Meski ada situs bernama Situs Ciung Wanara Karangkamulyan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, cerita tentang Ciung Wanara sejatinya berasal dari carita pantun, sebuah khazanah sastra Sunda kuno yang telah mendarah daging selama ratusan tahun pada masyarakat Sunda. Carita pantun, berbeda dengan pantun dalam kesusatraan Melayu.
Selayaknya carita pantun, yang dikisahkan di dalamnya adalah kejadian-kejadian di seputar kerajaan: Tentang raja dan anak raja. Ada banyak carita pantun di Sunda, selain Lutung Kasarung dan Mundinglaya Dikusumah, Ciung Wanara menjadi satu di antara yang paling terkenal.
Carita pantun Ciung Wanara mengisahkan tentang pertarungan dua anak raja Kerajaan Galuh, Barma Wijaya dari dua istri: Pohaci Naganingrum dan Dewi Pangrenyep.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari Pohaci Naganingrum yang merupakan istri pertama raja, lahirlah Ciung Wanara. Sementara dari Dewi Pangrenyep, madunya, lahirlah Hariang Banga.
Pada abad modern, carita pantun Ciung Wanara dikisahkan kembali dengan sangat apik dengan teknik penceritaan yang piawai, oleh sastrawan kenamaan Indonesia, Ajip Rosidi. Dia mengisahkan kembali carita pantun yang aslinya berbahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia.
Mula-mula buku berjudul "Ciung Wanara: Sebuah Carita Pantun itu diterbitkan pada 1961 oleh penerbit Tiara, lalu cetakan kedua oleh panerbit Nuansa pada 2007.
Dari cerita pantun ini, pembaca bisa melihat bagaimana mulanya etnis Jawa-Sunda berpisah, meski tinggal pada satu pulau bernama Pulau Jawa, dengan lokasi geografi yang dipisahkan oleh Sungai Cipamali, sungai yang membentang di Kabupaten Berebes, Jawa Tengah.
Ciung Wanara Sekilasan
Ajip Rosidi memulai cerita Ciung Wanara dengan kebahagiaan Raja Galuh, Barma Wijaya yang mendapati kedua istrinya tidak lagi datang bulan. Artinya, keduanya mengandung anak-anak yang akan meneruskan kerajaannya.
Kerajaan Galuh sangatlah luas. Batas selatan adalah Laut Kidul tempat Citanduy bermuara dan batas utara adalah Laut Utara di mana Cipamali berujung. Luas Galuh juga berbatasan dengan Rakata di barat dan Bali di timur.
Kerajaan seluas itu, sayang jika tidak ada yang meneruskan memerintah. Maka, kebahagiaan menyelimuti raja ketika kedua istrinya akan memberikannya keturunan berupa anak lelaki yang tampan yang kelak menjadi putra mahkota yang gagah.
Namun, jika Dewi Pangrenyep mengandung dengan waktu yang umum sembilan bulan, Pohaci Naganingrum mengandung dalam waktu setahun. Dengan ini, Dewi Pangrenyep melahirkan lebih dulu. Lahirlah bayi lelaki yang tampan, Hariang Banga.
Pohaci Naganingrum sudah mulai gelisah, mengapa dia belum juga melahirkan. Di samping itu, kebahagiaan telah mekar di kerajaan dengan lahirnya putra sang madu.
Hingga tibalah waktu yang dinantikan. Pohaci Naganingrum akan melahirkan. Yang kabar tentang ini membuat Dewi Pangyenyep sedikit panas hatinya, khawatir kebahagiaannya dengan sang raja dan bayinya yang baru lahir, terganggu dengan kedatangan bayi Pohaci Naganingrum.
Maka, muncullah siasat. Dalam persalinan Pohaci Naganingrum, Dewi Pangrenyep akan bertindak sebagai paraji atau dukun beranak. Namun, aneh sekali, sebelum bersalin, kedua telinga dan kedua mata perempuan hamil itu ditutup dengan malam (lilin). Katanya, supaya tidak terasa sakitnya melahirkan.
Namanya madu, tindakan itu ternyata tindakan jahat. Dalam kondisi lemas dan tidak melihat serta mendengar, Pohaci Naganingrum dikelabui. Bayi laki-laki yang tampan dan calon putra mahkota yang gagah diganti dengan anak anjing belang!
Sementara bayi itu dimasukkan ke dalam kandaga, semacam peti kayu tempat menyimpan barang-barang berharga. Di dalam kandaga itu, disertakan sebuah telur ayam jantan. Kandaga itu lalu dihanyutkan.
Burung Ciung dan Seekor Kera
Kandaga yang hanyut itu ditemukan sepasang kakek-nenek tersebutlah keduanya Aki Balangantrang dan Nini Balangantrang. Bukan hanya bahagia, keduanya merawat bayi tersebut dengan penuh kasih sayang, juga mengurus ayam yang menetas dan tumbuh menjadi ayam jantan yang indah namun jago bertarung.
