Dongeng Dukun, Petapa dan Wali dalam Carita Pantun Si Cepot

Dongeng Dukun, Petapa dan Wali dalam Carita Pantun Si Cepot

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Minggu, 02 Mar 2025 11:00 WIB
Wayang golek
Ilustrasi wayang golek (Foto: Foto: Syifa/detikJabar)
Bandung -

Cerita-cerita dalam pagelaran Wayang Golek memang 'raweuy beuweungeun rambay alaeun', subur banyak yang bisa 'dikunyah', diambil hikmahnya. Di antara cerita wayang golek yang dipagelarkan dalang senior Asep Sunandar Sunarya adalah cerita 'Astrajingga Mantun'. Cerita ini menampilkan Astrajingga atau Si Cepot, tokoh wayang berwajah merah melantunkan cerita pantun diiringi petikan kecapi.

Cerita pantun adalah salah satu karya sastra lisan di Sunda yang telah ada sejak lama. Carita pantun bahkan disebut-sebut dalam naskah Sunda kuna Siksa Kanda ing Karesian. Naskah itu menyatakan bahwa jenis-jenis carita pantun di antaranya adalah yang berjudul Langgalarang, Siliwangi, Banyakcatra, dan sebagainya.

Naskah itu juga menyebutkan bahwa pementasan wayang dan carita pantun merupakan 'guru' yang patut darinya diambil pelajaran. "Ada lagi, jika kita menonton wayang, mendengarkan juru pantun, (kita) menemukan pelajaran dari ceritanya, itu termasuk guru panggung (belajar dari panggung) namanya."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika ingin tahu ikhwal pantun; Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, tanyalah prepantun." (Naskah Siksa Kanda Karesian terjemahan Depdikbud, 1992)

Dalam sebuah pagelaran wayang yang direkam ke dalam kaset pita oleh Dian Record, dalang Asep Sunandar Sunarya mementaskan Si Cepot bercerita pantun. Judulnya, Astrajingga Mantun. Di sini, cerita itu dikutip dan disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia dengan harapan bisa diambil pelajaran sebagaimana amanat naskah Siksa Kanda ing Karesian:

ADVERTISEMENT

Dongeng Dukun, Petapa, dan Wali

Kocap tercerita di sebuah negeri terdapatlah seorang raja yang adil bijaksana, lebih dari itu, Sang Raja adalah sosok yang peka, yang 'waspada permana tinggal', pengelihatannya jernih, hatinya penuh dengan kasih sayang kepada rakyatnya.

Tampaknya, dia mulai jemu dengan kekuasaannya sendiri yang selalu bersifat duniawi. Dia ingin merambah ke hal-hal yang bersifat ruhani. Namun, dia perlu mencari guru yang betul-betul murni, yang tidak menjadikan titel keruhaniannya sebagai ajang untuk mencari keuntungan dunia.

Maka, rajapun memerintahkan patih untuk mencari orang-orang calon gurunya itu. Ada tiga orang: Dukun, petapa, dan wali. Tetapi, sebelum berangkat mengundang ketiganya ke kerajaan, Sang Raja terlebih dahulu meminta patih menggali tanah taman dan menjadikannya kolam.

Perintah yang aneh, pikir patih. Namun, tanpa banyak tanya, patih menuruti apa yang dititahkan raja kepadanya. Diapun menggali tanah seluas kolam hingga kolam itu selesai dan dialiri air.

Setelah selesai, dia laporan kembali kepada raja. Raja lalu memerintahkannya melepaskan tiga ekor angsa di kolam tersebut. Titah selanjutnya adalah menutup kembali kolam itu dengan tutupan yang mengolongi kolam.

Kolam itu harus ditutup dengan material yang menjadikannya seperti tidak ada kolam, yaitu diari luar area tersebut akan tampak seperti taman belaka, seperti taman semula sebelum di bawahnya digali kolam.

Patih melaksanakan titah itu dengan seksama, dengan telaten dan rapi, sehingga benar-benar taman itu tidak tampak di bawahnya ada kolam.

