Cerita Putri yang Manja dan Biadab di Balik Telaga Warna Puncak

Cerita Putri yang Manja dan Biadab di Balik Telaga Warna Puncak

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Kamis, 26 Sep 2024 07:00 WIB
Telaga Warna  di Puncak
Telaga Warna (Foto: (Bekti Yusti/d'Traveler)
Bandung -

Jika kebetulan bermain ke Puncak, ada tempat wisata bernama Telaga Warna. Dalam bahasa Sunda disebut Talaga Warna. Tempat itu merupakan danau yang di pinggir-pinggirnya banyak pepohonan.

Suasana sejuk terasa jika berada di sekitar danau itu. Namun, jika beruntung, pengunjung dapat melihat pelangi yang seolah-olah muncul dari pertemuan kabut dan cahaya matahari di muka danau.

Kecuali itu, air Telaga Warna sering berubah warna. Maka dari itu disebut Telaga Warna. Secara ilmiah, perubahan warna itu diakibatkan oleh ganggang yang berada dalam air danau tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di samping fenomena yang terlihat, Telaga Warna menyimpan mitos. Di antaranya asal usul telaga tersebut. Konon, Telaga Warna terbentuk karena air mata. Waktu itu, raja, permaisuri, dan rakyatnya menangis. Mereka menangisi kelakuan kurang beradab putri kerajaan. Air mata itu bercampur dengan mata air yang muncul tiba-tiba di halaman keraton, sehingga membentuk telaga.

Bagaimana asal usul Telaga Warna selengkapnya? Simak yuk! detikJabar menarasikannya kembali dari buku Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Barat, tulisan Maya Rohmayati dan Yodi Kurniadi (2018).

ADVERTISEMENT

Raja Bijaksana Menanti Keturunan

Kocap tercerita, di Jawa Barat dahulu ada sebuah kerajaan. Pemimpinnya adalah raja yang bijaksana, adil, dan sangat sayang kepada rakyatnya. Sebaliknya, rakyat pun sayang kepada raja berikut permaisurinya.

Semua titah raja dilaksanakan rakyat, begitupun segala kebutuhan rakyat dipenuhi oleh raja. Hari demi hari berjalan dalam kemakmuran di kerajaan tersebut.

Namun, raja yang disebut Prabu itu, juga istrinya, merasa ada yang kurang. Sudah bertahun-tahun memimpin kerajaan, mereka belum juga dikaruniai keturunan.

A, B, C, sudah dilakukan pasangan Prabu dan Permaisuri ini untuk mendapatkan keturunan, namun Sang Hyang Tunggal belum juga menghendaki. Hingga akhirnya, keduanya mengangkat putra.

Seorang anak laki-laki diangkat keduanya sebagai anak. Namanya, Kebo Iwa. Dia kemudian tumbuh menjadi remaja yang tampan, gagah, dan berbudi luhur.

Satu yang unik, Kebo Iwa punya kesaktian. Jika dia ingin minum, cukup dia tusukkan telunjukkan ke tanah, maka terpancarlah air bersih dan menyegarkan.

Waktu berjalan. Berbahagia kumbang-kumbang di taman, bunga-bunga mekar menjadi tanda anugrah yang dinantikan itu datang. Di sela mengasuh putra angkatnya, Permaisuri mengandung. Dari kandungan itu, lahirlah bayi perempuan yang cantik, yang kelak menjadi putri kerajaan.

Putri Cantik yang Manja

Putri kerajaan itu tumbuh dan besar dalam lingkungan yang serba memberikannya kemudahan. Ingin A, datangah A tanpa sudah payah. Begitulah jua jika ingin B sampai Z, semuanya diantarkan kepadanya.

Lama kelamaan, dia tumbuh dengan diri yang nir empati. Tidak ada rasa pedulinya terhadap orang lain. Yang jelas, jika sesuatu tidak membuat enak dirinya, dia tidak suka dan akan dengan tegas menolaknya. Dia tumbuh menjadi putri yang manja.

Telaga Warna Puncak BogorTelaga Warna Puncak Bogor Foto: Dok Pribadi Azril Shiva / @frameofnjdrl

Begitupun saat dia menghadapi pesta ulang tahun ke-17 usianya. Jauh sebelum pesta digelar, rakyat yang sayang kepada raja dan permaisuri mengirimkan berbagai perhiasan sebagai hadiah. Namun, raja menyimpannya barangkali suatu waktu rakyat akan membutuhkan.

Raja hanya mengambil sedikit saja dari emas yang didapatkan dan menyerahkannya ke pengrajin kalung. Raja minta dibuatkan kalung yang bagus dan cantik jalinan emas dan permata untuk anaknya yang akan berulang tahun.

Kalung pun selesai. Pesta pun digelar. Dalam pesta, ayah dan ibu sang putri hadir. Putri pun duduk di tengah-tengah mereka dan menghadapi rakyat yang juga hadir di pesta itu.

Tak ingin tertinggal momentum, raja menyerahkan hadiah ulang tahun untuk putrinya berupa kalung. Kalung emas berhias permata buatan perajin emas terbaik di kerajaan itu.

Namun, di mata putri manja itu, kalung seindah demikian tak ada artinya. Dia menampik pemberian ayahnya itu. Kalung yang disebutnya jelek itu lalu dihempaskannya ke lantai.

Raja, Permaisuri, dan Rakyat Menangis

Melihat kalung emas berhias permata dihempaskan ke lantai, semua hadiri pesta ulang tahun putri manja, tidak ada yang berani bicara. Semuanya terdiam.

Lambat laun, terdengar suara tangisan yang tertahan dari arah permaisuri. Begitupun raja, dia menangis namun sedikit ditahan. Tetapi, tangisan raja dan permaisuri itu menjadi tanda kesedihan bagi rakyatnya.

Rakyat yang menghadiri pesta ulang tahun itu semuanya menangis. hanyut dalam kesedihan bahwa raja dan permaisuri punya putri yang kurang tata krama. Semuanya menangis, hingga air mata menjadi banjir.

Kebo Iwa tidak diceritakan lagi, namun air mata rakyat bercampur dengan air dari mata air yang tiba-tiba muncul dari tanah di halaman kerajaan. Alhasil, semuanya tenggelam.

Kalung emas berhias permata itu tak ada yang berani mengambilnya. Ketika semua sudah tenggelam menjadi telaga, kalung itu memantulkan cahaya yang menjadi pelangi. Itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Warna.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads