5 Macam Panggilan untuk Perempuan di Suku Sunda

5 Macam Panggilan untuk Perempuan di Suku Sunda

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Minggu, 20 Nov 2022 12:31 WIB
Kampung Adat Cireundeu
Ilustrasi perempuan Sunda (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
Bandung -

Dalam bahasa Sunda ada banyak kata ganti baik untuk diri sendiri, lawan bicara, hingga panggilan untuk perempuan atau laki-laki. Panggilan untuk perempuan atau laki-laki ada yang bersifat umum. Namun, ada pula yang dalam penggunaan bahasanya memiliki artian panggilan untuk satu keluarga.

Salah satu panggilan yang paling sering kita dengar ialah "teteh" sebagai panggilan untuk kakak perempuan. Namun, panggilan "teteh" juga sering jadi kata ganti saat berbicara dengan orang asing yang berjenis kelamin perempuan.

Contoh paling sederhana, saat berkunjung ke sebuah warung makan kemudian mendapat pramuniaga perempuan. Secara otomatis, pramuniaga tersebut akan kita panggil dengan sebutan "teteh", meskipun belum tentu usianya pelayan toko tersebut umurnya lebih tua.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut ini terdapat penjelasan mengenai panggilan untuk perempuan di suku Sunda. Informasi berikut dihimpun detikJabar dari wawancara bersama Dian Hendrayana, anggota Kelompok Studi Budaya (KSB) Rawayan, Sastrawan, dan Dosen Pendidikan Bahasa Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

1. Eneng

Disitat dari buku Tata Bahasa Sunda oleh S.Coolsma, disebut panggilan "Eneng" atau "neng" ditujukan untuk adik perempuan atau anak gadis kesayangan.

ADVERTISEMENT

Namun kini, panggilan "neng" sudah tidak berbatasan lagi dengan unsur keluarga. Sehingga bisa juga digunakan untuk panggilan perempuan yang masih muda. Panggilan ini juga bisa menjadi panggilan terkasih dari suami pada istrinya.

2. Teteh

Panggilan "teteh" atau "teh" merujuk pada perempuan yang lebih tua atau seorang kakak perempuan. Seperti halnya panggilan "eneng", penggunaan panggilan "teteh" sudah tidak berbatasan lagi dengan unsur keluarga. Sehingga bisa juga digunakan untuk panggilan perempuan yang dirasa lebih tua atau lebih senior.

Sebut saja salah satu penyanyi kawakan Indonesia, Rossa yang akrab disapa Teh Rossa sebab dianggap sebagai senior dalam bidang tarik suara.

3. Ceuceu

Dalam Kamus Sunda-Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), dijelaskan panggilan "teteh" punya artian yang sama dengan "ceuceu", "aceuk", atau "eceu".

Artinya, dalam Bahasa Sunda "ceuceu" berarti kakak perempuan. Namun panggilan ini tak begitu digunakan banyak orang sebab dirasa lebih kasar daripada "teteh".

Dijelaskan oleh Dian Hendrayana, bahwa panggilan "ceu" biasanya dilontarkan antar sesama perempuan yang seumuran atau sudah sangat dekat.

"Memang panggilan ceuceu itu lebih diartikan sebagai sebutan untuk menyambut wanita yang sudah lebih dekat," jelasnya.

4. Ambu

Dalam bahasa Sunda lama, "ambu" merupakan panggilan untuk ibu. Namun kini panggilan ini sudah jarang digunakan, bahkan bisa digunakan menjadi panggilan akrab untuk tokoh publik. Sebut saja Bupati Purwakarta periode 2018-2023, Anne Ratna Mustika yang akrab disapa Ambu Anne.

Rupanya, sebutan "ambu" awalnya bukan sekedar panggilan biasa. Literatur mengenai sebutan "ambu" dikenal pada satu cerita berbentuk pantun (Sunda) yaitu cerita pantun Lutung Kasarung. Diceritakan bahwa tokoh Guru Minda yang berwujud lutung sebetulnya ialah pangeran tampan titisan Dewi Sunan Ambu dari kayangan.

"Kedudukan panggilan ambu merupakan sebutan sebagai pengganti panggilan ibu. Ambu berarti sebutan ibu namun secara terhormat dan lebih dimuliakan. Literasinya dari cerita folklore pantun Sunda Lutung Kasarung yang mengenal Sunan Ambu merupakan ibu di kayangan. Entitas ambu digunakan masyarakat Sunda hanya untuk menggantikan posisi ibu, namun memang posisinya sangat dimuliakan," ungkap Dian.

5. Nyai

Ternyata, dalam bahasa Sunda, "nyai" digunakan untuk memanggil perempuan muda atau adik perempuan. Namun panggilan ini sudah jarang digunakan, sehingga bisa menjadi sapaan akrab untuk beberapa tokoh.

Ada pula masyarakat yang salah pengertian, sebab beredar bahwa sebutan "nyai" memiliki konotasi negatif. Panggilan "nyai" kerap dianggap identik dengan sebutan untuk perempuan penyedia jasa hiburan pria-pria Belanda di zaman dahulu.

"Muncul pergeseran nilai pada nyai. Sebetulnya sebutan untuk wanita penyedia jasa hiburan itu bukan nyai, melainkan nyai nyai. Sehingga disebutkan dua kali. Sebutan nyai nyai itu pada zaman kolonial ditujukan untuk wanita desa yang kemudian punya anak dari para tuan-tuan kebangsaan Eropa," papar Dian.

Ia juga mengatakan, bahwa sesungguhnya sebutan "nyai" justru ditujukan untuk orang terhormat, atau panggilan sayang dari suami pada istrinya, bisa juga dari mertua pada menantu.

"Sebutan nyai sebetulnya terhormat, ditujukan untuk perempuan dengan gen bangsawan. Salah satu contohnya seperti sebutan Nyi Roro Kidul itu betul. Kemudian bisa juga jadi panggilan untuk istri," kuaknya.

(aau/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads