikannya proyek besar untuk menghimpun negara-negara baru merdeka dalam satu forum, satu meja, satu gagasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Musim semi 1954, ia mengundang para pemimpin India, Burma, Pakistan, dan Indonesia. Pertemuan di Kolombo itulah yang kemudian disebut melahirkan Colombo Powers. Lima negara ini memutuskan bahwa mereka harus memiliki pengaruh lebih besar dalam urusan internasional.
"Ketika pertama kali berkumpul pada 1954, Colombo Powers meyakini bahwa mereka adalah perwujudan Asia yang bangkit kembali," tulis Cindy Ewing dalam jurnal Cold War History (2019).
Bagi Kotelawala dan kolega, kedaulatan negara-negara baru merdeka harus dijaga dari campur tangan blok Barat maupun Timur, dan Asia perlu bicara dengan suaranya sendiri dalam soal perdamaian dan konflik.
Konteksnya saat itu adalah Perang Dingin yang memanas. Dunia terbelah, tetapi Asia baru saja keluar dari cengkeraman kolonialisme. Para pemimpin ini tahu, bila diam saja, masa depan kawasan mereka akan ditentukan orang lain.
Karena itu, meski tanpa kekuatan militer besar, mereka menawarkan kekuatan moral. Dari Kolombo, suara itu bergema hingga Konferensi Jenewa 1954 yang membahas Indochina dan Korea. Pernyataan resmi di tengah forum saat itu adalah Colombo Powers menolak pakta militer yang didesain Barat seperti SEATO.
"Masa depan Asia tidak boleh ditentukan tanpa Asia," demikian bunyi seruan Colombo Powers dikutip Ewing dalam jurnal risetnya.
Indonesia kemudian mengambil peran penting untuk memperluas lingkup solidaritas. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meyakini bahwa Asia tidak bisa berdiri sendiri. "Solidaritas Asia tidak akan lengkap tanpa Afrika," ujar Ali saat itu.
Gagasan ini menemukan momentumnya di Bogor pada 28-29 Desember 1954. Di kota sejuk kaki Gunung Salak itu, kelima negara sponsor bertemu kembali dan memutuskan langkah lebih besar untuk melompat lebih jauh pada peradaban dunia.
Dari Bogor, gagasan Colombo Powers melebar, dari solidaritas Asia ke solidaritas Afro-Asia, dari regionalisme ke internasionalisme Dunia Ketiga.
(yum/yum)