Makna 'Rea Ketan, Rea Keton' Filsafat Sunda yang Dipegang Dedi Mulyadi

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Jumat, 29 Nov 2024 13:00 WIB
Aktivitas Dedi Mulyadi satu hari setelah pencoblosan Pilkada 2024 Jabar (Foto: Dian Firmansyah/detikJabar)
Bandung -

Dedi Mulyadi kembali menjalankan aktivitas yang dicintainya seusai pencoblosan pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2024. Aktivitas itu yakni: Tinggal di desa, bertani, beternak, dan menjalankan olahraga rutin.

Di Lembur Pakuan, Kabupaten Subang, tempatnya tinggal dia telah membuktikan filsafat Sunda 'Réa Ketan, Réa Keton' telah membawa dampak besar bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Paling tidak, ada hampir 100 orang yang bekerja di Lembur Pakuan, mulai dari mengurus sawah hingga ternak sapi dan kerbau.

'Réa Ketan, Réa Keton' adalah filsafat tentang ketahanan pangan. Namun, Calon Gubernur Jawa Barat yang secara quick count telah memenangi Pilgub Jabar dengan raihan 61 persen suara itu mengaku sering dianggap mengucapkan 'mantra'. Padahal menurut Dedi, apa yang disangka mantra itu adalah dasar pembangunan bagi manusia.

"Ada yang bilang kang Dedi baca mantra, itu bukan mantra, itu kalimat filosofi Sunda yang memiliki makna pembangunan, misalnya kalimat ini. Réa ketan réa keton; Buncir leuit, loba duit; Bru di juru bro di panto, ngalayah di tengah imah; di pipir aya petikeun; di kolong aya si jambrong, na para aya si jago itu adalah kalimat tentang sistem ketahanan pangan," katanya kepada detikJabar, Kamis (28/11/2024).

Lantas apa itu mantra, dan apa makna 'réa ketan, réa keton'?

Makna Mantra

Di Minangkabau mantra menjadi bagian dari sastra lisan lama daerah ini. Sementara di Sunda, kata mantra sepadan dengan 'jampé' atau jampi.

Jika jampé adalah bahasa Sunda, maka mantra diserap dari bahasa Sansakerta. Namun baik 'mantra' maupun 'jampé' artinya sama dengan 'doa'. Kata 'doa' diserap dari bahasa Arab du'a yang bermakna panggilan atau permohonan dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi.

Kamus Sundadigi buatan Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan lema 'Jampé' sebagai '(mantra) doa yang dianggap dapat menyembuhkan penyakit atau menolak suatu bahaya.

Jampé di Sunda biasanya diucapkan tidak oleh sembarangan orang, jika kalimat jampé ingin bertuah atau berdampak. Pembaca jampé umumnya adalah orang-orang yang dianggap suci. Semakin suci pengucapnya, semakin berdampak jampé itu.

Lantas, apakah yang diucapkan Dedi Mulyadi termasuk mantra? Semua kalimat-kalimat yang baik tentu pada hakikatnya adalah mantra, adalah doa, adalah jampé untuk menolak bahaya, misalnya berupa kesengsaraan dan kelaparan. Meskipun secara struktur, apa yang diucapkan Dedi Mulyadi merupakan paribasa.

Paribasa

Kalimat-kalimat yang sering diucapkan Dedi Mulyadi dan dianggap 'mantra', bahkan kentara saat debat-debat publik Pilkada Jawa Barat yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejatinya adalah paribasa.

Masyarakat Sunda mengenal paribasa sebagai kalimat yang sengaja disusun untuk menyampaikan makna yang lebih luas. Makna yang dicapai dengan paribasa atau peribahasa itu bisa bernilai nasihat atau petuah. Lama kelamaan, paribasa itu terbentuk sebagai filsafat untuk masyarakat Sunda dalam memahami dan menghadapi kehidupan.

Contohnya, paribasa réa ketan, réa keton yang bisa dibaca sebagai petuah untuk masyarakat Sunda mengupayakan diri dengan bekerja sebaik mungkin supaya sumber daya alam betul-betul berguna untuk hidup dengan sejahtera.

Mari kita urai paribasa-paribasa Sunda yang diucapkan Dedi Mulyadi di atas:

Réa Ketan Réa Keton

Peribahasa ini menggambarkan kondisi negara yang subur-makmur, segala ada, segala tersedia, ingin ini ada, ingin itu ada. Dalam bahasa Sunda disebut pula kondisi ini sebagai 'sagala nyampak', semua tersedia.

Ini bisa dibaca dua sisi. Pertama sebagai kondisi ideal yang pernah digapai masyarakat Sunda pada masa lalu ketika paribasa itu terbentuk sebagai ekspresi lisan atas kondisi yang serba sejahtera. Kedua, sebagai pelecut agar masyarakat Sunda kini berupaya menggapai kondisi ideal itu.

