Legenda Sangkuriang menjalankan semua permintaan Dayang Sumbi yang dicintainya, menyertai asal-usul terbentuknya Cekungan Bandung di Jawa Barat, yang pada datarannya, kini tumbuh perkotaan.
Sangkuriang diminta untuk membendung Ci Tarum dan membuat perahu untuk dipakai berlayar berdua, oleh Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Nyaris tuntas, tapi sebenarnya Dayang Sumbi mengajukan permintaan yang berat dan mustahil dikerjakan dalam semalam itu hanya sekedar untuk mengulur waktu.
Dia sadar tak bisa menikah dengan Sangkuriang, sebab jejaka itu adalah anaknya sendiri yang kepalanya pernah dipukul karena membunuh Si Tumang, anjing pengawal Dayang Sumbi yang tak lain adalah suaminya sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dayang Sumbi adalah anak dari hubungan antara Raden Sungging Perbangkara, Raja Negara Parahiyangan dengan seorang gadis desa hitam manis bernama Wayungyang. Keduanya bertemu saat Raden Sungging Perbangkara melakukan aktivitas berburu.
Pada versi lain cerita ini, Wayungyang digambarkan sebagai seekor babi. Ketika raja buang air kecil yang air seninya tertampung pada tempurung kelapa, babi itu minum pada tempurung itu. Teknik penceritaan yang intinya berhubungan badan.
Setahun kemudian, ketika Perbangkara kembali ke desa dekat hutan itu, ada suara seorang bayi. Bayi itu lantas dibawa ke kerajaan, bayi itulah yang kelak dewasa menjadi Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi tinggal di rumah yang berjarak dengan tanah. Jaraknya cukup tinggi. Suatu hari, dia sedang menenun, tetapi gulungan benangnya jatuh. Hari itu, entah kenapa, tidak seperti biasanya, Dayang Sumbi merasa letih. Bahkan untuk mengambil gulungan saja dia tidak berdaya.
Maka dia berucap-ucap, siapapun yang bisa mengambilkan untuknya gulungan yang jatuh itu, jika perempuan akan dijadikan saudara, jika laki-laki akan dijadikan kekasih.
Tak ada siapapun di sekitar rumah. Dan Si Tumang, seekor anjing yang menjadi pengawalnya mendengar ucapan itu. Dia bergegas menggigit gulungan benang yang jatuh itu dan naik ke atas rumah menyimpannya di samping Dayang Sumbi yang tengah terlelap.
Sesuai janjinya, Si Tumang kemudian menikahi Dayang Sumbi, dan kemudian perempuan itu mengandung. Dayang Sumbi melahirkan Sangkuriang.
Membunuh Si Tumang
Sangkuriang tumbuh remaja. Dia mulai senang berburu. Si Tumang, anjing yang tak lain adalah ayahnya sendiri, mengawalnya berburu. Suatu ketika, dia bertemu nenek tua di dalam hutan. Sangkuriang merasa terancam dan meminta Si Tumang menyerang nenek tersebut. Nenek itu adalah Wayungyang.
Si Tumang tak mau menyerang, sebab dia tahu bahwa Wayungyang adalah ibu Dayang Sumbi alias neneknya Sangkuriang. Karena kesal, Sangkuriang lalu membunuh Si Tumang.
Tahu akan kejadian itu, Dayang Sumbi marah dan memukul kepala Sangkuriang dengan cidukan nasi. Pukulan itu meninggalkan bekas luka pitak di kepala Sangkuriang.
Sangkuriang pergi meniggalkan Dayang Sumbi ke arah Timur dan dalam perjalanannya, dia melahap berbagai pengajaran dari sejumlah guru, dia belajar beladiri dan kebatinan.
Pakar Geografi, T. Bachtiar dan Dewi Syafriani menulis buku berjudul "Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi" (edisi keempat, 2016). Di dalamnya ada tulisan mengenai legenda Sangkuriang.
Dalam versi yang ditulis T. Bachtiar, Sangkuriang selesai berguru dan pergi lagi berjalan kaki. Disangkanya dia berjalan terus ke Timur, padahal kembali ke Barat. Kembali ke tempatnya pergi.
Dia bertemu perempuan cantik, namanya Dayang Sumbi. Sangkuriang tak percaya bahwa itu ibunya, sebab dia merasa berjalan terus ke Timur dan tidak kembali ke rumah ibunya.
Dayang Sumbi mengenali bahwa Sangkuriang adalah anaknya dari luka pitak di kepala. Maka agar cintanya tidak sampai ke pernikahan, Dayang Sumbi mengajukan syarat agar Ci Tarum dibendung dan dibuatkan perahu untuk mereka berdua berlayar. Tapi semuanya harus selesai semalam.
Melihat Sangkuriang hampir berhasil, Dayang Sumbi membuat fajar palsu dengan mengibas-kibaskan selendang putih. Mengetahui fajar telah terbit, Sangkuriang marah dan menendang perahu yang dibuatnya dengan kayu-kayu dari Bukit Tunggul hingga perahu itu terbalik. Sangkuriang kemudian mengejar Dayang Sumbi ke Timur.
