Kertas daluang yang sudah digunakan sebagai media tulis sejak masa lampau itu pun kini menjadi bagian yang digemari Sri Tanjung Sugiarti Tarka. Di tengah kesibukannya, pemudi asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat itu merawat pohon saeh sebagai bahan utama penghasil kertas daluang.
Kepada detikJabar, Tanjung, sapaan pemudi di Desa Cikedung Lor, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, itu mengaku tidak menyangka bakal bisa menjaga kelestarian kertas tradisional. Kertas yang digunakan masyarakat Indonesia sejak abad ke-7 itu pun tetap ia gunakan untuk menyalin naskah kuno hingga aneka kerajinan dari sisa produksi.
Mulanya, Almarhum Ki Tarka ayah Tanjung yang juga konsen menjaga naskah kuno itu mendapat lima bibit pohon saeh dari salah satu dosen yaitu Tedy Permadi. "Kebetulan ayah saya punya rekan Dr Tedy Permadi, beliau ahli kertas daluang Indonesia. Dari situ kami dikasih bibit daluang pertama di kasih 5 pohon untuk dicoba, tumbuh gak di Indramayu. Dari situ kami sebar di pekarangan tanah kosong," kata Ketua Yayasan Surya Pringga Dermayu, Sri Tanjung Sugiarti Tarka,belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini lima pohon saeh yang ditanam pada tahun 2018 itu semakin bertambah. Pertumbuhannya yang tidak membutuhkan perawatan khusus itu kian menyebar. Hampir setiap anggota sanggar menanam pohon saeh tersebut.
"Kalau di sini ada 30 Bata tapi menyebar di setiap kebun anggota sanggar," kata Tanjung memperkirakan luas kebun pohon saeh.
Bukan hanya merawat pohon saeh, anggota sanggar ketika itu pun dapat mempelajari cara membuat kertas dari kulit pohon saeh tersebut. Sehingga, dengan kertas daluang, mereka bisa menyalin setiap naskah kuno yang kini masih terjaga.
"Awalnya 3 orang. Bapak saya, Wa Kardono, dan Om Edi. Kalau saya belajar sama bapak. Sekarang bisa dikatakan 7 orang yang ada di sanggar bisa membuat kertas daluang," ujarnya.
Berkat kekompakan dan kesungguhan para anggota sanggar. Kertas daluang hasil produksinya pun semakin tenar. Tak hanya untuk dijadikan media menyalin naskah kuno, kertas daluang dan bibit pohon saeh nya itu sudah banyak di pesan.
Meski begitu, menurut dia, membuat kertas daluang itu untuk melestarikan kertas tradisional yang dimiliki masyarakat Indonesia. Menurutnya, negara lain yakni Korea dan Jepang masih banyak generasinya yang merawat kertas tradisional.
"Saya kan penggemar film drama Korea, nah ada satu film yang ceritakan tentang sejarah itu masih mengenalkan kertas tradisional. Dan Indonesia pun punya itu. Bahkan pohonnya masih ada, jadi kenapa tidak dikenalkan lagi?" tutur Tanjung.
Kini, anggota sanggar terus berinovasi dengan pohon saeh nya itu. Tak hanya jadi media tulis. Beberapa orang juga memanfaatkan kertas daluang untuk melukis.
Bahkan, mereka mulai memanfaatkan sisa kayu saeh dan kertas sisa yang tidak terpakai untuk dijadikan aneka aksesoris. "Selain media tulis menulis, kertas daluang tuh di daerah tertentu dinamakan kertas suci untuk ibadah atau jadi pakaian. Bisa juga untuk lukisan atau yang terbaru dibikin kerajinan kaya kapal atau topeng yang sedang di coba di sanggar," ujar Tanjung.
(dir/dir)