Episode legenda Sangkuriang selesai sampai dia menendang perahu yang dibuatnya sehingga menjadi Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian, Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi, ibunya sendiri yang dicintainya ke arah Timur. Tutup buku.
Namun, bagi masyarakat di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, cerita itu berlanjut. Keinginan Sangkuriang untuk menikahi Dayang Sumbi tidak surut.
Di wilayah timur dari danau Bandung Purba yang dibendungnya dahulu namun jebol, dia mendambakan membangun sebuah telaga. Danau yang indah dengan tanaman-tanaman bunga menghiasi pinggiran-pinggirannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Telaga yang didambakannya itu tak lain hanya untuk memikat Dayang Sumbi agar menerima cintanya. Di Darmaraja, Jatigede, Wado, dan sekitarnya, kini telaga besar menjelma. Itulah Waduk Jatigede.
Waduk Jatigede adalah bendungan besar seluas 4.891,13 hektare. Orang setempat dilingkupi mitos bahwa Waduk Jatigede itulah telaga yang didambakan Sangkuriang. Cerita itu melekat kuat dalam ingatan masyarakat dan diceritakan turun temurun.
Dalam studi berjudul "Pembangunan Waduk Jatigede dan Mitos-Mitosnya dalam Sastra Lisan Sunda", tulisan Yeni Mulyani Supriatin, dimuat dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 20 Tahun 9, Agustus 2010 dijelaskan terkait mitos itu.
"Cerita Sangkuriang yang beredar di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang menggambarkan Sangkuriang membangun telaga seindah-indahnya di Jatigede sebagai tempat bulan madu dengan Dayang Sumbi kelak jika ia berhasil memperistri Dayang Sumbi," tulis Yeni MuLyani Supriatin.
Tersambung dengan Mitos Lain
Dalam pembangunannya, Waduk Jatigede diselubungi mitos yang sangat kental dengan dunia mistis. Sosok-sosok makhluk halus mengambil peran utama di dalam mitos-mitos itu.
Mitos sendiri menurut para ahli sastra adalah cerita tradisional yang berkisah tentang dewa, penciptaan dunia, dan makhluk hidup. Mitos pada umumnya berkaitan dengan asal muasal sesuatu yang diwujudkan dengan kekuatan atau hal-hal gaib.
Cerita bahwa di sekitar Darmaraja akan ada telaga besar yang kini bernama Waduk Jatigede, telah disebut-sebut dalam "Babon Darmaraja". Babon itu, menurut Yeni Mulyani Supriatin, menyebutkan bahwa Sungai Cimanuk akan terbendung dan sawah-sawah di Sumedang akan tenggelam.
Siapa yang diduga membangun Waduk Jatigede oleh mitos yang berkembang itu? Dialah "Buaya Putih", sebuah kekuatan besar yang juga punya lawan berupa kekuatan yang sama, yaitu "Keuyeup Bodas".
Mitos Buaya Putih dan Keuyeup Bodas mewarnai mitos-mitos di sekitar Jatigede, yang tersambung dengan mitos telaga dambaan Sangkuriang untuk berbulan madu dengan Dayang Sumbi.
Mitos Buaya Putih
![]() |
Buaya Putih di sini tentu bukan buaya albino dengan kelainan genetik. Buaya Putih ini adalah mitos di Jatigede yang merupakan jelmaan makhluk halus. Buaya Putih ini punya kekuatan besar.
Menurut cerita yang berkembang, Buaya Putih ini tak lain adalah arwah Sangkuriang. Dia berkuasa di Darmaraja dan sekitarnya dan tak berhenti berupaya untuk mewujudkan rencananya membendung Sungai Cimanuk untuk mendirikan telaga.
Namun, rencana itu tidak mudah diwujudkan, sebab Sangkuriang mendapat cegahan dari pihak lain yang tidak ingin di lokasi itu ada telaga. Pihak itu adalah "Keuyeup Bodas" atau Ketam/Kepiting Putih.
Keuyeup Bodas terus menghalang-halangi pembangunan telaga oleh kekuatan Buaya Putih dan bala tentaranya. Sekalipun telaga terwujud, janji Keuyeup Bodas akan membuat telaga itu jebol.
Mitos Keuyeup Bodas
Keuyeup Bodas atau Kepiting Putih dipercaya sebagai kekuatan yang bertentangan dengan Buaya Putih. Dengan capitnya yang kuat dan bala tentara yang tak sedikit, Keuyeup Bodas bisa menjebol Waduk Jatigede yang kini terwujud.
Namun, ada pembacaan lain terhadap mitos Keuyeup Bodas ini, yakni, mitos ini adalah pendidikan mitigasi bencana. Masyarakat tidak asal menerima saja "proyek Sangkuriang" yang berlokasi di dekat tempat tinggalnya, sebab bisa jadi itu membawa bahaya.
Yeni Mulyani Supriatin dalam studi berjudul "Menafsirkan Mitos Sebagai Media Mitigasi Bencana di Masyarakat Sunda" menyebutkan bagaimana masyarakat Darmaraja memanfaatkan mitos mereka untuk menentang pembangunan waduk Jatigede yang diperkirakan akan mendatangkan bencana seperti banjir dan hilangnya tinggalan budaya mereka.
Dalam mitosnya, disebutkan bahwa bendungan akan jebol dan airnya merendam sejumlah wilayah. Keuyeup Bodas adalah penyebabnya. Namun, jika dibaca dengan ilmu kebencanaan, boleh jadi Keuyeup Bodas adalah sesar bumi yang sambung-menyambung dan mengancam waduk tersebut.
"Kepiting umumnya berwarna gelap, tetapi dalam mitos ini kepiting berwarna putih. Dengan demikian, kepiting putih adalah metafor yang secara metaforis dapat ditafsirkan sebagai sesar (rekahan pergeseran) beribis, Lembang dan Cimandiri yang nyambung dan membentuk lengkung seperti kepiting. Jika sesar aktif ini bergerak, bendungan bisa jebol dan rusak. Bukan hanya Sumedang, melainkan daerah lain di sekitarnya seperti Bandung, Tomo, Kadipaten, dan Cirebon akan terkena bencana gempa bahkan terjadi tsunami," tulis Yeni Mulyani Supriatin.