Mengenal Seni Musik Tarawangsa: Sejarah, Fungsi, dan Perkembangan

Mengenal Seni Musik Tarawangsa: Sejarah, Fungsi, dan Perkembangan

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Minggu, 09 Jun 2024 16:00 WIB
Kala Wali Kota Distrik Eunpyeong Seoul Korea Selatan Asik Menikmati Seni Tarawangsa
Kala Wali Kota Distrik Eunpyeong Seoul Korea Selatan Asik Menikmati Seni Tarawangsa. (Foto: Nur Azis/detikJabar)
Bandung -

Seni musik tarawangsa ramai diperbincangkan kembali, setelah musik ini viral menjadi latar suara untuk berbagai video yang tersebar di media sosial.

Musik yang viral itu memadukan Tarawangsa yang sakral dengan tabuhan kendang. Di antaranya ada video sekeluarga berjilbab berpura-pura kerasukan padahal maksudnya berjoget dengan musik tersebut.

Sebagai seni musik tradisional, tarawangsa tentu saja punya sejarah, fungsi, dan perkembangan. Dari yang semula digelar setahun sekali dalam upacara "Ngalaksa", kini musik tarawangsa bisa dinikmati sesering mungkin tidak hanya dalam upacara ritual syukuran hasil bumi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kata "Tarawangsa" sendiri banyak yang mengartikannya. Ada yang menyebut merupakan gabungan dari tiga kata: Ta, Ra, dan Wangsa. Ta berarti meta atau pergerakan; Ra berarti api agung atau matahari; Wangsa berarti bangsa. Secara keseluruhan diartikan sebagai "kisah pergerakan bangsa matahari". Dunia pertanian memang bergantung pada sinar matahari.

Adapula yang melihatnya setelah ada percampuran Sunda dengan Islam, yang kemudian mengartikan Tarawangsa sebagai akronim dari "Tatabeuhan Rakyat Wali Salapan" (tetabuhan rakyat sembilan wali). Lalu bagaimana sejarah Tarawangsa?

ADVERTISEMENT

Sejarah Seni Musik Tarawangsa

Alat Musik Tarawangsa dan Jentreng

Tarawangsa adalah nama alat musik yang dibunyikan dengan cara digesek. Bentuknya seperti rebab, namun yang disebut Tarawangsa hanya memiliki dua senar. Ada bagian persegi panjang yang fungsinya seperti tabung, juga da satu gagang yang panjang. Alat musik ini dimainkan dalam posisi alat bersiri seperti posisi selo saat dimainkan. Tarawangsa ini dimainkan dengan paduan petikan kecapi. Kecapi khusus tarawangsa disebut Jentreng.

Permainan kacapi pun berbeda dengan seni musik Cianjuran, atau pada umumnya musik Gending. Senar yang bergetar ada yang seketika "ditengkep", sehingga suaranya tidak tuntas. Begitulah sepanjang alunan musik Tarawangsa.

Yang menjadi pembeda dengan kecapi Cianjuran adalah juga jumlah senar yang dipakai dalam jentreng. Jika kecapi Cianjuran punya tiga tingkatan "da-mi-na-ti-la" dengan jumlah senar 20, maka jentreng hanya ada 7 senar.

Zaman berlanjut, tarawangsa yang semula hanya sebuah nama untuk alat musik, menjadi nama untuk sebuah kesenian bermusik. Seni tarawangsa erat kaitannya dengan ritual, sebab musik ini dimainkan pada saat syukuran hasil bumi saja.

Saat ini, daerah yang masih ditemukan ada seni tarawangsa di antaranya di Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong.

Awal Dimulainya Budaya Sawah

Dalam bacaan penulis, Profesor Jakob Sumardjo dari ISBI Bandung pernah menuliskan cerita tentang seni musik tarawangsa. Yaitu, kembali ke masa kuasa Mataram mencengkeram Sunda.

Ketika itu, diharuskan pejabat-pejabat dari Sunda untuk datang ke Mataram setahun sekali. Di kala itu, masyarakat Sunda belum mengenal sawah. Yakni cara menanam padi dengan petakan yang digenangi air sehingga tanah menjadi lumpur. Padi di tanah Sunda adalah huma. Yakni, padi yang ditanam di ladang ketika musim hujan datang.

Budaya sawah adalah budaya menetap, sementara budaya huma adalah budaya ladang berpindah. Orang-orang Sunda tidak berulang-ulang kali menggunakan satu petak lahan untuk bercocok-tanam, namun berpindah-pindah dengan maksud mengistirahatkan tanah yang telah dipakai sehingga kembali subur, dan berpindah ke tanah baru yang tentu masih subur unsur haranya.