Merekam Letusan Gunung Sunda
Gunung Sunda tumbuh pada kaldera Gunung Jayagiri yang meletus lebih dahulu. Ketika Gunung Sunda meletus, materialnya menutup Ci Tarum sehingga sungai itu meluap dan menjadikan Cekungan Bandung menjadi Danau Bandung Purba.
Pada kaldera letusan Gunung Sunda, tumbuh Gunung Tangkuban Parahu yang jika dilihat dari arah selatan, bentuknya memang seperti perahu terbalik.
Dalam bukunya, "Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi" (edisi keempat, 2016), T. Bachtiar dan Dewi Syafriani menyebutkan bahwa legenda Sangkuriang adalah kemampuan para leluhur dalam merekam dan menjelaskan peristiwa alam letusan Gunung Sunda.
Termasuk, ketika Sangkuriang dan Dayang Sumbi lari ke arah Timur. Yaitu, upaya mitigasi bencana dengan lari menjauh dari titik letusan gunung.
Saat ini, lokasi-lokasi yang dikisahkan dalam legenda Sangkuriang, dengan mudah dapat ditemukan di Bandung Utara. Termasuk Bukit Tunggul dan Gunung Tangkuban Parahu.
Cerita Sangkuriang membendung Ci Tarum bahkan pernah disebut-sebut oleh Bujangga Manik, putra mahkota Kerajaan Sunda yang melakukan serentetan perjalanan ziarah di Jawa-Bali. Naskah tentang Bujangga Manik ditulis pada abad ke-15 M.
Sejarah Bumi Cekungan Bandung
Pakar Geografi, T. Bachtiar dan Dewi Syafriani dalam "Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi" (edisi keempat, 2016) memerinci bagaimana Cekungan Bandung tergenangi air hingga akhirnya surut lagi.
T Bachtiar mulai bercerita: Pada masa Miosen Awal atau sekitar 22,5-17 juta tahun yang lalu, Cekungan Bandung dan sebagian Jawa Barat masih digenang laut. Terjadi pengangkatan, yang semula dasar laut itu, kini menjadi daratan, menjadi perbukitan kapur Citatah/Rajamandala (di Kabupaten Bandung Barat).
Zaman berpindah ke Miosen Tengah atau sekitar 17-10 juta tahun yang lalu. Di selatan Cekungan Bandung, tumbuh gunung api, di antaranya adalah Gunung Papandayan yang hingga sekarang masih aktif.
Pada zaman Miosen Akhir atau sekitar 10-5 juta tahun yang lalu, kondisi Cekungan Bandung masih berupa dasar laut dangkal. Dasar laut ini terus menyembul hingga menjadi perbukitan kapur Citatah/Rajamandala.
Terlempar ke zaman Pliosen, sekitar 5-1,8 juta tahun yang lalu, terjadi kegiatan gunung api di selatan Cimahi. Gunung api purba itu sekarang menjadi bukit-bukit seperti Gunung Selacau, Gunung Lagadar, Gunung Lalakon, Gunung Paseban, pasir-pasir (bukit kecil) dan lain-lain.
Lalu, pada zaman Plistosen Awal 1,8 juta-700 ribu tahun yang lalu, kegiatan gunung api bergeser ke utara Cekungan Bandung. Ini dibuktikan dengan adanya Sumbat Lava Pantenggeng di utara Padalarang. Sumbat lava atau bagian gunung api yang tidak rusak karena letusan itu menjadi bukti bahwa tempat itu, semula berupa gunung api aktif.
Pada zaman Plistosen Tengah, sekitar 700-500 ribu tahun yang lalu, Gunung Sunda lahir dari Kaldera Gunung Jayagiri. Letusan dashyatnya mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera. Dinding kaldera membentang di sekitar situ lembang.
Di masa Plistosen Akhir, sekitar 500-20 ribu tahun yang lalu, Cekungan Bandung terendam air sehingga menjadi danau purba terjadi.
T Bachtiar menjelaskan: Pada masa ini, sesar lembang secara evolutif terbentuk dan terus bergerak meski sangat pelan. Panjangnya 24 kilometer dari Gunung Palasari di Timur sampai Cisarua di Barat.
Di zaman ini pula, material letusan gunung Sunda membendung Citarum di utara Padalarang, lalu air tertahan menjadi Danau Bandung Purba.
Dari kaldera Gunung Sunda, lahir Gunung Tangkuban Parahu. Makna nama Tangkuban Parahu adalah perahu yang terbalik. Letusan dari kedua gunung itu melelerkan lava seperti terbentuknya lava Pahoehoe di Cikapundung.
Danau Bandung Purba bobol di Cukang Rahong untuk danau bagian barat, dan di Curug Jompong untuk danau bagian timur.
Di sekitar danau yang masih belum kering seperti sekarang ini, manusia prasejarah menjelajah dari satu tempat ke tempat lain, kerangka dan benda budaya manusia purba sebagai bukti aktivitas mereka ini, ditemukan di Guha Pawon, Padalarang.
Letusan Tangkuban perahu terjadi di beberapa titik dari barat sampai timur. Ini lah yang menyebabkan bentuk gunung ini seperti perahu terbalik dilihat dari selatan.