Kesenian asal Sukabumi mencetak sejarah dunia. Tepat pada tahun 1889, gamelan Sari Oneng beserta sinden dan penarinya tampil dalam pameran bertajuk Exposition Universelle. Pameran itu digelar sekaligus untuk meresmikan menara Eiffel di Paris, Prancis.
Pukulan kendang dan sahutan saron, bonang serta goong ternyata menarik perhatian warga Eropa. Tak jarang, alunan musik itu menjadi sumber inspirasi tokoh musik hingga akademisi.
Irman Firmansyah selaku penulis buku Soekaboemi The Untold Story mengatakan, gamelan Sari Oneng tampil di Paris selama enam bulan bertepatan dengan 100 tahun Revolusi Prancis. Para pemain merupakan pekerja perkebunan teh di Parakansalak, Kabupaten Sukabumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama enam bulan itu, para pemain dan penari ronggeng dipaksa untuk bermain setiap hari. Mereka diwajibkan menghibur pengunjung di World's Fair Exposition Universelle pada 1889 silam.
Tak diduga, penampilan gamelan Sari Oneng ternyata menarik perhatian seorang komposer bernama Claude Debussy atau lengkapnya Achille-Claude Debussy. Dia seorang komposer Prancis yang karya-karyanya menjadi kekuatan penting dalam musik abad ke-20 abad.
Kekaguman Debussy pada gamelan Sari Oneng terekam oleh Karel van der Hutch dalam tulisannya De Gamelans van Parakan Salak yang dimuat di majalah Indonesie Naderbij. Karel menuliskan jika Debussy menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendengarkan alunan musik yang ditampilkan Sari Oneng. Keharmonisan ritme dan irama gendingnya dinilai aneh namun khas.
"Palestrina - seorang musisi hebat masa itu - yang diminta memainkan piano dengan partitiur Liszt akan melakukannya dengan sangat mudah. Namun jika ia mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita [Eropa] tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyian dasar sirkus keliling. Kompleksitas komposisi gamelan gending Jawa yang selalu mematuhi alur panjang sangat unik," sanjung Debussy.
![]() |
Gending Jawa yang dikatakan Debussy adalah alunan musik gamelan Sari Oneng. Nada-nada gamelan ini kemudian menginspirasi Debussy dalam membuat karya-karyanya, misalnya pada warna nada pentatonik Pagodes (Pagoda), bait pertama d'Estampes (Ilustrasi) yang digubah tahun 1903, La Fille Aux Cheveux de Lin (Gadis Berambut Linen), Feuillis Mortes (Daun-daun Kering), serta lagu misterius, Canope.
Irman mengatakan, dalam sebuah tulisannya Debussy juga menyatakan, 'Leur conservatoire, c'est le rythme éternel de la mer, le vent dans les feuilles...' yang artinya sebagai berikut:
"Konservatori mereka adalah ritme abadi lautan, embusan bayu pada dedaunan," kalimat ini kemudian dijadikan bait dalam orkestra terkenal yang berjudul La Mer (Lautan) (1903-1905).
Selain menarik perhatian komposer, Camille Saint-Saëns yang merupakan seorang tokoh Perancis juga mengatakan jika gamelan Sari Oneng memiliki semacam mantra untuk menghipnotis orang-orang.
Bahkan, kata Irman, musikolog Julien Tiersot tertarik meneliti pentas gamelan tersebut dari sisi etnografi. Hal tersebut disampaikan dalam bukunya yang berjudul Musiques Pittoresques.
"Kemudian Prince Roland Bonaparte (1858-1924), seorang Pangeran Perancis sekaligus peneliti yang pernah menjadi Presiden Societeit Geographie, juga tertarik melakukan penelitian mengenai para pemain gamelan serta kehidupan eksotik Jawa yang digambarkan dalam ajungan Kampung Jawa," kata Irman kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Cerita di atas merupakan sepenggal kisah gamelan Sari Oneng. Simak kisah menarik gamelan Sari Oneng dan penari ronggeng di Paris artikel detikJabar selanjutnya.
(orb/orb)