Rambut Manusia hingga Peti Mati dalam Seni Reak dari Cileunyi

Reak Mendunia

Rambut Manusia hingga Peti Mati dalam Seni Reak dari Cileunyi

Cornelis Jonathan Sopamena - detikJabar
Sabtu, 06 Agu 2022 14:00 WIB
Ketua Reak Juarta Putra Anggi Nugraha.
Anggi Nugraha memprelihatkan barongan yang sering ditampilkan dalam kesenian Reak. (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Budaya dan seni Indonesia baru saja menorehkan prestasi dan jejak baru di kancah internasional. Kesenian khas Sunda, Reak, yang yang diwakili Reak Juarta Putra baru saja meramaikan Roskilde Festival 2022 di Denmark.

Seni Reak sendiri pada awalnya diperkenalkan oleh Abah Juarta pada 1930-an. Kendati demikian, beliau ternyata mulai memiliki berbagai peralatannya dari 1920-an, seperti barongan dan bedug.

Kinawa merupakan nama yang disematkan pada barongan pertama Abah Juarta. Barongan tertua se-Jawa Barat tersebut merupakan peninggalan dari karya tangan Abah Supatma, seorang pengrajin wayang golek yang legendaris.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dulu yang bikin Abah Supatma, orang sini, kang. Dia salah satu pengrajin wayang golek paling legendaris," kata Ketua Reak Juarta Putra, Anggi Nugraha (22) kepada detikJabar belum lama ini.

Barongan terdiri atas dua komponen, kepala yang terbuat dari kayu albasia dan berbagai rambut, serta tubuh yang terbuat dari karung goni. Ukuran karung goni yang digunakan sekitar 1,5 x 1 meter.

ADVERTISEMENT

Anggi menceritakan kisah tentang barongan tersebut dengan penuh rasa bangga campur haru. Sembari mengelus kepala barongan, Anggi menceritakan arti dibalik nama Kinawa.

"Nawa itu bisa diartikan sebagai menarik antusiasme gitu, kang. Kalau 'ki' nya itu kan orang Sunda terbiasa memberikan sebutan 'ki' bagi orang yang dihormati dan lebih dituakan. Jadi diberi nama Kinawa," ujar Anggi di halaman depan rumahnya.

Memiliki nilai historis yang sangat kuat, nyawa mistik pada seni Reak juga tidak dapat dipisahkan. Anggi menyebut kemistisan tersebut juga sebagian dari kepercayaan terhadap kesenian ini.

Bahkan, bagian kumis Kinawa dipercaya berasal dari almarhumah seorang gadis. Anggi menyebut bagian tersebut tidak diperbolehkan dilepas, direparasi, atau diganti.

Selain kumisnya, dikisahkan mulut Kinawa yang berbahan kayu tersebut berasal dari peti makam gadis tersebut. Sementara itu, rambut Kinawa terbuat dari helai buntut 70 ekor sapi.

"Ini kumisnya dari rambut asli manusia, dongengnya mah dari rambut gadis perawan. Nggak (pernah) direparasi kalau ini, dibilanginnya mah jangan dilepas. Kalau rambutnya dari buntut sapi, 70 ekor," tuturnya sambil tertawa melihat reaksi terkejut wartawan.

Menurut dongeng, barongan tersebut terinspirasi dari Abah Juarta yang mencari referensi hingga ke laut kidul, Pantai Parangtritis, Yogjakarta. Saat itu, kelompok beliau melihat ada sebuah kepala yang muncul di tengah laut. Menurut warga sekitar, makhluk tersebut tunggangan Ibu Ratu Kidul yang disebut Barong Mahkota Kencana.

Sekitar 5 tahun setelah Kinawa diciptakan, barongan lainnya bernama Kancana pun turut menemani. Nama Kancana sendiri diambil langsung dari istilah tunggangan Ratu Pantai Selatan tersebut.

Kancana memiliki karakter yang berbeda dengan Kinawa. Pasalnya, Kancana memiliki mata berwarna merah dan dibentuk memiliki tatapannya yang lebih tajam dan gagah. Sementara itu, Kinawa disebut lebih "kemayu" atau berlagak ayu layaknya wanita.

"Kinawa mah lebih kemayu, kalau si kancana cowok banget, gagah. Kancana tuh kakak-beradik lah dengan si ini (Kinawa)," ucap pemuda 22 tahun tersebut.

Perawatan hingga bumbu mistis. Simak di halaman selanjutnya.

Berumur sekitar 100 tahun, berbagai perawatan pun diberikan pada mereka, seperti dicat ulang, diganti rambutnya, dan dibersihkan karung goninya. Kini, Kinawa dan Kancana sudah diistirahatkan dan disimpan rapi dalam rumah Anggi.

Kesenian Reak ini juga dimeriahkan berbagai alat musik dan sepasang kuda lumping. Untuk membuat suasana semakin ramai dan megah, seperangkat alat musik tabuh yang disebut dogdog menjadi andalan sekaligus ciri khas.

Anggi menyebut permukaan dogdog sengaja menggunakan kulit kambing agar menghasilkan suara lebih nyaring. Pasalnya, kulit sapi dinilai terlalu tebal untuk digunakan.

"Ini pakai kulit kambing, soalnya kalau kulit sapi terlalu tebal. Kalau kulit kambing suaranya jadi lebih ngencring gitu," ujar Anggi sambil nengecat salah satu dogdog.

Ketua Reak Juarta Putra Anggi Nugraha.Perlengkapan kesenian Reak. Foto: Wisma Putra/detikJabar

Setiap minggunya, Reak Juarta Putra juga selalu mengadakan ritual untuk menjaga kualitas dogdog. Sayangnya, banyak orang masih menganggap hal tersebut tabu atau mistis.

Anggi menyebut ritual tersebut sangat dibutuhkan karena untuk membersihkan alat tabuh itu dari hama dan kutu. Ritual tersebut menggunakan kemenyan dan sesajian yang dibakar dan menghasilkan asap.

"Kalau kena asap terus dari menyan dan sesajian itu ya hilang hama dan kutunya. Jadi lebih terawat," katanya.

Setiap dogdog tersebut pun memiliki nama, yaitu Tilingtit, Bangplak, Bedug, Brung, dan Tong. Setiap anggota dogdog memiliki bunyi yang berbeda.

Selain dogdog, pertunjukkan seni Reak juga menggunakan dua alat musik lainnya, yaitu krecekan dan terompet. Totalnya, terdapat tujuh orang yang bertanggung jawab atas musik dalam penampilan kesenian ini.

Selain itu, seni Reak juga mempertunjukkan kuda lumping. Dalam satu penampilan, terdapat dua buah kuda lumping, satu berwarna putih dan satunya lagi berwarna hitam.

Terbuat dari rotan dan kulit, kuda lumping juga memiliki ciri khas sebuah lonceng yang disebut klenengan. Ketika bergerak-gerak, lonceng tersebut akan memberi lapisan suara untuk meramaikan kesenian Sunda itu. Kuda lumping ini juga memiliki arti, yaitu "eling ku na ngaping" yang berarti "ingat pada yang menyertai".

"Kalau ini namanya klenengan, ciri khas dari si kudanya. Lumping disini juga punya arti, kang, eling ku na ngaping," pungkas Anggi.

Halaman 2 dari 2
(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads