Seni Kuda Renggong ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) asal Kabupaten Sumedang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2014.
Kuda Renggong sendiri adalah seni ketangkasan kuda yang mana kudanya bisa menari mengikuti alunan musik.Tak hanya itu, Kuda Renggong juga mahir memperagakan gerak yang seolah-olah tengah berkelahi dengan manusia. Ini biasanya dihadirkan sebagai atraksi.
Dikutip dari berbagai sumber, seni Kuda Renggong lahir dari sebuah desa yang bernama Desa Cikurubuk Kecamatan Buahduah. Kepala Desa Cikurubuk Muhamad Fadar Junawar mengungkapkan, Seni Kuda Renggong adalah salah satu warisan budaya nasional yang berasal dari Kabupaten Sumedang. Seni ini muncul pertama kali dari Desa Cikurubuk yang diciptakan oleh orang yang bernama eyang Sipan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cicit dari eyang Sipan sekarang masih ada dan dari eyang Sipan inilah seni Kuda Renggong pun akhirnya berkembang ke desa lainnya," ungkap Muhamad.
Eyang Sipan diketahui lahir pada 1870 dan meninggal dunia pada 1939. Data itu sebagaimana yang tertulis di makam eyang Sipan yang berlokasi di Dusun Cilumping, Desa Cikurubuk.
Ayah dari eyang Sipan konon merupakan seorang abdi dalem dari Karaton Sumedang Larang. Ayahnya pun konon memelihara kuda. Muhamad mengisahkan awal mula terciptanya Seni Kuda Renggong.
"Jadi awalnya itu, pada saat Kuda dimandikan oleh Eyang Sipan di mata air Cijaha, Desa Cikurubuk, kudanya itu sambil dilatih sampai bisa menari atau istilahnya ngejle. Nah dari situ kuda bukan hanya dipakai untuk kegiatan karatonan tapi jadi pertunjukan seni bagi masyarakat," paparnya.
Berawal dari Desa Cikurubuk, Seni Kuda Renggong kemudian menyebar dan banyak diminati oleh warga desa lainnya di wilayah Sumedang. Seni pertunjukan Kuda Renggong hingga kini masih dapat dijumpai di beberapa desa di Sumedang.
Khusus di Desa Cikurubuk sendiri saat ini ada dua grup seni Kuda Renggong dan Seni Kuda Renggong ini hampir ada di setiap desa di wilayah Kecamatan Buahdua. "Kalau di Kecamatan Buahdua itu banyak grup seni Kuda Renggong, biasanya di setiap desa ada," ujar Muhamad.
Desa Cikurubuk secara administrarif terdiri dari dua dusun yakni Dusun Cikurubuk dan Dusun Cilumping. Jumlah penduduknya tercatat ada sekitar 2.320 jiwa atau 837 kepala keluarga. Dari jumlah itu, 90 persen warganya bermata pencaharian sebagai petani.
Seni Kuda Renggong hingga kini masih lestari dan menjadi salah satu hiburan yang digemari oleh masyarakat yang rata-rata hidup di lingkungan alam perdesaan tersebut. "Alhamdulillah di sini juga generasi mudanya masih ada yang melestarikan seni Kudang Renggong ini, di sini ada grup seni Obrog dan Tanji yang biasa mengiringi Kuda Renggong untuk alunan musiknya," terangnya.
Dalam tesisnya, Pratiwi Wulan Gustianingrum dan Idrus Affand; Memaknai Nilai Kesenian Kuda renggong dalam Upaya Melestarikan Budaya Daerah di Kabupaten Sumedang (2016) yang diterbitkan dalam Journal of Urban Society's Arts. Volume 3. Nomor 1. April 2016: 27-36, disebutkan Kuda Renggong merupakan seni pertunjukan gelaran (pawai). Kuda Renggong menjadi salah satu pertunjukan rakyat yang berasal dari Kabupaten Sumedang.
Disebutkan, Seni Kuda Renggong muncul pertama kali dari Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang. Hal itu berdasarkan keterangan dari para seniman. Bahkan kesenian Kuda Renggong telah didaftarkan di Balai Pelestarian Budaya Provinsi Jawa Barat sebagai kesenian unggulan dari Kabupaten Sumedang yang wajib dilestarikan
Sedikit mengulas, kata 'Renggong' berarti rereongan atau gotong royong. Renggong sendiri kerap diartikan sebagai metatesis dari kata ronggeng. Ronggeng dalam kamus KBBI diartikan sebagai tari tradisional dengan penari utama wanita, dilengkapi dengan selendang yang dikalungkan di leher sebagai kelengkapan menari.
Mengutip dari berbagai sumber, Tari Ronggeng telah berkembang di pulau Jawa sejak dulu. Tari Ronggeng di Jawa Barat ditandai dengan ditemukannya sebuah candi di Kampung Sukawening, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, bernama Candi Ronggeng atau para arkeolog menyebutnya dengan Candi Pamarican.
Sementara bukti perkembangan Tari Ronggeng di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Salah satunya bisa dilihat dari relief pada abad ke-8 di bagian Karmawibhanga di Candi Borobudur, Magelang. Dalam relief tersebut menggambarkan perjalanan sebuah rombongan hiburan dengan musisi dan penari Wanita.
Kata ronggeng mengingatkan juga pada novel karyanya Ahmad Tohari; Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia Pustaka Utama, 2003). Dalam novel itu dikisahkan bahwa seni ronggeng melalui tokohnya Bernama Srintil mampu menghidupkan kembali desanya yang miskin dan terpencil. Bahkan ronggeng menjadi perlambang denyut kehidupan bagi warga Dukuh Paruk dengan latar waktu 1960-an.
Kembali ke tesisnya Pratiwi Wulan Gustianingrum dan Idrus Affand, ronggeng dalam seni Kuda Renggong merupakan kamonesan (bahasa sunda untuk "keterampilan") cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik (terutama kendang) yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.
Seni Kuda Renggong menampilkan pertunjukan berupa atraksi kuda yang bisa menari mengikuti hentakan musik khas tradisional Sunda yang disebut Kendang Penca. Kuda yang diarak biasanya berjumlah tiga sampai empat kuda yang dinaiki oleh pemilik hajatan, sunatan atau perkawinan.
Selain menari, atraksi yang paling ditunggu yakni Silat Kuda Renggongnya, berupa gerakan dimana seolah-olah kuda tersebut berkelahi dengan seorang pawangnya. Gerakannya, dari mulai berdiri dengan kedua kaki belakangnya sampai kuda tersebut rebahan di atas tanah. Seni Kuda Renggong pertama kali muncul tahun 1910. Hingga saat ini kesenian Kuda Renggong sering ditampilkan pada acara-acara hajatan atau acara lainnya.