Reranting pohon kering muncul dari dasar Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, akibat musim kemarau. Posisinya berkumpul di satu titik. Meski volume air sedang surut namun bagian bawah dari pohon itu masih terendam oleh air waduk. Dari tempat penulis berdiri tampak bermunculan puing-puing bekas bangunan rumah. Genangan air telah memisahkan kedua tempat itu.
Titik tempat reranting pohon itu berdiri diketahui adalah makam dari Prabu Guru Aji Putih dan istrinya Ratna Inten yang lokasinya berada di Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja.
Baca juga: Waduk Jatigede Surut gegara Kemarau |
Makam keduanya menjadi salah satu yang terdampak oleh adanya Waduk Jatigede bersama beberapa permukiman warga lainnya. "Iya itu sebelah sana ada makam Sanghyang Prabu Guru Aji Putih dan istrinya, kan cikal bakal Sumedang dari sini," ungkap Agus (52), warga setempat kepada detikJabar di lokasi, beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski saat ini kondisi makamnya sudah terendam genangan air, namun tidak menyurutkan orang-orang untuk datang menziarahi makam tersebut.
"Sampai sekarang masih ada orang-orang yang datang untuk berziarah ke makam itu, biasanya mereka ada yang berziarah menggunakan perahu atau di pesisirnya yang tidak tergenang oleh air waduk," paparnya.
Makam Guru Aji Putih berada di Desa Cipaku. Desa tersebut kemudian dimekarkan menjadi tiga yaitu Desa Cipaku, Desa Pakualam dan Desa Karangpakuan. "Dulunya mah di sini Desa Cipaku cuma dimekarkan jadi Desa Pakualam, Desa Cipaku dan Desa Karangpakuan," terang Agus.
Sementara itu, Widah (50), warga lainnya mengungkapkan posisi makam Guru Aji Putih berada di balik genangan air waduk dengan ciri reranting pohon yang muncul ke permukaan saat air surut akibat musim kemarau. "Itu tuh di sana yang banyak reranting pohonnya," ujarnya sambil menunjuk ke arah genangan air Waduk Jarigede.
Widah mengatakan, air yang menggenangi makam Guru Aji Putih pernah dua kali surut di tahun-tahun awal saat proses penggenangan pada 2015 silam.
"Kalau pas tahun-tahun awal pada saat penggenangan, makam guru Aji Putih pernah muncul ke permukaan karena airnya surut namun tahun-tahun ke sininya tidak pernah muncul lagi ke permukaan karena airnya tidak surut di sekitar area makam," paparnya.
Dikutip dari Jurnal Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 154-168; Sejarah Kerajaan Sumedang Larang oleh Euis Thresnawaty S, di sana dipaparkan bahwa Prabu Guru Aji Putih terlahir dari Aria Bimaraksa dengan Dewi Komalasari. Aria Bimaraksa sendiri adalah cucu dari Wretikandayun atau pendiri kerajaan Sunda Galuh pada 612 Masehi.
Prabu Guru Aji Putih lalu menikahi Dewi Nawangwulan (Ratna Inten) dengan melahirkan empat orang putra di antaranya berturut-turut Prabu Tajimalela, Aji Saka, Haris Darma dan Langlang Buana.
Kerajaan Tembong Agung menjadi kerajaan berpengaruh. Selain mendapat dukungan dari salah satu kerajaan besar di tatar Sunda, yakni Kerajaan Galuh, Kerajaan Tembong Agung juga telah mampu menyatukan dusun-dusun yang tersebar di kaki gunung di sekitaran Sumedang pada saat itu. Bahkan sebagian dusun-dusun di wilayah Majalengka dan Kuningan.
Saat Prabu Guru Aji Putih meninggal dunia, estafet kerajaan dilanjutkan oleh putra sulungnya, yakni Batara Tungtang Buana atau yang lebih dikenal dengan Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela inilah yang memgubah nama dari Kerajaan Tembong Agung menjadi Kerajaan Sumedang Larang.