Sejarah terbentuknya Kerajaan Sunda merupakan perjalanan panjang dari beberapa kerajaan di Nusantara yang lebih dahulu ada di Pulau Jawa. Berawal dari kisah Salakanagara yang merupakan kerajaan tertua di Nusantara menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara yang merupakan bagian dari Naskah Wangsakerta yang konon naskah itu dibuat pada tahun 1600-an.
Dari versi naskah Wangsakerta itu, diyakini Salakanagara adalah cikal bakal suku Sunda, hal ini karena peradabannya memiliki kesamaan dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad.
"Tahun 1600 para budayawan dan sejarawan berkumpul lalu menyusun sejarah tatar sunda jadi ada nama Aki Tirem dan sebagainya. Masih sejaman dengan itu, para penulis Eropa ada yang menyebut Negeri Agire yang kurang lebih artinya perak atau Salaka," kata Irman Firmansyah, Pakar Sejarah dari Yayasan Dapur Kipahare yang juga pengarang buku Soekaboemi the untold story, kepada detikJabar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Irman mengambil banyak sumber literasi saat menceritakan kisah ini, diantaranya Babad Pasoendan, Preanger Regentschappen dan beberapa sumber lainnya. Menurut Irman, versi dalam naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda berdiri setelah adanya kerajaan Tarumanagara yang kemudian muncul kerajaan Padjajaran.
"Setelah Linggawarman (raja Kerajaan Tarumanegara terakhir) meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri," ungkapnya.
Dikisahkan Irman, Tarusbawa juga ingin melanjutkan Kerajaan Tarumanagara dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda. Kerajaan Sunda ini sebelumnya sudah ada dan menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara.
"Tarusbawa ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di Urasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa,"cerita Irman.
Alasan itu, karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua.
"Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Tahun 670 M, kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas. Sukabumi sebagai wilayah di barat Sungai Citarum otomatis masuk ke wilayah Kerajaan Sunda. Jadi wilayah Sukabumi sekarang masuk menjadi bagian kerajaan Sunda," paparnya.
Setelah itu masih kisah Irman, Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, di daerah pedalaman dekat hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sementara itu, Tarumanagara diubah menjadi bawahannya.
"Dia dinobatkan sebagai Raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya," jelas Irman.
Sanjaya kemudian mempersatukan Sunda dan Galuh sesudah terjadi peristiwa penumpasan kudeta di Galuh oleh Purbasora. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rakyan Panaraban (Tamperan). Menyatunya Sunda-Galuh menggabungkan kembali wilayah bawahannya yang terpisah seperti Tanjung Kidul," ucapnya.
Pada masa kerajaan Sunda ini sebuah prasasti menegaskan bahwa wilayah sukabumi menjadi tempat penting sebagai kabuyutan yang disahkan oleh raja melalui Prasasti Cibadak. Prasasti Cibadak ini terletak wilayah Cibadak, sukabumi, terdiri dari 4 buah batu bertulis yang ditemukan dialiran sungai Citatih. Sebuah batu ditemukan di kampung Pangcalikan, sedangkan tiga batu ditemukan di Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak, Sukabumi.
"Hasil terjemahan, prasasti tersebut dibuat pada tanggal 11 Oktober 1030. Temuan prasasti ini kemudian ditulis oleh Pleyte dalam artikel "Maharaja Cri Jayabupathi Soenda's Outdst Bekend Vorst", dengan mengetengahkan transkip mengenai "Prasasti Cibadak". (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10). Prasasti ini begitu penting karena membuka catatan sejarah Kerajaan Sunda yang sebelumnya samar dan gak jelas. Isi prasasti juga unik karena dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur," ujarnya.
Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, namun juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Prasasti Cibadak dikatakan Irman menjelaskan bahwa Raja Sunda Sri Jayabuphati telah membuat tapak di sebelah timur kabuyutan Sanghyang Tapak. Sungai yang sudah dibatasi tadi dilarang menangkap ikan dengan ancaman kutukan, sebuah metode keseimbangan alam masa lalu.
Masa Pajajaran
Masa Pajajaran sering identik dengan masa kekuasaan Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1482 - 1521). Portugis sendiri sampai tahun 1500an menyebut kerajaan ini Kerajaan Sunda. Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1474 - 1513).
Pakar Sejarah Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah menyebut seorang penulis asal Portugis yakni Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
"Secara sosial masuknya Islam ke Pajajaran tidak menjadi masalah bagi Sri baduga, namun kemunculan Kerajaan Islam di wilayah timur yaitu Demak yang ekspansif, secara politis menjadi masalah berat. Di sisi lain orang Eropa mulai berdatangan ke pantai-pantai utara, hal ini menyebabkan kemelut politik di Kerajaan Sunda terutama pasca Cirebon memproklamirkan diri sebagai kesultanan yang merdeka lepas dari pakuan Pajajaran," kisah Irman.
Kesultanan itu dikatakan penulis buku Sukabumi The Untold Stories itu terjadi pada bulan April 1482 M. Kondisi politik yang mengancam Pajajaran menyebabkan Sri Baduga melirik kekuatan Portugis di Malaka. Komunikasi awal dikisahkan Irman dibangun pada tahun 1512, dengan mengirim Sanghyang (Surawisesa) Putra Sri Baduga ke Malaka.
"Hal itu kemudian dibalas dengan kedatangan utusan Portugis bersama Tome Pires pada 1513 ke pusat Pajajaran, yaitu Pakuan. Hal ini menyebabkan Demak yang bermusuhan dengan Portugis melakukan provokasi-provokasi di pantai utara. Akibat tekanan Demak di pantai utara menyebabkan Pajajaran kembali mengutus Sanghyang ke malaka pada 1521 saat Jorge d'Albuquerque memimpin untuk mempercepat kerja sama, sehingga akhirnya kedua pihak menandatangani perjanjian dagang, terutama lada," ungkap Irman.
Pasca wafatnya Sri Baduga, kemudian digantikan oleh Surawisesa/Sanghyang (1522 - 1535 M). Penobatannya dihadiri oleh utusan Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522 oleh Henrique Leme.
"Salah satu butir perjanjian menyebutkan rencana Portugis mendirikan Benteng Militer di Sunda Kalapa untuk melindungi Pajajaran. Kondisi ini menyebabkan Demak semakin agresif, Raja baru meladeni sikap Demak dengan perlawanan," ucap Irman.
Saat itu Demak kemudian menunjuk Fatahillah untuk merebut Sunda Kalapa. Strategi yang dilakukan Fatahillah tidak langsung menyerang Sunda kalapa yang masih terjaga ketat, tetapi menyerang Banten yang sudah dihuni banyak muslim dan tidak diperkuat pasukan terbaik Pajajaran. Akhirnya, Banten dapat diduduki oleh pasukan Demak dan Cirebon pada akhir tahun 1526," pungkasnya.
Irman menyebut kisah ini sebetulnya belum berakhir, kondisi pendudukan Banten oleh pasukan Demak kisahnya terus berlanjut hingga ke penguasaan Kerajaan Banten dan kisah awal mula Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Kala itu Banten menjadi sebuah kerajaan besar dan berkuasa. Bahkan Banten membantu Cirebon dalam sebuah peperangan.
"Perang Pajajaran dengan Cirebon yang dibantu Banten dan Demak berlangsung 15 kali dalam kurun 5 tahun (1526-1531), Peperangan berlangusung sporadis termasuk mendekati wilayah Sukabumi sekarang yaitu di Tanjung Ancol kiyi (Ujung Genteng) dan Padang (Gunung Padang)," pungkasnya.
(sya/tey)