Sebagai satu dari empat orang yang menyelamatkan Mahkota Binokasih dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang diserang Banten ke Kerajaan Sumedang Larang, Jaya Perkosa atau dikenal dengan Sanghyang Hawu, bukan orang kaleng-kaleng.
Patih Kerajaan Sumedang Larang yang sakti lahir-batin itu lalu menjadi orang yang paling diandalkan dalam hal pertahanan Kerajaan Sumedang Larang dari serangan-serangan kekuatan luar.
Belanya Jaya Perkosa ke Kerajaan Sumedang Larang dan kepada Prabu Geusan Ulun tak terukur banyaknya. Hingga suatu hari, Jaya Perkosa merasa sakit hati oleh Prabu Geusa Ulun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan soal sepele yang menjadi sebabnya. Melainkan pegangan kepada "janji" yang pudar, meski tidak ada tanda-tanda yang mengharuskan janji itu pudar.
Pohon Hanjuang
Ketika Kesultanan Banten menyerang Kerajaan Sumedang Larang, Jaya Perkosa adalah yang paling depan melakukan perlawanan. Namun, sebelum pergi ke medan perang, Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun untuk tidak sekali-kali meninggalkan ibu kota Kerajaan, kecuali jika ada tanda-tanda pasukannya kalah.
Saat itu, ibu kota Kerajaan Sumedang Larang berada di Kutamaya. Lalu, Jaya Perkosa menunjuk sebuah pohon hanjuang. Jika hanjuang itu daunnya pasi, pirang, tidak segar lagi, maka itu menjadi tanda bahwa dia dan pasukannya terserang musuh.
Sebaliknya, jika hanjuang daunnya masih hijau dan segar, tak ada alasan untuk Prabu Geusan Ulun meninggalkan Pancaniti atau keraton.
![]() |
Namun, kenyataannya, meski hanjuang masih hijau dan segar, Prabu Geusan Ulun berpindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur, yang lokasinya di Kecamatan Ganeas saat ini.
Ketika Jaya Perkosa kembali lagi ke Kutamaya dari medan perang, tak didapatinya seorang pun di tempat itu. Dilihatnya hanjuang masih segar. Lalu kekecewaannya kepada Prabu Geusan Ulun memuncak karena raja itu dianggap mengkhianati rasa saling percaya yang selama ini terjalin di antara keduanya.
Agus Surrachman, pegiat kebudayaan di Sumedang mengatakan bahwa Jaya Perkosa tidak buru-buru kembali ke Kutamaya setelah memenangkan pertempuran melawan Cirebon, karena menunggu sebentar, khawatir ada serangan lanjutan dari pihak lawan.
"Di sini mungkin ada miss-komunikasi. Yang satu menunggu khawatir ada serangan lanjutan, sementara Prabu Geusan Ulun buru-buru pindah yang kepindahannya tidak mengindahkan kondisi pohon hanjuang itu," kata Agus kepada detikJabar.
Diabadikan Mang Koko
Mestro karawitan, Koko Koswara atau Mang Koko mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Sumedang pada Rabu (17/4/2024) atas semangat yang dikandung dalam lagu-lagu Sunda gubahannya.
Dikutip dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Sumedang, penggubah lagu "Sabilulungan" itu diberi penghargaan atas lagu tersebut yang telah memberi dampak baik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sumedang. Penghargaan diberikan kepada ahli warisnya, Ida Rosida, dalam rangkaian Hari Jadi Sumedang (HJS) ke-446.
Namun, Mang Koko sejatinya bukan hanya menulis "Sabilulungan", melainkan mengabadikan peristiwa seteru Jaya Perkosa dan Prabu Geusan Ulun dalam lagu berjudul "Hanjuang di Kutamaya".
Pohon hanjuang yang bertalian dengan Jaya Perkosa itu masih tumbuh di Kutamaya hingga saat ini, meski pohon sebelumnya yang besar, yang batangnya sebesar betis orang dewasa hilang dicuri pada periode 2000-2010, menurut arsip detikJabar.
Lagu "Hanjuang di Kutamaya" menceritakan sebuah pohon yang di balik pohon itu, ada kekecewaan Jaya Perkosa kepada Prabu Geusan Ulun. Bahkan terceritakan, Jaya Perkosa tak lagi mau tunduk kepada Kerajaan Sumedang Larang.
Lagu Hanjuang di Kutamaya dan Artinya
Hanjuang di Kutamaya
tilas pamuk Sumedang Larang
Jaya Perkosa
(Hanjuang di Kutamaya,
peninggalan kepala perang Sumedang Larang
Jaya Perkosa)
Hanjuang ki kahuripan
Perlambangna hiji jangji
Satria anu buméla
(Hanjuang Ki Kahuripan
lambang sebuah janji
Satria yang membela)
Ngakar di lemah kacinta
Siangna geus ngambah jaman
Ucapan Jaya Perkosa baheula
Dicatet ku urang Sunda ayeuna
(Berakar di tanah yang dicintai
Siangnya merambah zaman
Ucapan Jaya Perkosa dulu
Dicatat orang Sunda kini)
Mun hanjuang ieu pérang
Cirina paman kasoran
Mun hanjuang ieu hurip
Éta tanda unggul jurit
(Kalau hanjuang ini layu,
itu tandanya paman terserang
Kalau hanjuang hidup
Tanda paman menang)
Miang nu pamuk perang
Ijén patutunggalan
Dihurup balad sarébu
Tangguh teu busik bulu
(Berangkatlah ke medang perang
bertarung satu lawang satu
dikeroyok seribu lawan
Tangguh tak rusak selembar bulu pun)
Mulang nu pamuk perang
Néang tangkal hanjuang
Ngajugjug ka Pancaniti
Naha bet geuning sepi
(Pulang dari medang perang
Mencari pohon hanjuang
Mendatangi Pancaniti
Lho, sudah sepi)
Hanjuang di Kutamaya
Tilas pamuk Sumedang Larang
Jaya Perkosa...
(Hanjuang di Kutamaya,
peninggalan kepala perang Sumedang Larang
Jaya Perkosa)
Hanjuang ki kahuripan
Mawa béja ti lalaki
Nu kongas kadigjayana
(Hanjuang Ki Kahuripan
Membawa kabar tentang lelaki
yang masyhur kedigjayaannya)
Pengkuh bari jeung satia
Ka Naléndra ka nagara
Ucapan Jaya Perkosa baheula
Dicatet ku urang Sunda ayeuna
(Kukuh dan setia
kepada raja kepada negara
Ucapan Jaya Perkosa dulu
Dicatat orang Sunda kini)
Kunaon Raja teu pangger
Sakitu hanjuang seger
Kunaon Raja bet cidra
Kalahka nilar nagara
(Kenapa raja tidak kukuh hati
Padahal hanjuang masih segar
kenapa raja mencedrai
malah meninggalkan negara)
Hanjuang di Kutamaya
Wangsit pamuk Sumedang Larang
Jaya Perkosa...
(Hanjuang di Kutamaya
Wangsit panglima perang Sumedang Larang
Jaya Perkosa)
Hanjuang ki kahuripan
Boa pugur dina tangtungan
Bebeneran urang ayeuna
(Hanjuang Ki Kahuripan
Barangkali gugur pada pendirian
apa yang kita yakini sekarang)