Memanggil Dukun

Setelah taman dengan kolam di bawahnya dan tiga ekor angsa (soang) dilepaskan padanya, Sang Raja meminta patih memanggilkan dukun. Berangkatlah patih itu.

Di rumah dukun, dukun yang berumur menjelang tua merasa gembira diminta untuk datang ke kerajaan. Sebab, itu merupakan kesempatan baginya untuk 'mengambil untung'.

Setiba di kerajaan, Sang Raja meminta dukun untuk memeriksa suara apa yang muncul dari arah taman, yang setiap malam selalu mengganggu tidur Sang Raja.

Dukun yang kemampuan terbatas itu malah mengajukan syarat, bahwa harus ada 'sesajen' yang disediakan untuk upaya mengusir gangguan itu. Dukun meminta sejumlah syarat seperti bakakak hayam (ayam panggang), kepala domba, dan sejumlah syarat lainnya.

Raja sudah menyangka bahwa dukun ini tak punya kemampuan, namun sebagai raja yang bijaksana, apa yang menjadi kemauan dukun, dikabulkannya pula. Walhasil, dukun pulang dengan barang bawaan yang banyak tanpa ada solusi untuk suara aneh dari taman itu.

Memanggil Petapa

Orang kedua yang dipanggil ke kerajaan adalah seorang petapa, dalam bahasa Sunda disebut pandita. Petapa ini pun mendapatkan pertanyaan yang sama, bahwa ada suara aneh dan mengganggu yang datang dari taman kerajaan.

Ketika ditanya suara apakah itu, pandita menjawab bahwa di bawah taman itu ada tiga ekor angsa. Suara itu adalah suara angsa.

Mendengar jawaban itu, Sang Raja dan patih merasa terkagum-kagum. Namun, ketika hendak diberi jamuan atas kehadirannya ke kerajaan, petapa itu menolaknya, sebab sebagai petapa, dia tidak butuh apapun hal yang bertalian dengan keduniaan, termasuk makanan lezat khas kerajaan.

Memanggil Wali

Meski sudah menemukan orang dengan jawaban pas yang kelak akan dijadikan guru, Sang Raja belum merasa puas. Dia lalu memerintahkan patih untuk memanggil seorang yang dikatakan Wali ke kerajaan.

Wali adalah istilah untuk menyebut kekasih ilahi. Wali itu datang ke kerajaan dan mendapatkan pertanyan yang sama. Suara apakah yang mengganggu dari arah taman itu?

Sang Wali menjawab bahwa di bawah kolam itu ada tiga ekor ular besar.

Mendengar jawaban itu, Raja dan patih tertawa. Sebab, setahu mereka, di bawah kolam itu adalah angsa. Mereka berdua yang melepaskan angsa ke kolam di bawah taman itu.

Sang Raja mula-mula meragukan kemampuan wali ini. Dia berkata menjelaskan, bahwa di bawah kolam itu tidak ada ular, melainkan hanya tiga ekor angsa.

Namun, Wali kukuh pada jawabannya, bahkan meminta pembuktian agar raja dan patih membongkar taman itu dan menyaksikan bersama apa yang sebenarnya ada di sana dan bersuara mengganggu.

Sang Raja dan patih pun sepakat. Taman akan dibongkar. Penutup kolam akan disingkapkan. Maka akan terbukti tiga ekor angsa ada di sana.

'Saciduh metu, saucap nyata', apa yang dikatakan wali itu ternyata benar. Ketika kolam disingkapkan, tidak ada tiga ekor angsa, yang ada hanya tiga ekor ular besar.

Raja dan patih pun menjerit, memohon maaf kepada wali telah salah sangka kepadanya. Sebagai permintaan maaf, Raja telah menyediakan jamuan untuk wali itu. Namun, Sang Wali menjawab bahwa dia adalah tipe orang yang tidak makan.

Sang Raja pun telah tiba pada kesimpulan tentang siapa saja orang-orang yang akan menjadi gurunya dalam hal keruhanian. Dia berkata kepada patih untuk menjaga kerajaan dan menjalankan pemerintahan, sementara raja akan pergi jauh berguru kepada wali dan petapa tadi.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads