Di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah ada sungai besar yang panjangnya 125 kilometer dan berhulu sungai di Tuk Sirah, di Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Aliran sungai ini bermuara ke Laut Jawa.
Kali yang panjang ini disebut sebagai Kali Brebes. Namun, itu nama lain dari kali yang telah lama terkenal dengan Cipamali ini. Jika dicari di mesin pencari dengan mengetik kata "Cipamali" akan keluar juga nama lain, Kali Pemali.
Sungai ini memang mengandung mitos. Yaitu, saksi bisu terbaginya etnis Jawa dan Sunda. Orang Sunda mendiami wilayah barat Cipamali, dan orang Jawa mendiami sebelah timurnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, mengapa namanya Cipamali? Ci dalam bahasa Sunda berarti cai atau air. Sementara pamali bermakna dosa, durhaka, atau sesuatu yang terlarang.
Ternyata, pamali itu merupakan nama yang disepakati oleh Hariang Banga dan Ciung Wanara dua anak Raja Galuh yang sedang berkelahi tempat di sekitar sungai itu.
Bagaimana asal-usul nama Kali Cipamali dan apa "Pamali"-nya? Simak yuk! detikJabar merangkumnya dari "Babad Pakuan atau Babad Pajajaran" yang ditulis pada tahun 1816 Masehi dan diterjemahkan oleh Drs. Atja, dkk. pada 1977, dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Hariang Banga dan Ciung Wanara
Tersebutlah Pulau Jawa dikuasai seorang Raja yang bertahta di Kerajaan Galuh. Ketika itu, Galuh diserang wabah dan banyak penduduk mati.
Namun, ada seorang penyumpit yang datang dari sebuah desa, yang desa itu tak tersentuh wabah. Penyumpit itu mengatakan bahwa seorang pertapa telah memberinya daun sirih untuk airnya disemburkan ke seantero desa sehingga mereka selamat dari wabah.
Kabar penyumpit itu terdengar oleh raja sehingga raja memerintahkan agar pertapa yang diceritakan itu diundang ke Kerajaan. Namun, tahu bahwa raja hanya membutuhkan pertolongannya saja, pertapa itu menolak. Dia kabur diam-diam dan kembali ke pertapaan.
Raja marah dan memerintahkan seseorang untuk membunuh petapa itu. Petapa itu merelakan dirinya dibunuh, namun dia berjanji akan kembali bereinkarnasi untuk membalas dendam.
Wajah Pertapa dalam Mimpi
Ketika salah seorang istri Raja Galuh itu mengandung dan hamilnya sudah 9 bulan, Raja Galuh bermimpi wajah pertapa itu muncul dalam kandungan istrinya.
Ketika bayi itu lahir, Raja menyuapinya racun. Ajaib! Bayi itu tak kenapa-kenapa, tak mati, tak kurang apapun. Raja lalu memerintahkan membuangnya ke sungai.
Sepasang Kakek-Nenek menemukan kandaga berisi bayi itu. Bayi itu diurusnya hingga besar, hingga remaja. Semula namanya Jaka, namun ketika Jala melihat burung Ciung dan monyet Wanara, maka dia memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Ciung Wanara.
Waktu membawanya ke hadapan raja. Ketangkasannya saat dikejar gulang-gulang karena membunyikan gamelan di kerajaan beserta gongnya dengan keras, membuat kagum raja. Setelah ditanya Ciung Wanara anak siapa, terkuaklah bahwa dia itu anak raja yang dahulu dibuang.
Pertarungan Adik-Kakak
Ciung Wanara karena pernah hidup bersama Lurah Pandai Besi, maka dia terampil membuat jeruji besi lengkap dengan tempat tidurnya. Ketika selesai, dia meminta raja untuk mengeceknya. Ketika raja masuk, pintu ditutup dan dengan ludahnya, jeruji itu rata dengan tembok.
Hariang Banga, pewaris takhta kerajaan yang juga kakak Ciung Wanara marah. Dia menantang adiknya duel, namun raja memperingatkan bahwa berkelahi denga saudara itu tidak baik.
Majapahit, Pakuan, dan Cipamali
Di sinilah asal-usul nama Cipamali. Karena sama-sama kuat, Hariang Banga dan Ciung Wanara saling kejar, saling dorong, dan latar pertarungan ini dilakukan di tempat yang luas di Pulau Jawa yang ada di bawah kekuasaan Galuh.
Babad Pajajaran menceritakan, ketika itu, Hariang Banga terdorong ke Tegalgadung. Karena keduanya lelah berkelahi, maka mereka istirahat. Terdapatlah sebuah pohon dengan buah yang menarik hati Hariang Banga, namanya pohon Maja.
Diambilah buah itu, namun karena rasanya pahit, buah itu dimuntahkan kembali. Terbersitlah nama untuk tempat itu, Majapahit.
Pertarungan dilanjutkan. Kini, giliran Ciung Wanara yang terdorong ke barat, sampai ke Gunung Sakati. Di Gunung Sakati, mereka beristirahat kembali. Di tempat itu, Hariang Banga melihat pohon pakis atau paku yang tumbuh berjejer. Ciung Wanara mengatakan bahwa itu adalah paku. Maka muncullah nama untuk tempat itu, Pakuan Pajajaran.
Sampai di situ, pertarungan belum usai. Berlanjutlah pertarungan hingga ke dekat sebuah sungai. Namanya, sungai Cintamanis. Keduanya yang telah habis tenaga, berhenti untuk minum.
Dalam minum air yang segar itu, keduanya tersadar bahwa mereka adalah bersaudara, dan berkelahi dengan saudara adalah pamali alias tabu atau durhaka.
"Nama sungai ini; kita sebut Cipamali; setelah beristirahat; Raden Arya Banga berkata; sangat manis bicaranya; hai adik tekadku kini,"
"Bertekad hendak membagi, membagi dua negara; tempat kita jadi raja; turun-temurun; kekayaan dan permata; dengan semua tentara," tulis Drs. Atja, menerjemahkan Babad Pajajaran.
Demikianlah, Cipamali bermakna air yang menyadarkan Hariang Banga dan Ciung Wanara dari perbuatan pamali. Setelah kesadaran itu, maka Galuh Terbagi dua, dipisah oleh Kali Cipamali.
(iqk/iqk)