Kokok ayam itu aneh. Terdengar oleh Nini Balangantrang bukan kukuruyuk biasa, namun seperti memberikan informasi tentang asal-usul bayi yang ditemukannya, yang ketika itu sudah tumbuh remaja. Ketika itu, sadarlah Nini bahwa anak kukutannya itu bukan anak keumuman orang.
Soal nama Ciung Wanara, nama itu ditemukan anak tersebut ketika bepergian ke hutan bersama Aki Balangantrang. Ketika itu, dia melihat seekor burung dengan bulu yang indah yang dinamakan Ciung. Lalu, dia melihat binatang berbuntut panjang yang jenis kera itu dinamakan Wanara.
Mendengar penjelasan Aki soal kedua nama binatang itu, Ciung Wanara terpukau, sementara sampai remaja, dia belum punya nama sebab Aki tak berani memberi nama, oleh sebab tahu derajat tinggi anak kukutannya itu. Seperti ini Ajip Rosidi mengisahkannya:
"Bagaimana jika kedua nama binatang itu disatukan saja buat namaku?"
"Apa? Nama binatang? tanya Aki agak kaget.
"Namun nama Ciung Wanara tidak buruk, Aki," sahut si anak. "Bukankah nama itu indah kedengarannya?"
Akhirnya, Aki Balangantrang menurut dengan apa yang disampaikan anak itu dan menyesal, betapa bodohnya dia menyadari keindahnya sebuah nama.
Adu Ayam Taruhan Nyawa
Singkat cerita, Ciung Wanara berkelana dengan ayam jagonya. Dia berkeliling dari sabungan ke sabungan, sampai kabar tentang kehebatan ayamnya sampai ke telinga raja. Raja memintanya mengadukan ayamnya dengan ayam jago kerajaan.
Sejatinya sabung, harus ada taruhan. Ciung Wanara mempertaruhkan nyawanya jika ayamnya kalah. Sebab, sebab anak tanpa asal-usul yang jelas, hanya nyawa hal berharga yang dimilikinya.
Sementara raja, jika ayamnya kalah akan mengangkat Ciung Wanara menjadi putra angkat dan tentu berhak atas takhta kerajaan. Hasilnya: Ciung Wanara menang.
Sebetulnya memang kerajaan itu adalah rumah Ciung Wanara, dan raja adalah ayahnya. Namun, tabir belum benar-benar tersingkap hingga menjelang detik-detik penobatan Ciung Wanara sebagai putra mahkota.
Pohaci Naganingrum yang ketika melahirkan terkena fitnah melahirkan anjing yang fitnah itu dibuat Dewi Pangrenyep, ternyata masih hidup. Meski ketika itu, raja menitahkan membinasakan Pohaci Naganingrum.
Pohaci hidup di kampung Ki Lengser kerajaan. Dia bertapa di kampung itu sambil menanti keadilan yang betul-betul adil datang kepadanya. Terbukalah semuanya, bahwa Dewi Pangrenyep telah membuat Pohaci Naganingrum dan Ciung Wanara sengsara.
Para jaksa kerajaan memutuskan Dewi Pangrenyep untuk dihukum penjara atas dosa-dosa yang dia lakukan, akibat keserakahannya ingin menguasasi seluruh Kerajaan Galuh. Namun, mendengar keputusan itu, Hariang Banga murka. Dia lalu menantang Ciung Wanara berduel, jika memang benar Ciung Wanara adalah putra Galuh.
Terpisahnya Etnis Jawa-Sunda
Pertarungan antara Hariang Banga dan Ciung Wana berlangsung sengit dan lama. Dua saudara sebapak ini betul-betul mengeluarkan semua kemampuannya untuk saling menaklukan lawannya.
Hingga pada titik yang puncak, Ciung Wanara berhasil mencengkeram tubuh Hariang Banga dan mengangkatnya, lalu melemparkannya ke seberang sungai Cipamali.
Ajip Rosidi mengisahkan, bahwa Hariang Banga lalu berteriak berbicara kepada lawannya. Suaranya menyebrang sungai yang ketika itu meluap airnya karena banjir. Dalam teriakannya itu, Hariang Banga meminta menyudahi pertarungan dan membagi wilayah Kerajaan Galuh menjadi dua.
Satu bagian dari Cipamali ke timur yang akan menjadi wilayah bagi Hariang Banga. Satu bagian lagi dari Cipamali ke barat yang menjadi hak bagi Ciung Wanara. Dengan pernyataan itu, Ciung Wanara menerimanya.
Dalam pengisahan Ciung Wanara, Ajip Rosidi menuliskan:
"Di bagian timur, orang-orangnya suka kepada wayang kulit dan tembang, sedangkan di bagian barat orang-orangnya suka kepada kacapi pantun dan mendengarkan carita pantun."
Dua karakter etnis yang berbeda. Yang kemudian masyarakatnya menuturkan dua bahasa yang berbeda. Satu berbahasa Jawa, dan satunya berbahasa Sunda.