Seni Sulam dan Getir Hidup Buruh Topi Dudukuy Cigondewah

Seni Sulam dan Getir Hidup Buruh Topi Dudukuy Cigondewah

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Minggu, 09 Apr 2023 12:45 WIB
Yeni, pengrajin dudukuy dari Cigondewah memamerkan hasil seninya.
Yeni, pengrajin dudukuy dari Cigondewah memamerkan hasil seninya. (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Mungkin tak banyak orang tahu, di daerah Cigowendah merupakan kawasan permukiman yang menyimpan banyak harapan namun juga kisah pilu.

Cigondewah merupakan kawasan industri tekstil yang terdiri dari berbagai pabrik perusahaan besar yang telah berdiri selama 40 tahun lebih. Industri tekstil di Cigondewah memasok produk pakaian dari skala lokal hingga ekspor ke luar negeri.

Di antara pabrik-pabrik tersebut, di sekitarnya ada banyak masyarakat yang turut mengerjakan usaha konveksi dalam skala kecil atau rumahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka banyak berharap dari pekerjaan tersebut. Sebagian besar dari mereka ialah perempuan yang memiliki peran ganda, menjadi seorang ibu dan perempuan bekerja.

Salah satunya Neng Yeni (48), ia adalah seorang pekerja rumahan dudukuy atau topi koboi untuk berkebun. Sudah delapan tahun ia dan putrinya menjadi perajin dudukuy.

ADVERTISEMENT

Putrinya yang berusia 26 tahun, bertugas menjahit topi. Sementara Yeni membuat pola dan merapikan benang.

"Ibu sama anak bikin dudukuy, modalnya tenaga aja. Mesin, bahan, semuanya itu ada bosnya. Ibu modalnya tenaga. Dalam sehari biasanya bisa menghasilkan dua kodi," kata Yeni mengawali cerita.

Sebanyak 40 pcs dudukuy mampu mereka hasilkan. Namun miris, upahnya tak seberapa. Satu buah topi hanya dihargai Rp 2.000. Artinya, dalam sehari keduanya hanya mengantongi Rp 80.000.

Ditemui detikJabar dalam pameran Maklon di Imah Budaya Jalan Batu Rengat Cigondewah Kaler Rabu (5/4) malam, ia menunjukkan sulamannya yang telah difigura.

Pameran Maklon di Imah Budaya CigondewahPameran Maklon di Imah Budaya Cigondewah Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Pameran Maklon tersebut merupakan presentasi dari Proyek Seni Mengarsipkan Ingatan yang diinisiasi oleh Meita Meilita atas kerjasama dengan buruh perempuan di Kawasan Tekstil Cigondewah.

Sebagian besar ibu-ibu tersebut menceritakan pilunya menjadi Maklun atau Maklon yang upahnya tak seberapa. Mereka menuangkan kesedihan dengan memamerkan hasil sulamannya.

Dalam hasil sulamannya, Yeni menceritakan bagaimana sebuah topi koboi dibuat oleh dia dan sang putri. Saat bercerita, ia menuangkan kesedihannya. Bagaimana rasa lelah jadi santapan sehari-hari untuknya dan sang putri.

Namun, hidup harus terus berjalan. Mereka harus bekerja sebab suami Yeni hanya sebagai pedagang anak ayam. Penghasilannya tak seberapa, kadang Rp 100.000 baru bisa didapat dalam tiga hari.

"Kan ibu punya cucu, tapi bapaknya (suami anak) enggak tanggung jawab. Akhirnya diurus sama ibu, bapak, terus anak ibu juga enggak mau lagi kerja pabrik mau nungguin anaknya kan. Yaudah adanya ini, tiap pagi neng jam 7 pagi sampai jam setengah 6 maghrib itu baru selesai. Itu aja udah dibagi dua tugasnya," cerita Yeni menggebu-gebu.

Meskipun pekerjaan itu dibagi dua, Yeni tak mau menerima uang upah. Ia berikan semuanya pada anak dan cucunya. Kebutuhan sehari-hari murni didapat dari sang suami.

Pedih memang kehidupan keluarga Yeni. Namun, ia mencoba menutupi dengan canda tawa.

"Biasanya nasinya sama ibu, uangnya buat mereka. Padahal mah namanya jualan anak ayam warna-warni untungnya kadang Rp 100.000 kalau enggak Rp 50-25 ribu. Harga ayamnya Rp 5.000 udah dapet dua. Jualan di Alun-alun Misori pake sepeda," katanya.

Pameran Maklon di Imah Budaya CigondewahPameran Maklon di Imah Budaya Cigondewah Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

"Kalau hujan, ayam teh marati da enggak kuat. Dihangatin mah itu kan mainan anak, ya enggak bisa. Sedih ibu juga kadang yah enggak ada untung jadinya," lanjut Yeni sambil tertawa.

Meski upahnya hanya Rp 80.000, Yeni tahu bahwa dudukuy hasil karyanya sudah dijual jauh hingga ke Malaysia. Namun ia tak begitu mempedulikan selama dirinya memperoleh upah.

"Jauh ini neng jualnya, sampai Malaysia terus dari Malaysia dijual ke jauh deui. Mahal meureun, enggak tahu dijual berapa. Cuma pasti bosnya orang kaya, banyak jualnya. Da ibu mah ngerti gajinya we," kata Yeni.

Yeni dan sembilan ibu-ibu lain yang menjadi seniman dalam pameran tersebut mungkin tidak punya harapan muluk-muluk. Dalam pameran ini, mereka hanya mampu menyimpan perjuangan mereka masing-masing.

Meita Meilita hadir mengenalkan para ibu-ibu untuk berdamai dan melukiskan cerita dalam seni. Seniman lulusan magister seni rupa (M.FA.) di Institut Teknologi Bandung ini ingin mereka tahu bahwa mereka punya nilai dalam perjuangannya.

"Jadi proyek ini pengalaman personal yang diarsipkan. Pengalaman yang mereka rasakan itu banyak diperjuangkan tapi tidak dalam bentuk yang bisa juga tidak perlu teriak-teriak atau menggebu. Sesuatu yang berani, sesuatu yang lantang, tidak perlu diteriakkan tapi juga bisa diungkapkan melalui menyulam," ujar Meita.

Ia paham, bahwa mungkin para ibu-ibu tak punya harapan lain selain menghasilkan lebih banyak pundi-pundi rupiah. Tapi ia berharap setidaknya mereka tahu bahwa mereka bernilai bagi keluarganya.

"Pengalaman ini mungkin buat mereka hanya remeh temeh aja tapi sebenernya mereka punya value adalah bagian terpenting kehidupan minimal untuk keluarganya. Mereka yakin kalau memiliki kualitas. Saya ajak mereka tahu mereka punya nilai," kata Meita.

(aau/yum)


Hide Ads