Dongeng Sunda Si Buncir, Anak Jelata Jadi Raja Salaka

Dongeng Sunda Si Buncir, Anak Jelata Jadi Raja Salaka

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Jumat, 27 Sep 2024 07:00 WIB
Ilustrasi buku
Ilustrasi (Foto: Pexels/Stas Knop)
Bandung -

Tanah Sunda punya banyak dongeng yang tumbuh di masyarakat. Kali ini, ada dongeng tentang Si Buncir, anak jelata yang ditinggalkan ibu sejak bayi dan selalu mendapat kesialan.

Suatu hari ketika remaja, di tengah kemiskinan dan kesialan yang terus menimpa dirinya, dia memutuskan untuk pergi dari Kampung Ciherang, tempat kelahirannya.

Kemana Si Buncir pergi? Si Buncir sendiri tidak tahu tujuannya ke mana. Yang jelas, dia ingin mengubah nasib diri dengan cara mencari pekerjaan di tempat lain, jauh di balik hutan yang selama ini menjadi benteng Kampung Ciherang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menarik, ternyata, rentetan kesialan yang menimpa Si Buncir selama ini menjadi pola nasibnya yang berbuah manis, dia mendapatkan tahta Kerajaan Salaka lantaran menikahi putri rajanya yang terdahulu.

Bagaimana dongeng selengkapnya? Dongeng Si Buncir ini disarikan detikJabar dari buku Cerita Rakyat Jawa Barat Si Buncir tulisan Asep Rahmat Hidayat, diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI (2016).

ADVERTISEMENT

Si Buncir, Anak Jelata Jadi Raja Salaka

Kocap tercerita, ada anak jelata bernama Si Buncir. Disebut demikian, karena anak itu hitam kulitnya karena tidak terurus dan buncit perutnya. Dia adalah anak asli Kampung Ciherang yang miskin.

Si Buncir tinggal serumah dengan bapaknya yang keseharian bekerja sebagai penyabit rumput. Jika beruntung, tegalan rumput yang disabiti tidak jauh dari rumahnya. Namun, jika sedang musim kemarau, si bapak harus berjalan kaki agak jauh.

Rumput-rumput yang dikumpulkan itu pada akhirnya dijual kepada pemilik ternak di Ciherang. Hasil penjualan rumput tak selalu uang, terkadang makanan, terkadang pula pakaian bekas yang masih bisa dipakai si bapak atau Si Buncir.

Jika bapaknya sedang sedang mencari rumput, Si Buncir ditinggal sendirian di rumah. Si Buncir punya banyak teman meski sebatas anak jelata. Teman-temannya sesama anak Kampung Ciherang sering mengajak Si Buncir main. Namun, Si Buncir lebih senang menyendiri.

Dalam kesendirian, dia bisa membayangkan pertemuan dengan ibunya yang tak pernah dia lihat. Ibunya meninggal dunia sesaat setelah melahirkan Si Buncir.

Si Buncir Membubu Ikan

Meski senang dengan kesendirian dan melamunkan pertemuan dengan ibunya, Si Buncir ada jenuhnya juga. Suatu hari, ketika bapaknya sudah pergi mencari rumput, Si Buncir mengambil bubu, perangkap ikan terbuat dari bambu lalu pergi ke sungai.

Ditenggelamkannya bubu di air sungai dan Si Buncir menunggu di pematang sambil mencari buah-buahan hutan yang bisa dimakan. Setelah dirasa cukup, bubu diangkat.

Sayangnya, bukan ikan yang didapat, di dalam bubu Si Buncir mendapati anggay-anggay, serangga kecil seperti gaang (anjing tanah) dalam bahasa Sunda. Si Buncir senang betul, maka dia bawa anggay-anggay itu pulang

Si Buncir sangat sayang kepada anggay-anggay itu, nyaris sepanjang hari dia bermain dengan binatang tersebut. Sampai suatu ketika bapaknya memintanya ikut mencari rumput, daripada main terus dengan anggay-anggay. Si buncir pun ikut, dan dia titipkan anggay-anggay kepada neneknya. Sayangnya, pulang merumput, anggay-anggay itu hilang dipatuk ayam.

Fakta itu membuat Si Buncir menangis sejadi-jadinya, maka neneknya menggantinya dengan ayam yang telah memakan anggay-anggay itu. Esok harinya, Si Buncir kembali ikut mencari rumput, ayam dititipkan ke tetangga. Pulang merumput, ayam mati tertimpa alu. Si Buncir minta ayam diganti alu.

