Pengolahan serta bertanam tembakau menjadi mata pencaharian bagi mayoritas Warga Desa Sukasari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Profesi ini telah menjadi tradisi yang telah digeluti warga secara turun temurun.
Penulis cukup kesulitan mencari sumber referensi terkait kapan pertama kali tradisi perkebunan tembakau muncul di Kabupaten Sumedang? Sehinggga Sumedang menjadi salah satu daerah sentra tembakau di Indonesia.
Dikutip dalam buku Departement Van Landbouw, Nijverheid en Handel-Teelt Van Tweede Gew Assen (A.J. Koens, 1925) paling tidak disebutkan bahwa saat itu tanaman tembakau ditanam di sebuah tegalan di distrik Tanjungsari, yakni di daerah Cijambu dan Jatiroke.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan tembakau juga ditanam di daerah Situraja dan Cimalaka. Waktu terbaik kala itu untuk menanam di tanah tegalan adalah bulan Februari dan Maret.
Dari catatan departemen pertanian, perindustrian dan perdagangan yang bertugas di Sumedang pada masa Hindia Belanda tersebut, setidaknya diketahui bahwa tanaman tembakau sudah ada sejak lama.
Dalam buku Petani Tembakau di Indonesia : Sebuah Paradoks Kehidupan (2015), disebutkan bahwa perkebunan tembakau di Indonesia baru dibangun pada 1800-an.
Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda mengawalinya dengan memperkenalkan sebuah rokok kretek kepada orang Jawa sebagai bujukan agar kemudian mau membeli komoditas tembakau.
Kretek pertama kali dibungkus 'klobot' atau daun kawung dan diikat dengan benang. Baru kemudian rokok kretek digulung dengan menggunakan kertas. Pertama kali diproduksi secara massal oleh Nitisemito di Kudus pada 1930-an.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa BaratSuryana menjelaskan sejarah perkebunan tembakau diSumedang pertama kali muncul di daerahCijambu, KecamatanTanjungsari pada masa kolonial Belanda.
"Saat itu dagangnya masih sangat sederhana, dimana masih menggunakan tanggungan yang dijajakan dengan sebuah wadah tembakau bernama dingkul oblok, di sanalah mereka berkumpul," ujarnya.
Suryana mengatakan, seiring berjalannya waktu, pasar tembakau pun berkembang lalu pindah ke sekitar kawasan Lanjung, Tanjungsari pada 1948. Kemudian pada tahun 1967, pasar itu kembali pindah ke pasar Sandang lama Tanjungsari.
"Insiden kebakaran di pasar sandang Tanjungsari membuat pasar tembakau kembali pindah ke pasar lelang yang sekarang di tempati," ujarnya.
"Pasar tembakau pindah ke pasar lelang Tanjungsari yang sekarang ditempati sejak Mei 2002," ucap Suryana menambahkan.
Suryana menyebut, petani tembakau di Kabupaten Sumedang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan catatannya, dari 27 kelompok tani tembakau pada 2009, kini sudah berjumlah hingga 233 kelompok tani tembakau.
"Dari lahan sekitar 2.500 hektar perkebunan tembakau, ada sekitar 250 ton tembakau yang dihasilkan dari Kabupaten Sumedang per musimnya," tuturnya.
Suryana menjelaskan, sentra komoditas tembakau di Kabupaten Sumedang dibagi ke dalam tiga jenis sentra. Pertama untuk sentra budidaya banyak terdapat di wilayah Darmawangi (Tomo), Ujungjaya, Parugpug , Jatigede dan Tanjungsari.
Kemudian untuk sentra pengolahan, banyak terdapat di Sukasari, Tanjungsari dan Pamulihan.
"Selanjutnya ada sentra pabrik lintingan , yaitu Sukasari, Tanjungsari dan Darmaraja," ucapnya.
Ia menyebut, komoditas tembakau Sumedang telah mampu mendistribusikan hasil produksinya ke berbagai daerah di Indonesia bahkan menjadi salah satu pemasok produksi rokok pabrikan.
"Sumedang sudah menjadi pasar internarsional tembakau, seluruh daerah di Indonesia, termasuk untuk pabrikan ada sebagiannya berasal dari tembakau Sumedang," ujarnya.