Di Kabupaten Garut ada tokoh sejarah penyebaran Islam di tanah Sunda, yaitu Sunan Rahmat yang dimakamkan di Godog, tepatnya di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut.
Sunan Rahmat, disebut-sebut juga sebagai Prabu Kian Santang seorang putra dari Sri Baduga Maharaja yang bergelar Prabu Siliwangi, raja terakhir kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran.
Sosok Sunan Rahmat diyakini sebagai penyebar Islam pertama di Sunda. Tentu, penyebaran keyakinan tentang iman kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada adanya surga-neraka tersebut, disertai pula dengan praktik peribadatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di antara jalan untuk menuju peribadatan Islam yang sah adalah dengan cara membersihkan diri, melalui wudu dan mandi junub. Namun, khusus bagi laki-laki, ada kewajiban untuk sunat terlebih dahulu.
Sunat adalah memotong kulit penutup pada bagian zakar atau kemaluan laki-laki. Ini dimaksudkan agar air kencing yang nilainya najis, tidak tersisa pada kulit kulup itu, sehingga ada perintah untuk sunat. Di dalam Islam sendiri, sunat telah ada sejak zaman Ibrahim AS.
Seiring perkembangannya, Sunan Rahmat atau Prabu Kian Santang juga menyebarkan syariat sunat ini di pulau Jawa, khususnya di Tanah Sunda.
Wawacan Prebu Kian Santang
Informasi mengenai Prabu Kian Santang di antaranya dapat dibaca dalam "Wawacan Prebu Kian Santang" (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).
Di sana, dijelaskan perjalanan lengkap Prabu Kian Santang yang mulanya mencari lawan bertarung bernama Bagenda Ali atau Almurtado atau Ali bin Tholib, tetapi malah bersalin agama dari Hindu ke Islam karena kesaktiannya hilang.
Wawacan ini memang harus dicerna sebagai karya sastra Sunda kuno yang berbasis pada tradisi sastra lisan. Jika ditarik lini masanya, masa hidup Prabu Kian Santang dengan Ali bin Abi Tholib, terpaut beratus tahun, lebih dahulu Ali bin Abi Tholib.
Lebih jauh, pertemuan Kian Santang dengan Bagenda Ali dilanjutkan dengan perjumpaan Kian Santang dengan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya, Abu Bakar, Umar, Usman, yang ketika itu sedang membangun masjid dengan masing-masing mengangkat tiang Masjid Al-Haram.
Ada tujuh tiang yang enam di antaranya sudah dipegang Rasulullah dan masing-masing sahabat. Tinggal satu tiang dan Prabu Kian Santang diminta untuk mengangkatnya. Jangankan mengangkat, malah keringat dan buliran darah keluar dari tubuh Kian Santang, kesaktiannya hilang.
Kian Santang ingin sekali kabur dari hadapan Rasulullah dan Ali serta sahabatnya karena malu, sebab di awal mengaku ingin bertarung ternyata tak punya kesaktian.
Dia lalu membaca mantra. Namun, baru saja terbang sebentar dia sudah jatuh kembali. Dia baca lagi, terbang, lalu jatuh kembali.
Maka, tak ada pilihan bagi Kian Santang kecuali 'tabe' atau menuruti apa yang menjadi ageman atau keyakinan Kanjeng Rasulullah. Pada pertemuan pertama ini, setahun penuh Kian Santang berguru kepada Rasulullah.
Suatu waktu, dia pamit pulang dari hadapan Rasulullah dan para sahabatnya. Lalu dia pulang dengan membaca kalimah kalih, yaitu kalimah La Ilaaha Illallah sambil memejamkan mata. Dari Makkah, dia tiba-tiba berada di Pulau Jawa.
Berada di Pulau Jawa, Kian Santang merasa sangat rindu kepada Rasulullah. Suasanya di Makkah membuatnya betah. Setelah berlama-lama di Jawa, dia akhirnya kembali lagi ke Makkah, begitu tiba di hadapan Rasulullah, posisi mereka masih pada posisi yang sama ketika dia pergi.
Mandat Penyebaran Islam
Wawacan Prebu Kian Santang menjelaskan bahwa Prabu Kian Santang mendapatkan mandat untuk menyebarkan Islam di Jawa. Di antara yang disebarkan adalah keyakinan bahwa jika seseorang meninggal dunia, anak ditakon atau ditanyai oleh malaikat yang konsekuensi dari pertanyaan-pertanyaan itu disiapkan Neraka da Surga.
