Rumentang Siang di Antara Idealisme dan Industri Kesenian

Rumentang Siang di Antara Idealisme dan Industri Kesenian

Rifat Alhamidi - detikJabar
Minggu, 19 Mei 2024 18:00 WIB
Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung
Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung. (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar)
Bandung -

Kesenian teater di Bandung saat ini sedang berada di ambang senjakala. Sudah beberapa dekade, minim aktor yang bisa muncul ke permukaan dan melambungkan namanya hingga dikenang karyanya oleh banyak orang.

Sebetulnya, pegiat teater di Bandung saat ini masih banyak tersebar. Lewat sekolah dan lembaga pendidikan lainnya, sejumlah orang yang masih peduli dan menganut idealisme keteateran, masih terus berusaha untuk menggaungkan kembali kesenian yang terbilang begitu sakral bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya.

Dilema ini turut dirasakan Apipudin, pegiat teater di Kota Bandung, Jawa Barat. Bahkan, Kang Apip (sapaan akrabnya), tak jarang kerap berdiskusi dengan rekannya untuk mencari tahu mengapa teater kini seolah dipandang tak menarik lagi oleh sebagian orang

"Kondisi sekarang yang memang benar seperti itu. Karena bisa dibilang, dulu itu Bandung jadi barometernya teater di Indonesia. Tapi sekarang kondisinya sepertinya berbeda, ini yang sering saya dengan temen-temen diskusikan, kenapa," katanya saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.

Dalam kenangan Kang Apip, gaung teater di Bandung dulu tak bisa dipisahkan dengan kehadiran Gedung Kesenian Rumentang Siang. Di zaman itu, para seniman menempatkan Rumentang Siang tak hanya sebagai tempat pertunjukan, tapi sebagai tempat saling berbagi gagasan hingga ide brilian tentang rencana pementasan tak jarang banyak ditemukan.

Maka tak ayal, kelompok teater pada zaman itu seperti Studiklub Teater Bandung (STB) muncul sebagai salah satu grup teater yang fenomenal pada masa tersebut. Ini terjadi karena para maestro terdahulunya menjalankan fase saling bertukar gagasan, disamping fokus dengan garapan seni pertunjukannya.

"Rumentang Siang dulu itu jadi basecamp, pegiat teater zaman itu berprosesnya di Rumentang Siang. Kalau sekarang kan jadi gedung komersil. Kalau kita mau pakai, ya mesti bayar. Kalau dulu beda. Ada semacam seleksinya. Pas diseleksi enggak lolos, ya jangan harap bisa main di Rumentang Siang," kenang Kang Apip.

Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung.Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung. (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar)



"Kondisi kayak gitu yang akhirnya membuat Rumentang Siang dalam tanda petik aturannya bukan ke arah karya lagi, tapi lebih ke administrasi. Saya bahkan masih inget, mau tampil nih di sana, kita bebas latihan di mana aja di Rumentang Siang. Kalau sekarang, diatur latihannya bisa paling H-1. Jadi interaksinya juga berkurang," tuturnya menambahkan.

Kemudian, pegiat teater di kalangan anak muda zaman sekarang memang masih banyak tersebar. Mereka kata Kang Apip, banyak berkutat di lembaga pendidikan untuk menyebarkan virus teater kepada para pelajar di Bandung maupun di Jabar.

Namun masalahnya, ada faktor perubahan zaman yang membuat kesenian teater kini tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Menurut pandangan Kang Apip, semua kondisi ini memang tak bisa lantaran zamannya yang sudah berbeda dulu dengan sekarang.

"Memang grupnya masih ramai, di sekolah bahkan masih banyak ekskul teaternya. Tapi secara kualitas, udah jauh beda. Karena sekarang, masanya anak-anak sekolah itu lebih seneng ke kabaret. Bukan berarti kabaret salah, karena kabaret juga sebetulnya masih seni pertunjukan," katanya.

Karena kondisi it, Kang Apip beserta kawan-kawannya sedang menginisiasi sebuah festival di Rumentang Siang berupa Festival Drama Basa Sunda (FDBS). Muncul sebuah harapan supaya seni pementasan bisa digandrungi kembali di kalangan anak muda sekarang, terutama kesenian teater.

Ibarat candu, Kang Apip sudah puluhan tahun bergelut di kesenian teater. Ia pun tak menutup diri bahwa kesenian tersebut sekarang mulai tersisihkan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tercetus harapan darinya supaya semua pihak bisa lebih peduli lagi terhadap kesenian yang pernah mengharumkan nama Bandung di kancah nasional tersebut.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah merapikan kembali manajemen kelompok-kelompok teater yang sudah ada. Setelah itu, ia berharap ada pembinaan kepada apresiator supaya teater tetap memiliki magnet yang menarik bagi siapapun yang menontonnya.

"Jadi kondisi seperti ini tuh kenapa bisa terjadi, menurut pandangan saya itu mungkin banyak yang keliru dengan fungsi seni pertunjukan. Sekarang kan fungsinya hanya buat hiburannya saja, kalau disuguhkan pertunjukan yang serius, kayak teater, penontonnya pasti berat," katanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Maka, harus ada pembenahan di kalangan pegiat ini soal manajemen kelompoknya. Setelah itu, mesti ada pembinaan kepada apresiatornya. Saya yakin, kalau itu di jalankan, teater di Bandung ini akan baik-baik saja dan akan terus ada," tuturnya.

"Disamping memang teaternya yang harus berinovasi dengan perkembangan zaman. Tapi, tetap harus ada kelompok yang mengimbangi itu. Misalnya disuguhkan dulu pertunjukan hiburan buat menarik yang nonton. Setelah tertarik, baru dikasih yang seriusnya. Banyak cara lah bagaimana menghidupkan kembali teater di Bandung ini," pungkasnya.

(ral/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads