Bagi masyarakat Kota Tasikmalaya tentu sudah tak asing dengan Jalan Mang Koko yang berada di wilayah Kecamatan Indihiang. Jalan ini menjadi penghubung dua jalan protokol yakni Jalan Letnan Ibrahim Adji dan Jalan Letnan Harun.
Lalu siapakah Mang Koko yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Tasikmalaya? "Mang Koko adalah legenda musisi Sunda yang sosoknya menjadi kebanggaan masyarakat Tasikmalaya," kata seniman dan budayawan Tasikmalaya, Nazarudin Azhar, belum lama ini.
Menurut Nunu, sapaan akrab Nazarudin Azhar, sosok Mang Koko layak mendapatkan apresiasi atas karya dan kiprahnya dalam bidang kesenian Sunda. "Saya menjadi salah seorang yang terlibat mendesak agar nama Mang Koko dijadikan nama jalan. Agar sosoknya selalu terkenang," ujar Nunu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan satu dari ratusan karya Mang Koko ialah tembang berjudul Badminton. "Lagu Badminton itu hits pada zamannya dan menasional. Walau pun lagu Sunda tapi dibawakan oleh artis-artis nasional seperti oleh mendiang Benyamin Sueb," ucap Nunu.
Mang Koko juga tergolong seniman yang responsif terhadap keadaan dan situasi lingkungannya. "Lirik lagu-lagu yang dibuatnya banyak yang diilhami dari situasi lingkungan. Kemampuan menulis berdasarkan pengamatan juga dia buktikan dengan menjadi penulis di beberapa surat kabar," kata Nunu.
Kreativitas Mang Koko tak hanya sebatas lirik dan musik, namun juga piawai di bidang seni lainnya seperti seni drama. "Seniman yang masagi (ideal), mengharumkan nama Tasikmalaya," ujar Nunu.
Nunu terkesan dengan salah satu ucapan Mang Koko yang menyebutkan bahwa seni adalah penghalus jiwa. "Seni penghalus jiwa, itu sangat relevan. Itu ada di salah satu kawih yang ditulisnya. Dia juga mengaku lebih senang disebut sebagai seorang penghalus jiwa," tutur Nunu.
Profil Mang Koko
Berdasarkan jurnal Kreativitas Mang Koko dalam Karawitan Sunda yang ditulis Tardi Ruswandi, Mang Koko memiliki nama lengkap Koko Koswara. Dia lahir di Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, pada 24 November 1915, namun saat masuk sekolah formal tanggal kelahirannya diubah menjadi 10 April 1917.
Mang Koko merupakan anak tunggal dari pasangan M Ibrahim alias Sumarta dan Siti Hasanah. Darah seni Mang Koko berasal dari ayahnya yang merupakan seniman atau juru kawih atau penyanyi tembang Cianjuran dan Ciawian.
"Mang Koko termasuk salah seorang seniman yang produktif dalam membuat lagu. Seluruh ciptaannya tidak kurang dari 398 buah, baik vokal (sekar) maupun instrumental (gending)," tulis Tardi Ruswandi.
Sebagai anak yang lahir di zaman kolonial, Mang Koko kecil termasuk beruntung karena bisa mengenyam pendidikan formal milik Belanda hingga setingkat SMP. Selain menekuni hobi berkesenian, dia pernah bekerja di Paguyuban Pasundan bidang pendidikan, kemudian bekerja di De Javasche Bank, sebuah lembaga keuangan milik Belanda, bekerja di surat kabar Harian Cahaya dan harian Suara Merdeka Bandung.
Pada tahun 1950 hingga 1961, Mang Koko bekerja di Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat. Di dekade 60 sampai 70-an, Mang Koko kemudian berusaha mewujudkan asanya yaitu menjadikan seniman sebagai seorang sarjana.
"Pada tahun 1974 yaitu setelah pensiun dari KOKAR (Konservatori Karawitan) Bandung, Mang Koko diangkat menjadi dosen Luar Biasa dan sekaligus diberi tugas sebagai Ketua Jurusan Karawitan ASTI Bandung, yang sesungguhnya merupakan hasil integrasi antara ASKI dan ASTI Bandung. Melalui pendidikan seni formal inilah, Mang Koko berharap agar ke depan para seniman harus bergelar sarjana, bukan bergelar 'Mang' seperti dirinya. Harapan Mang Koko tersebut akhirnya menjadi kenyataan, sehingga sekarang ini tingkat pendidikan seniman bukan saja sarjana, melainkan juga Magister dan Doktoral," tulis Tardi Ruswandi.
(iqk/iqk)