Namun, dalam mandatnya, penyebaran Islam sebaiknya dilakukan dengan terlebih dahulu menyasar para raja, sehingga nantinya penduduk di tempat yang dirajai akan mengikuti.
Yang mula-mula ditawari Islam oleh Prabu Kian Santang adalah ayahnya, Prabu Siliwangi. Namun, karena sejak pamit untuk bertarung melawan Bagenda Ali telah memakan waktu dua tahun Kian Santang tidak pulang, yang ingin didengar Prabu Siliwangi adalah cerita pertarungan itu.
Namun, bukannya cerita pertarungan, malah yang didapatkan Siliwangi adalah tawaran untuk bersalin agama dari Hindu ke Islam. Prabu Siliwangi heran, dan menganggap anaknya "gila". Namun, Siliwangi tetap bijak dengan meminta tanda resmi berupa piagam bahwa Kian Santang adalah utusan Makkah.
Kian Santang lantas kembali menemui Rasulullah di Makkah bermaksud meminta piagam. Oleh Rasulullah diberi secarik kertas bertuliskan basmallah, sebelum akhirnya di kembali ke Jawa.
Olehnya, piagam itu ditatah pada batu hingga seseorang dari kalangan Kerajaan Sunda Pajajaran melihatnya dan memberitahukan kepada Prabu Siliwangi bahwa Prabu Kian Santang betul-betul memenuhi permintaannya. Mulai saat itu, Prabu Siliwangi memerintahkan semua menterinya untuk lari menghindari Islam.
Sunatan
Dalam wawacan Prebu Kian Santang, perintah menyunat orang-orang yang telah memeluk agama Islam datang kepada Prabu Kian Santang dari Rasulullah, seiring dengan diterimanya pisau bango sebagai alat sunat.
Namun, pada permulaan, Kian Santang belum tahu betul bagaimana tata cara sunat dan batasan mana yang dipotong.
Pada bait 332 dan 333, dijelaskan bagaimana kemaluan orang Islam dipotong seutuhna, dan ketika yang dipotong tewas, Prabu Kian Santang atau Sunan Rahmat merasa sangat kaget.
"Nandakeunana geus Islam
eta jalma suka ati
supaya slamet Islam
ka Sunan masrahkeun diri
enggal Sunan Rahmat gasik
peso nu ti Kanjung Rasul
dicandik rek marajian
sakalangkung tacan ngarti
rarangan diteukteuk rampung sampisan" (332)
Artinya:
Menandakan orang (yang dijumpai) sudah Islam
orang itu senang
agar Islamnya sempurna
memasrahkan diri kepada Sunan (untuk disunat)
Sunan Rahmat cepat mengambil
pisau dari Kanjeng Rasul
dibawa maksud mengkhitan
belum betul-betul mengerti
kemaluan dipotong penuh
"Jalma nunggal tuluy wapat
Sunan Rahmat reuwas nangis
ngadaregdeg salirana
cul peso babango deui
ditinggalkeun deukeut mayit
Raden rewasna kalangkung
kebat nguninga ka Mekah
sakalangkung welas galih
gagancangan ku hayang gera gok tepang" (333)
Artinya:
Orang yang sendirian itu wafat
Sunan Rahmat kaget lalu menangis
gemetar badannya
pisau babango disimpan dekat mayat
Raden kelewat kaget
lalu diceritakannya ke Makkah
(hatinya) sangat kasihan
ia cepat-cepat pergi karena ingin segera bertemu.
Kocap terceritakan, akhirnya Sunan Rahmat mengetahui cara yang benar dalam menyunat kemaluan orang-orang yang sudah menerima Islam. Dan diberi kelancaran dalam menyebarkan Islam di Jawa, khususnya tanah Sunda.
Di dalam Wawacan Prebu Kian Santang ini tidak diceritakan apakah sebelum Sunan Rahmat menyunat orang-orang Islam, dia sendiri mengalami apa yang disebut sunat itu? Sehingga terceritakan ada kekeliruan dalam menyunat yang menyebabkan meninggal dunia.
Namun, kembali, wawacan adalah tradisi sastra lisan di Sunda. Wawacan Prebu Kian Santang sendiri penulisnya anonim, sehingga perlu kebijaksanaan penuh dalam membacanya.