Band Voice of Baceprot (VoB) kini makin dikenal hingga ke penjuru dunia. Ada satu titik tak tersentuh dari tenarnya VoB, yakni soal siapa orang yang paling berjasa menemukan bakat emas trio hijabers metal ini.
Dia adalah Cep Ersa Eka Susila Satya, seorang pria asal Garut, Jawa Barat. Namanya sekilas terdengar seperti seorang budayawan, seniman atau seorang pemusik terkenal yang Indonesia banget.
Tapi, jika detikers berpikir demikian, hal tersebut salah besar. Dia bukanlah seorang pemusik atau seniman andal yang mampu dengan mudah menemukan bakat-bakat seniman unggul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang akrab disapa Bah Erza itu hanyalah seorang guru sekolah menengah pertama, yang mengampu mata pelajaran bimbingan konseling (BK).
Bukan sekadar guru. Meskipun berasal dari pelosok Garut, gagasan Erza sebagai seorang guru kini sudah didengar luas di berbagai penjuru dunia melalui karya-karya Voice of Baceprot.
Kisah tersebut bermula pada medio 2014-an. Kala itu, Erza yang menjabat guru BK di sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Baqiyatussolihat disibukkan dengan keluh-kesah anak didiknya yang mulai beranjak remaja.
Mulai dari urusan dengan orang tua, pertemanan, hingga cinta monyet bertubi-tubi diadukan anak-anak didiknya. Termasuk Firdda Kurnia, Widi Rahmawati serta Euis Siti yang di kemudian hari menjelma jadi musisi Tanah Air.
Usai menerima aduan perihal keresahan-keresahan khas remaja yang disampaikan anak didiknya. Erza putar otak. Dia berupaya menemukan formula, agar keresahan tersebut bisa berubah menjadi sebuah karya yang luar biasa.
Musik akhirnya dipilih menjadi media. Sebab itu, saat awal mulai terbentuk, Voice of Baceprot memiliki 15 personel. Alasannya sederhana, Abah Erza awalnya hanya ingin mewadahi keresahan pelajar di dalam sebuah wadah yang positif.
"Awalnya personel VoB ini ada 15 orang. Karena satu dan lain hal, akhirnya berguguran sampai saat ini hanya tersisa 3 orang," kata Bah Erza dalam perbincangan dengan detikJabar belum lama ini.
Persoalan tak berhenti di situ. Rintangan mulai bertubi-tubi datang. Mulai dari konflik dengan pihak sekolah, hingga izin orang tua yang menentang anak-anak gadisnya bermain musik.
Itu tak menjadi masalah. Meskipun jumlah personel tinggal berjumlah tiga. Tapi Abah Erza tetap mengajarkan anak-anak didiknya untuk bermain musik. Mulai dari membetot bas, hingga menggebuk drum dan mengolah vokal diajarkannya dari nol.
Perjalanan Bah Erza dalam menjadi guru tidak pernah mulus. Bahkan, sebelum VoB belum seterkenal sekarang, Bah Erza pernah diberi surat peringatan (SP) dari pihak sekolah gara-gara itu.
"Alasannya karena mengantar VoB ikut kompetisi," katanya.
Alasan yang sangat miris jika dilihat dari kesuksesan VoB hari ini. Namun, hal itu tak pernah menjadi halangan bagi Abah Erza untuk terus memajukan anak didiknya. Hingga VoB menjadi seperti sekarang, dikenal di berbagai penjuru dunia melalui karya musik-musik cadasnya.
Berusaha Jadi Teman
Bah Erza sendiri diketahui mulai mengajar sejak tahun 2005 lalu. Dia mengaku, sejak dulu dirinya selalu terbebani dengan label 'tahu segalanya' yang dilabeli pada seorang guru.
Erza diketahui merupakan pendiri Voice of Baceprot, sekaligus guru BK yang pernah mengajar ketiga personel VoB saat bersekolah di MTs Baqiyatussolihat, Banjarwangi.
Namun, kata Erza, hal itu tidak bisa dilakukan jika dirinya tidak 'dekat' dengan para pelajar. Sebab itu, dia selalu berupaya memposisikan diri sebagai teman dengan para anak didiknya.
"Jadi saya berpendapat bahwa menjadi guru itu artinya harus bisa menjadi teman dan mendengarkan. Karena anak itu sudah bosan dinasihati, tapi jarang untuk didengar," ucap Erza.
Di Kabupaten Garut, tidak banyak orang yang mengenal Erza. Bahkan meskipun Voice of Baceprot sudah menjadi artis saat ini. Namun, didikannya mendunia lewat karya yang dibuat Voice of Baceprot kini.
Erza adalah bukti seorang guru yang sukses dalam mendidik pelajar. Merubah sebuah kemarahan menjadi karya yang luar biasa.
Karena terkadang, patokan kesuksesan seorang guru tak melulu dinilai dari sebagus apa pekerjaan muridnya, tapi juga diukur dari seberapa merdeka pemikiran anak didiknya.
"Dari mereka saya belajar bahwa pendidikan seharusnya jadi teman. Sebenar-benarnya teman. Bukan kemewahan yang harus diburu dan dikuasai, bukan pula piala suci yang untuk mendapatkannya harus berkompetisi setengah mati sedari dini," pungkas Erza.