Namun, faktanya, budaya sawah menarik juga bagi orang Sunda. Maka, ada sekelompok orang yang mencoba menyelundupkan padi sawah dari Mataram ke Sunda.

Suatu kali benih padi sawah dimasukkan ke dalam kecapi, tapi gagal. Kemudian ke dalam celempung, tapi gagal juga. Percobaan terus dilakukan, hingga ada satu yang berhasil, yaitu penyelundupan benih padi sawah di dalam alat musik tarawangsa.

Padi sawah tumbuh di Sunda. Orang-orang Sunda bersawah. Tanah Sunda yang subur karena banyak gunung api dan bekas danau purba, membuat padi sawah betah dan berbulir ranum.

Orang Sunda bersyukur ketika panen. Cara syukur yang dilakukan adalah dengan membunyikan tarawangsa, alat yang berhasil membawa padi ke Sunda. Syukur dipanjatkan kepada Nyi Pohaci Dangdayang Sri atau Dewi Sri, dewi kesuburan.

Fungsi Tarawangsa Pada Ritual "Ngalaksa"

Ahmad Rifai, dalam kajian etnografi internet (netnografi) berjudul "Identitas Islam pada Seni Pagelarang Tarawangsa", dimuai jurnal Jurnal Budaya Etnika, Vol. 7 No. 1 Juni 2023 menjelaskan tarawangsa mulanya adalah pagelaran tahunan.

"Pada mulanya seni Tarawangsa yang disajikan setahun sekali, seni utama yang mengiringi proses ngalaksa. Ngalaksa merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Rancakalong terhadap Tuhan yang Maha Kuasa sekaligus sebagai penghormatan terhadap Dewi Pohaci atas panen yang melimpah," tulisnya.

Di dalam upacara Ngalaksa itu, bukan hanya masyarakat menikmati ngak-ngek Tarawangsa dan petikan jentreng, namun ada prosesi membuat "Laksa". Kamus Sundadigi menjelaskan laksa adalah sejenis makanan terbuat dari tepung beras.

Itu sebabnya, ngalaksa dilakukan 7 malam, sebab selama itu pula proses pembuatan makanan laksa dilakukan. Bagaimana pembuatannya? Telaah yang dikutip Ahmad Rifai:

"Yuningsih menyatakan ngalaksa adalah prosesi tradisional yang dilaksanakan tujuh malam yang terdiri atas tahapan meuseul bakal, yaitu menumpukan padi dengan diiringi doa, ngibakan atau ngageulis, yaitu mencuci beras dengan air kembang laja (2005). Menyimpan beras yang telah dicuci selama tiga hari tiga malam, menumbuk beras hingga menjadi tepung membungkus tepung beras, yang telah dicampur dengan kelapa dan gula merah dengan menggunakan daun cengkok dan membagikan laksa kepada seluruh warga, malsa sejenis leupeut yang dibungkus dengan daun congkok (Supriatin, 2012)," tulisnya.

Perkembangan Tarawangsa

Tarawangsa masih berfungsi sebagai ritual dan juga ada fungsi lain sebagai penghiburan. Dalam acara-acara pemerintah di Kabupaten Sumedang misalnya, musik tarawangsa sekarang ini dipakai sebagai musik untuk menyambut pejabat dari pemerintah pusat. Misalnya, ketika datang pejabat dari Kemenko Polhukam dan sejumlah kepala daerah ke Sumedang, Kamis, 23 Januari 2023, mereka disambut tarawangsa, sebagaimana dikutip dari situs resmi Pemkab Sumedang.

Kedatangan mereka tentu bukan untuk menghadiri upacara syukuran hasil bumi, melainkan kunjungan pemerintahan. Maka, dalam perkembangannya, seni tarawangsa ada yang menjadi penghiburan semata.

Itu juga yang membuat tarawangsa mudah dikolaborasikan dengan nuansa musik lain. Saat MTQ tingkat Jawa Barat ke-37 berlangsung di Sumedang tahun 2022, musisi Doel Sumbang bermusik di acara pembukaannya dengan memadukan musiknya dengan unsur tarawangsa.

Penabuh kendang Sunda tersohor, Rusdy Oyag juga membuat kolaborasi dengan musik tarawangsa, bahkan sampai viral dan disenangi banyak kalangan.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads