Nama Asep saat ini sedang menarik untuk diperbincangkan. Pasalnya, di Jawa Barat, nama yang disematkan kepada anak laki-laki dan memiliki arti tampan dalam Bahasa Indonesia itu kini mulai ditinggalkan di kalangan orang Sunda.
Mengenai nama Asep ini, Guru Besar Fakultas MIPA Unpad Prof Atje Setiawan Abdullah punya penelitiannya sendiri. Ia mengumpulkan nama-nama penduduk di 3 wilayah di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Sumedang, Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.
Baca juga: Bangganya Pria Prancis Punya Nama Asep |
Hasil penelitian Prof Atje menyebutkan, dari 1.154.708 penduduk di Kabupaten Sumedang, hanya ada 10.629 orang yang menyandang nama Asep. Sementara di Kabupaten Bandung Barat, dari total 510.814 total penduduk, pemilik nama Asep berjumlah 459 orang. Begitu juga di Kabupaten Bandung, dari total 1.003.227 penduduk, pemilik nama Asep hanya berjumlah 1.916 orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan penelitian di 3 wilayah itu, Prof Atje kemudian mengambil skala pembobotan sebesar 0,005 untuk penduduk yang memiliki nama Asep. Sehingga, bisa diperkirakan untuk Jawa Barat yang memiliki penduduk hampir 50 juta orang, pemilik nama Asep hanya berjumlah sekitar 250 ribu penduduk.
"Mungkin datanya tidak akan terlalu akurat, bagusnya memang meneliti langsung. Cuma masih bisa diperkirakan dengan menghitung skala pembobotan itu," kata Prof Atje saat wawancara virtual via zoom dengan detikJabar, Minggu (11/12/2022).
Prof Atje mengatakan, perkiraan pemilik nama Asep yang hanya tinggal 250 ribu orang itu memang bisa meleset. Sebab, datanya harus dihitung secara ril menggunakan data yang tersedia di dokumen kependudukan pemerintah.
Namun yang menjadi kendala, data tersebut begitu sulit diakses publik. Ada beberapa faktor pertimbangan yang akhirnya membuat Prof Atje dalam penelitiannya hanya fokus kepada data di Kabupaten Sumedang, Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.
"Datanya sangat sulit buat diminta, padahal kita cuma mau nyari nama-namanya saja. Saya akhirnya pakai yang di 3 daerah ini karena memang data yang tersedianya cuma itu saja," tuturnya.
Dalam penelitiannya, Prof Atje juga mengungkap nama Asep mulai ditinggalkan di tahun 2012 hingga sekarang. Nama Asep sendiri menjadi nama favorit yang diberikan orang Sunda kepada anak-anaknya pada rentang waktu 1992 hingga 2011.
Salah satunya terlihat dalam data yang dikumpulkan Prof Atje di Kabupaten Sumedang. Meskipun 80 persen masyarakat di sana masih banyak yang menggunakan nama-nama khas Sunda, namun tren nama Asep mulai turun dan tak lagi menjadi nama favorit untuk diberikan kepada anak-anaknya.
"Di sumedang itu nama Muhammad yang paling favorit, ada nama Sunda juga kayak Asep, tapi sedikit. Kalau dihitung, 80 persen nama orang sunda di Sumedang itu masih ada, terutama di pedesaan itu full masih dipakai. Cuma, 10 tahun terakhir itu turun drastis. Dan makin lama ini akan makin habis untuk nama-nama khas Sunda ini," terangnya.
Penelitian bertajuk Etnoinformaika ini juga mengungkap, 10 nama khas Sunda yang mulai menghilang di Sumedang dalam 90 tahun terakhir. Di antaranya Sunaja, Saim, Sundia, Djatma, Boelah, Unamah, Entjil, Eyut, Kitji, dan Macih.
"Nama-nama Sunda di pedesaan Sumedang masih banyak digunakan, tetapi secara keseluruhan jumlahnya relatif turun. Sedangkan nama Sunda di perkotaan relatif sudah banyak berubah. Walaupun 80 persen dari 10 nama favorit masih digunakan, tetapi penggunaannya relatif turun. Bahkan nama favoritnya sudah berubah mengambil serapan dari budaya lain," paparnya.
Kesepuluh nama Sunda yang hilang itu kemudian digantikan dengan 10 nama baru yang muncul dalam 10 tahun terakhir yaitu Naura, Arsila, Keyla, Raffa, Rafka, Khanza, Aqila, Zahra, Keysa, Aleska. Prof Atje mengungkap, hasil penelitian ini bisa menjadi masukan bagi publik, khususnya generasi muda untuk ikut terlibat melestarikan budaya Sunda.
(ral/mso)