Ada satu perkampungan warga kuno, yang masih lestari di Kabupaten Garut. Perkampungan warga ini unik, hanya memiliki 7 bangunan, tapi masih eksis dari abad ke-17 hingga saat ini.
Perkampungan warga tersebut, adalah Kampung Pulo. Terletak di kawasan Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Lokasinya bersebelahan dengan objek wisata yang terkenal di sana, Situ Cangkuang.
Perkampungan warga ini, berada di antara danau dan kawasan persawahan. Sedikitnya, hal itu yang menyebabkan kampung ini dinamai Pulo, karena bentuknya seperti Pulau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberadaan Kampung Pulo di Garut ini, tak terlepas dari adanya sejarah tokoh Arif Muhammad, seorang panglima perang Kerajaan Mataram yang sangat dipercayai masyarakat sekitar. Meskipun sudah ada sebelum Arif Muhammad datang ke tempat tersebut, Kampung Pulo dipercaya masyarakat mulai terkenal setelah beliau menginjakan kaki di sana.
"Dulu, beliau menyebarkan agama Islam di sini. Di wilayah yang mayoritas warganya, memeluk agama Hindu," kata Umar, Juru Pelihara Kampung Pulo kepada detikJabar, Senin (26/12/2022).
Tak seperti perkampungan masyarakat adat yang lain. Uniknya, Kampung Pulo hanya memiliki 7 bangunan saja. Terdiri dari 6 rumah, serta satu mushola. Hal tersebut, kata Umar, merepresentasikan keturunan Arif Muhammad, yang memiliki 6 putri, serta seorang anak lelaki.
"Hingga saat ini, kepercayaan itu masih kami jaga. Bangunan di sini, tidak boleh ditambah, dikurangi, atau dikosongkan," katanya.
![]() |
Bangunan yang ada, masih berbentuk sama dengan ketika pertama kali didirikan. Rumah-rumah warga di sana, masih otentik dan tak banyak perubahan. Perbedaan yang paling mencolok, adalah pada atap. Rumah kuncen, masih mempertahankan ijuk sebagai atap. Sedangkan warga yang lain menggunakan genting. Hanya itu saja, perbedaannya.
"Itu karena ada penyakit gatal. Karena kan kalau pakai ijuk jadi sarang binatang. Makanya diganti menggunakan genting. Tapi tidak menghilangkan maknanya karena memang tidak ada larangan," ungkap Umar.
Rumah-rumah warga di Kampung Pulo, terbagi ke dalam 6 bagian. Pertama, adalah serambi muka, atau tepas. Ruangan terbuka yang berada di bagian paling depan rumah itu, biasanya sering digunakan warga, untuk ngariung atau berkumpul dan berinteraksi bersama tamu, atau masyarakat yang lain.
Kemudian ada ruang tengah, atau tengah imah yang biasa dipakai untuk berkumpul, hingga makan bersama-sama, atau botram. Selanjutnya ada ruangan kamar keluarga, atau enggon keluarga. Tapi, bagian yang paling menarik adalah kamar tamu, atau enggon semah. Letaknya, berada di luar rumah dekat tepas.
"Kenapa ruang kamar tamu berada di luar, itu karena supaya ketika tamu ada keperluan di malam hari, tidak mengganggu tuan rumah. Jadi leluasa," katanya.
Rumah-rumah di Kampung Pulo juga, memiliki dapur seperti rumah pada umumnya. Yang menjadi unik, warga di Kampung Pulo masih menggunakan kayu bakar, atau suluh untuk memasak makanan. Di bagian samping dapur, ada sebuah bangunan kecil bernama goah. Goah atau gudang ini, biasanya digunakan untuk menyimpan hasil tani.
"Selain itu, goah juga dipakai untuk menyimpan benda pusaka peninggalan Arif Muhammad. Di setiap rumah ada. Tapi, hanya bisa dikeluarkan di tanggal 14 Maulid," ucap Umar.
Tak Ketinggalan Zaman
Kendati masih sarat akan budaya, tapi masyarakat di Kampung Pulo juga mengikuti perkembangan zaman. Hal tersebut, dibuktikan dengan adanya barang-barang elektronik di rumah mereka. Seperti lemari es, televisi, hingga ponsel pintar. Bahkan, saat ini, banyak juga remaja keturunan Kampung Pulo, yang bersekolah hingga meraih gelar sarjana.
"Kenapa demikian, karena tidak ada larangan dari nenek-moyang kami untuk mengikutinya. Jadi, selama tujuannya untuk meningkatkan ilmu dan taraf kehidupan masyarakat Kampung Pulo, itu sah-sah saja untuk dilakukan," kata Umar.
![]() |
Fakta menarik lainnya mengenai Kampung Pulo ini, setiap rumah yang ada, hanya bisa diwariskan kepada anak perempuan dalam keluarga tersebut. Hal itu, kata Umar, merupakan nilai yang diturunkan leluhurnya, untuk menjaga simbol 6 rumah yang ada, adalah representasi dari 6 putri Arif Muhammad.
"Jadi, kalau anak sudah menikah, baik perempuan maupun laki-laki dari Kampung Pulo, harus hijrah ke luar. Nanti, kalau misalkan orang tuanya meninggal, anak perempuan bisa kembali lagi dan mengisi kekosongan. Hanya anak perempuan yang berhak menjadi waris," ujar Umar.
"Kalau misalkan si anak perempuan ini tidak mau untuk kembali, tidak apa-apa. Yang mengisi, bisa adik atau kakak dari orang tua yang meninggal itu. Dengan catatan, tetap. Yang memegang waris adalah anak perempuan," katanya menambahkan.
Jendela yang ada di tiap rumah juga, tidak menggunakan kaca. Hanya dibatasi dengan kayu yang disusun menyilang dan ditutup gorden sederhana serta triplek saja. Itu dilakukan agar sirkulasi udara mengalir lancar ke setiap rumah.
Saat ini, ada sekitar 22 orang, yang terdiri dari 11 lelaki dan 11 perempuan yang menghuni rumah adat Kampung Pulo. Mereka, merupakan generasi ke-8, 9, dan 10 dari masyarakat Kampung Pulo. Meskipun begitu, warga keturunan Kampung Pulo ini ternyata sangat banyak sekali. Tapi, kata Umar, mereka kini tersebar ke berbagai penjuru Kabupaten Garut hingga luar daerah.
![]() |
Mayoritas dari masyarakat di Kampung Pulo ini, bermatapencaharian sebagai petani. Tapi, setelah Situ Cangkuang dipugar dan dijadikan tempat wisata, mereka bisa merasakan kehidupan yang lebih layak. Ada yang berprofesi sebagai juru parkir, sampai menjadi penarik rakit di Situ Cangkuang.
Masyarakat Kampung Pulo, masih memegang teguh adat dan warisan leluhurnya. Mereka kini, hidup berdampingan dengan tentram, bersama penduduk Desa Cangkuang yang lain. Mereka hidup damai, di tengah segudang larangan dari leluhur yang 'mengawal' hidup mereka.
(orb/yum)