Kehidupan di dalam penjara yang keras harus dirasakan tidak hanya oleh orang dewasa. Anak-anak balita juga banyak yang harus merasakan kerasnya hidup dari balik jeruji besi.
Bukan karena tersandung kasus, mereka anak-anak terpaksa ikut ibunya yang menjadi narapidana. Kondisi itu diperparah juga oleh persoalan overcrowding alias kelebihan kapasitas yang ada di penjara-penjara di Indonesia.
Anak-anak yang hidup di dalam penjara harus kehilangan hak-hak mereka sebagai anak kecil, seperti bermain dengan bebas hingga mendapat asupan gizi yang cukup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi inilah yang digambarkan oleh Lamtiar Simorangkir dalam film dokumenter buatannya berjudul 'Invisible Hopes'. Film ini mengisahkan tentang kehidupan anak-anak dan perempuan di balik jeruji besi karena harus ikut dengan sang ibu.
Film Invisible Hopes sendiri dibuat Lamtiar dengan mengusahakan kehidupan dari dalam penjara di Lapas dan Rutan Pondok Bambu Semarang serta Sukamiskin Bandung.
"Kenapa saya bikin (film) ini, secara personal saya baru tahu di 2017 ada dan banyak anak-anak yang lahir dan dibesarkan di penjara," kata Lamtiar di acara nobar dan diskusi film Invisible Hopes di Bandung.
Lamtiar mengungkapkan kondisi tersebut sangatlah tidak adil dimana banyak anak-anak yang harus hidup di dalam penjara sementara seharusnya mereka layak mendapat hidup bebas di luar dengan penuh kasih sayang orang tua.
"Bagi saya itu tidak adil karena saya punya masa kecil bahagia dan bebas, saya punya orang tua yang melindungi dan membesarkan saya dengan kasih sayang," ungkapnya.
Melihat hal yang memilukan itu, Lamtiar lantas berkeinginan untuk membuat film pendek yang mengisahkan kehidupan anak-anak bersama ibunya di penjara. Ia ingin agar kondisi itu bisa diketahui banyak orang.
"Keinginannya itu sederhana, saya menemukan banyak orang yang tidak tahu bahwa anak-anak ini ada, lalu prinsip kita saat itu ingin menginformasikan kepada orang bahwa ini ada dan kita harus peduli gitu," ujarnya.
Namun betapa terkejutnya Lamtiar begitu mengetahui ada hal yang lebih mengkhawatirkan dari sekedar kehidupan anak-anak di dalam penjara. Lamtiar menemukan fakta lain yang tak kalah memilukan.
Ia mengaku banyak menemukan perempuan yang hamil dan melahirkan di dalam penjara saat melakukan riset dan syuting film Invisible Hopes. Dari fakta-fakta itulah yang kemudian membuat Lamtiar merubah filmnya dari film pendek ke film dokumenter berdurasi panjang.
"Namun ternyata saat riset dan syuting kita menemukan persoalan yang lebih kompleks seperti mulai perempuan hamil ditangkap, hamil, melahirkan dalam penjara, membesarkan anak, sampai anak keluar dari penjara. Ini akhirnya berubah jadi film panjang yang tadinya film pendek," ucap perempuan yang akrab disapa Tiar ini.
Tiar menjelaskan fakta-fakta di dalam penjara yang jarang orang ketahui itu perlu ada solusi sesegera mungkin. Sebab atas kondisi itu, anak-anak lah yang menjadi korban dan akan mengancam masa depan dari si anak.
"Persoalannya adalah yang jadi korban anak, itu persoalannya. Kalau misalnya yang korban hanya si perempuan mungkin kita bisa tutup mata. Persoalannya ini anak dan nggak ada yang bisa nolong. Dia tidak minta dilahirkan, dia gabisa berbuat apa-apa, ini yang jadi konsen kita," tegasnya.
Melalui film Invisible Hopes,Tiar ingin lebih banyak lagi orang yang sadar akan kondisi memilukan dibalik jeruji besi itu. Ia ingin pemerintah bisa hadir memberi perhatian dan solusi.
Hak Anak Tidak Terpenuhi
Selama melakukan proses syuting kurang lebih 6 bulan, Tiar melihat sendiri bagaimana hak-hak dasar anak tidak terpenuhi di dalam penjara. Bahkan untuk makan saja sulit.
"Hak mereka (anak) tidak terpenuhi, bahkan secara fisik dari makan tidak terpenuhi. Untuk kesehatan juga sama, belum lagi soal kehidupan sosial," ujarnya.
Kebanyakan kata Tiar, anak-anak yang ikut dengan orang tuanya di penjara berusia 0-3 tahun. Di usia itu padahal anak tumbuh kembang dari meniru apa yang mereka lihat.
Oleh karenanya Tiar menuturkan, banyak anak-anak yang kemudian berperilaku layaknya seorang narapidana, seperti ibunya.
"Waktu saya riset ada anak kecil dia dengar lonceng tahu masuk sel keluar sel. Bahkan saya melihat ketika apel pagi napi itu, dia ikut, artinya dia meniru kan dan ini yang dia gak tahu," ungkapnya.
"Kita lihat juga ada yang ibunya cerita, anak itu ngomong kasar, nyet njing itu yang jadi perhatian, semua laki-laki dewasa dipanggil ayah. Ini ada masalah apa dan harus diteliti lagi," ujarnya.
Jika kondisi itu tidak segera ditangani, Tiar khawatir banyak generasi penerus bangsa yang masa depannya terancam karena anak harus menjalani kehidupan di dalam penjara.
Menurutnya salah satu opsi yang harus dilakukan pemerintah adalah hadir untuk menyelamatkan anak-anak tersebut agar bisa mendapat hidup layak setelah orang tuanya harus mendekam di dalam penjara serta ditelantarkan oleh keluarga.
"Jadi bukan hanya persoalan ada anak disana, ini harus diteliti buat jadi solusi terbaik. Opsinya jangan cuma dua, diambil keluarga atau ikut ibunya. Harus ada opsi ketiga ketika itu tidak berfungsi negara harus ambil alih," pintanya.
"Misal ada shelter untuk menjaga anak sampai ibunya bebas. Atau ada anak yang tidak diinginkan, kan itu persoalannya misal anak yang dari hubungan tidak resmi solusinya gimana negara harus hadir," tutup Tiar.