Belanda menerapkan politik segregasi, yakni memecah atau memisahkan warga menurut ras. Segregasi membuat Kota Bandung selama puluhan tahun terbelah antar etnis.
Sebelah utara Kota Bandung (Cipaganti, Jalan Merdeka, Braga) menjadi tempat untuk orang Eropa. Bandung bagian tengah (Otista, Pasar Baru, Andir), diisi orang-orang pedagang yang mayoritas Tionghoa. Sementara bagian selatan (sekitar Tegallega) menjadi wilayah untuk pribumi.
Sugiri Kustedja, Akademisi sekaligus Pengamat Pecinan di Kota Bandung, menyebut, sistem pemisahan tersebut yang menjadi cikal bakal adanya sentimen terhadap ras tertentu. Pertama dimulai sejak sistem wijkenstelsel yang melarang keras warga Cina bermukim di luar kampung Cina, dan diberlakukan sistem pas jalan alias passenstelsel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau analisa saya, berabad-abad dilakukan perlakuan seperti itu makanya terhadap penduduk setempat ada image yang kesannya Tionghoa ini eksklusif, dikhususkan," kata Sugiri.
"Karena mereka (etnis Tionghoa) bekerja harus hidup semua (setelah merantau), harus dagang kesana kemari kan jadi terlatih kan? Ketika dagangnya maju ada modal, memperluas. Dilihatnya ahli dagang, kaya semua. Ini lah aturan passenstelsel sudah dicabut, tapi itu kan social memory ya dari folklore. Nah ini menjelaskan kenapa ada sentimen terhadap etnis tertentu," lanjutnya.
Sejak dulu, etnis Tionghoa memang dikenal ulet bergerak dalam bidang perdagangan. Hal ini yang membuat mereka cenderung bermukim di sekitar pusat simpul transportasi perhubungan (jalan raya, jalan kereta api), stasiun kereta api, dan pasar sebagai pusat perdagangan.
Ditambah lagi pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1919 direncanakan Bandoeng sebagai ibukota Hindia Belanda. Saat proyek Groote Postweg atau Jalan Pos Besar (sekarang Jalan Asia Afrika), dibangunlah jalan rel kereta api untuk mengangkut skala besar dan waktu yang singkat. Dari sinilah cikal bakal daerah stasiun menjadi daerah perdagangan.
Selain itu, perencanaan kota juga berkembang dan mulailah dibangun Gedung Sate. Belanda mendatangkan para tenaga ahli bangunan dari etnis Tionghoa. Jalan ABC menjadi saksi adanya salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang pekerjaan sipil (bangunan, jalan, pengairan, jembatan).
"Salah satunya ada Lim A Goh, pendiri perusahaan Bouwbureau en Aannemer Lim A Goh. Dia incar tukang-tukang dari Tiongkok Selatan. Nah Jalan Pecinan Lama itu jadi mess karyawannya, kantornya di Jalan ABC," ceritanya.
Jalan Pasar Baru, Otista, Suniaraja, Banceuy, Pasir Kaliki dan sekitarnya menjadi semakin ramai. Jalan Jenderal Sudirman yang bersambung dengan Jalan Cibadak sampai ke Lengkong, dijadikan jalan pembantu.
Sementara itu, jalan Suniaraja dan Banceuy (tepatnya Bandung Banceuy Centre) dulunya merupakan daerah pemukiman dan pemakaman.
"Jalan besarnya menggunakan kereta dengan roda besi, kalau rusak ya pakai jalan pembantu ini menggunakan pedati. Kemudian di daerah Banceuy yang sekarang terkenal tempat sparepart itu, dulu namanya Sentiong, itu perkuburan orang Tionghoa," kata Sugiri.
"Gang Suniaraja itu kan ada pemukiman di dalamnya, gang-gang kecil itu dulu jadi pemukiman tukang-tukang kayu Konghu, mereka yang paling baik pengerjaan tangannya. Mereka membuat kayu itu tidak pakai lem atau paku, hanya pakai kayu tapi hasilnya teguh kokoh. Tapi sekarang sudah jadi pemukiman biasa," lanjutnya.
Hal tersebut juga diungkap Teguh Amor Febriana dalam buku Telusur Bandung. Orang-orang Tionghoa marga Konghu ahli perkayuan tersebut, didatangkan khusus dari Cirebon sebagai pekerja.
"Kini, kawasan antara Jalan Banceuy di timur dan Jalan Kelenteng di barat, serta Jalan Kebonjati di utara dan Jalan Jenderal Sudirman di selatan, dikenal sebagai Kawasan Pecinan. Banyak yang meragukan keabsahannya, terdorong dari realita absennya suasana kental pecinan yang bisa disaksikan di kota-kota lain," tulis catatan dalam buku Telusur Bandung.
Bioskop Capitol, Satu-satunya Bioskop Film Oriental
Jalan Sudirman lambat laun terbangun menjadi jalanan untuk sektor hiburan etnis Tionghoa. Selain kuliner, jalan Sudirman juga jadi saksi bisu masa kejayaan bioskop-bioskop Bandung.
Kalau dulu salah satu bioskop elit yakni Elita atau Majestic dengan segmen dan kelasnya masing-masing, ada satu bioskop yang memutarkan film-film sejenis shaolin.
Sugiri Kustedja juga menjadi orang yang melewati masa kejayaan bioskop-bioskop tersebut. Dahulu bioskop elit kelas satu letaknya ada di sekitar jalan Asia Afrika-Braga. Salah satunya ada Elita yang diapit oleh dua bioskop kelas menengah Varia dan Oriental, dan banyak bioskop lain yang tak terhitung jumlahnya.
"Dulu ada banyak sekali dan tergantung kelasnya. Ada yang misbar juga jadi gerimis bubar karena tidak ada atapnya. Ada yang sangat mahal dan ada servicenya dikasih bubur sebelum nonton. Kalau yang film oriental hanya satu itu di Capitol, komplek Capitol sekarang," kenang Giri.
"Bioskop Capitol itu memutar film Cina, sampai setelah G30SPKI fokus ke film Hongkong. Sebelahnya ada bioskop Texas, itu layer kedua ketiga lah. Dulunya film barat yang diputar, kemudian jadi film Italia," ceritanya melanjutkan.
Tak banyak yang bisa ia ingat, pun nyaris tak ada literatur detail tentang bioskop Capitol yang termasuk kelas menengah ini. Kebanyakan hanya membahas glamornya bioskop kelas utama di jantung Kota Bandung.
Bioskop Capitol lokasinya berada di Jalan Sudirman, membelakangi Jalan Cibadak. Namun kini, letaknya menjadi Komplek Capitol berupa ruko-ruko perkantoran atau tempat tinggal yang cenderung sepi.
Dadi (40), salah satu pedagang di sekitar Cibadak-Komplek Capitol membenarkan bahwa komplek tersebut dulunya merupakan dua gedung bioskop, yakni Capitol dan Texas. Namun sayang, menurut keterangannya sebagai warga sekitar, kini bangunan itu telah dirobohkan seluruhnya dan dibuat menjadi komplek seperti sekarang.
"Iya dulunya di sini kalau bioskopnya. Di tengah Komplek ini, sekarang udah nggak ada bangunannya sudah dirubuhin lalu dibangun lagi. Jadi kalau bangunan aslinya sudah nggak ada," katanya.
(aau/mso)