Esoknya seperti itu kembali. Sebelum pergi ke tegalan rumput, alu dititipkan kepada pembajak sawah. Alu disimpan dekat pohon. Namun, pulang merumput, alu patah tertindih kerbau. Si Buncir menangis minta kerbau sebagai gantinya.

Kerbau dia dapatkan, tapi sulit juga kalau harus membawa kerbau menyabit rumput. Esok hari, kerbau dia ikat di bawah pohon limus, sejenis mangga di Sunda. Pulang merumput, kerbau mati tertimpa limus. Maka Si Buncir mengambil limus itu sebagai ganti kerbau.

Merasa Sial dan Ingin Merantau

Si Buncir merasa deretan kesialan dihadapinya setiap hari, dimulai dari anggay-anggaynya dipatuk ayam hingga kerbaunya mati ditimpa buah limus.

Maka, dia berkata kepada bapaknya agar diizinkan pergi mencari pekerjaan baru, penghidupan baru, dan nasib yang baru di luar sana. Dia ingin merantau. Maka, dia pergi menembus hutan berbekal nasi timbel dan buah limus yang menimpa kerbaunya.

Buah limus itu tetap segar meski sudah berhari-hari dibawa berjalan kaki oleh Si Buncir dan dia belum mau memakannya, hingga sampailah dia di sebuah wilayah ibu kota Kerajaan Salaka.

Hari yang panas, dia melihat banyak aktivitas di tempat baru itu. Tak terkecuali melihat putri mahkota kerjaan, namanya Mayangsari. Dia menyampaikan maksudnya datang untuk mencari pekerjaan, dan karena hari sedang panas, dia menitipkan barang bawaannya termasuk buah limus di dekat putri Mayangsari kemudian pergi sebentar untuk mandi di sungai terdekat.

Si Buncir menyegarkan badannya dengan mandi, namun di bangunan dua tingkat tempat Mayangsari menenun, buah limus tercium dari lantai bawah. Sang Putri buru-buru turun dan tak kuat menahan dirinya untuk memakan limus itu.

Pulang mandi, Si Buncir mendapati limusnya tinggal kulit dan biji. Dia menagih pertanggungan jawab, dia minta Putri Mayangsari sebagai pengganti limusnya.

Tuntutan ini sampai kepada raja yang mendapat didikan ketat soal keadilan. Bahwa apa yang menjadi permintaan Si Buncir harus dipenuhi sebab putrinya ada pada posisi yang salah. Yaitu, Mayangsari harus menikah dengan Si Buncir.

Namun, Si Buncir adalah anak jelata yang hitam dan berperut buncit. Lagipula, dia belum waktunya menikah. Alhasil, raja punya ide untuk menitipkan Si Buncir kepada patihnya yang tidak punya anak. Penitipan berlangsung hingga Si Buncir siap menikah dengan Mayangsari.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Si Buncir hidup dalam didikan keluarga kerajaan. Maka dia tumbuh menjadi lelaki yang berseka, bersih, gagah, dan cerdas. Dia siap untuk menikah dengan Mayangsari. Dan Mayangsari pun, melihat Si Buncir yang tampan, mau juga menikah dengannya.

Di samping itu, sejak dirawat keluarga patih, Si Buncir telah berganti nama menjadi Pangeran Gandarasa.

Akhir Bahagia Si Anak Jelata

Pangeran Gandarasa menikah dengan Mayangsari. Di kemudian hari, keduanya mewarisi tahta Kerajaan Salaka. Di bawah kepemimpinan keduanya, Kerajaan Salaka tumbuh menjadi kerajaan yang rakyatnya sejahtera.

Namun, di tengah-tengah memimpin kerajaan, Pangeran Gandarasa ingat kembali kepada ayahnya, penyabit rumput berjuluk Ki Jukut yang tinggal di Ciherang.

Atas persetujuan istrinya, dia meminta punggawa kerajaan untuk membawa Ki Jukut ke istana. Dengan kuda yang berlari kencang, para punggawa menuju ke Ciherang yang jaraknya sangat jauh dan membawa Ki Jukut ke istana.

Di istana, Ki Jukut heran dan tidak mengenali pangeran yang sedang dihadapinya itu, hingga Pangeran Gandarasa berterus terang bahwa dialah anaknya yang dulu bernama Si Buncir.

Ki Jukut dihormati dengan baik dan diberi penghidupan yang layak di istana. Kehadiran Ki Jukut juga menjadi kebahagiaan bagi Pangeran Gandarasa dan istrinya, juga seisi istana.

(iqk/iqk)


Hide Ads