Réa adalah kata Sunda untuk menyebutkan banyak, melimpah, sepadan dengan kata 'loba' atau 'ngalayah'. Sementara 'ketan' adalah jenis padi yang jika ditanak akan menghasilkan beras yang sangat empuk. Ketan juga menjadi bahan ulen (uli), kudapan khas Sunda.

Apa itu keton? Keton adalah kata untuk mengungkapkan uang, duit, fulus. Asalnya Dukaton, yaitu mata uang Belanda yang jika dirupiahkan Rp 3,15. Jadi, ungkapan 'réa ketan,réa keton' secara literal adalah 'banyak stok pangan, banyak uang pula'.

Buncir Leuit, Loba Duit

Pernah membaca 'Wawacan Sulanjana' tentang asal-usul padi di Sunda? Nah, dahulu masyarakat Sunda dilarang menjual padi sebab padi adalah titipan. Masyarakat Sunda sangat menghormati padi, bahkan padi bukan dianggap titipan Nyi Pohaci Dangdayang Sri, melainkan padi adalah Nyi Pohaci itu sendiri. Padi adalah komoditas publik yang harus dinikmati oleh publik.

Maka, dahulu masyarakat Sunda menyimpan padi di tempat yang cukup jauh dari rumah, yaitu di 'Leuit'. Mengapa jauh? Ini supaya jika terjadi sesuatu yang bahaya seperti kebakaran rumah, stok padi tidak ikut terbakar karena cukup jauh lokasinya.

Jika baru panen padi, kondisi leuit akan sangat penuh. Berjejal padi di leuit. Kondisi berjejal itu dalam bahasa Sunda disebut 'Buncir'. Kekinian, kondisi dompet yang penuh sesak dengan uang juga disebut buncir.

Maka, makna 'Buncir Leuit, Loba Duit' adalah kaya raya. Banyak uang. Perut penuh makanan, saku penuh dengan uang.

Bru di Juru, Bro di Panto, Ngalayah di Tengah Imah

Dalam suatu kondisi di rumah orang-orang yang berkelimpahan harta, banyak barang-barang bernilai. Barang-barang itu terdapat di mana-mana di dalam rumah itu. Ada yang tergeletak di dekat pintu, ada yang terlempar ke pojokan, saking banyaknya barang-barang.

Barang-barang itu tentu bukan 'bubututan' (barang tak terpakai) yang tidak bernilai, melainkan sebagai 'banda' atau barang kekayaan pemilik rumah.

Demikianlah yang diungkapkan dalam peribahasa 'Bro di Juru, Bro di Panto, Ngalayah di Tengah Imah'. Bro adalah kata untuk mengungkapkan barang yang banyak dijatuhkan ke satu tempat sampai menggunung. Ngalayah berarti berantakan. Berantakan di tengah rumah, saking banyaknya kekayaan.

Di Pipir Aya Petikeun

Pipir adalah halaman belakang rumah-rumah di pedesaan Sunda. Di pipir, orang-orang desa terbiasa menanam berbagai tanaman obat, sayuran untuk lauk nasi, sehingga ketika ingin makan, tidak perlu susah berbelanja, tinggal memetik di belakang rumah.

Tanaman yang biasa dijadikan lalapan misalnya leunca (ranti), daun singkong, labu siam, dan lain sebagainya. Apa yang dipetik bisa dimakan mentah atau diolah sebagai masakan sayur seperti lompong.

Di Kolong Aya Si Jambrong, Na Para Aya Si Jago

Jika 'petikeun' adalah kekayaan nabati yang bisa dipetik ketika masyarakat perlu untuk makan, maka peribahasa ini lebih ke kekayaan hewani yang dimiliki masyarakat Sunda.

Di kolong berarti di bawah rumah yang rumah di Sunda pada masa lampau merupakan rumah panggung dari kayu, sehingga punya kolong.

Pada kolong rumah ini, biasa dipelihara hewan-hewan yang dapat disembelih ketika masyarakat menghadapi hari-hari spesial. Biasanya dipelihara ayam. Kata Jambrong sendiri merujuk kepada hewan berbulu yang biasa dipelihara, tidak sebatas ayam.

'Na Para' berarti di langit-langit rumah, di bawah atap. Ada 'Si Jago', ini merujuk kepada kebiasaan ayam yang bertengger di sekitar atap rumah, atau sengaja ditempatkan oleh pemilik rumah untuk berada di atap.

Demikian paribasa yang diucapkan Dedi Mulyadi yang sejatinya merupakan harapan, doa, dan upaya, agar masyarakat Jawa Barat semakin baik dan kembali mencapai situasi ideal sebagaimana pernah terjadi di masa lampau, seperti yang terbaca dalam paribasa-paribasa itu.




(yum/yum)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork