Riuh dan penatnya kehidupan perkotaan nampaknya juga terwujud dari aktivitas masyarakat di Kota Cimahi, Jawa Barat yang serba cepat. Terkadang menjalani kehidupan sosial sebatas formalitas demi menjaga eksistensi lingkungan tempat tinggal.
Belum lagi Kota Cimahi justru lebih sohor dengan kota tentara atau militer. Bukan tanpa alasan, di kota ini terdapat 13 pusat pendidikan militer, markas TNI, dan bangunan TNI lainnya. Kota Cimahi juga dikenal sebagai kota industri karena saking banyaknya pabrik yang bergerak di bidang tekstil.
Tak banyak yang tahu, di pinggiran Kota Cimahi ternyata ada sebuah kampung yang masih memegang tradisi leluhur. Tak tergerus modernisasi namun bisa menyeleraskan kehidupan dengan perkembangan zaman, namanya Kampung Adat Cireundeu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kampung adat yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi itu mampu menjaga eksistensi dan identitasnya sebagai representasi adat istiadat, budaya, dan kemajuan zaman.
Mengupas akarnya, Kampung Adat Cireundeu berasal dari kata 'Ci' atau 'Cai' yang berarti air, sedangkan kata 'Reundeu' berasal nama pohon reundeu. Pohon reundeu sendiri dikenal sebagai pohon yang daunnya merupakan bahan baku obat herbal.
"Cireundeu itu kan artinya air dan pohon reundeu. Jadi leluhur kami dulu menitipkan sumber air dan pohonnya yang berkhasiat untuk kesehatan. Dari nama itu ada filosofinya, alam dan kehidupan harus seimbang," ungkap Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya kepada detikJabar.
![]() |
Kampung yang sebagian masyarakatnya menganut kepercayaan Sunda Wiwitan itu diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 atau sekitar 500 tahun yang lalu. Para sesepuh atau karuhun yang ada diyakini sebagai sosok di balik lahirnya Kampung Adat Cireundeu di antaranya Eyang Nursalam, Eyang Ama, hingga Aki Madrais.
"Saat itu (penjajahan Belanda), Kampung Cireundeu sudah ada. Jadi sudah hampir 500 tahunan yang lalu sesepuh membuat dan tinggal di kampung di ini," katanya.
Mereka juga, kata Abah Widi, amat memegang teguh prinsip yang ditanamkan oleh leluhur mereka, yakni 'Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman'. 'Ngindung ka Waktu' bisa dimaknai jika masyarakat kampung Adat Cireundeu senantiasa menjaga adat, karakter, dan menjaga apa yang diajarkan leluhur. Namun mereka tak anti pada perubahan dan perkembangan zaman yang merupakan perwujudan frasa 'Mibapa ka Jaman'
"Dari prinsip itu kita umumnya sebagai orang Sunda, tidak boleh kehilangan kesundaannya. Tapi kita juga harus bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman," ucapnya.
Hal lain yang masih dipertahankan masyarakat Kampung Adat Cireundeu namun mungkin sudah ditinggalkan oleh banyak orang, yakni bagaimana menyeleraskan kehidupan, kepercayaan, dengan alam atau hukum alam Tri Tangtu yang berarti Gusti yang mengasih, alam yang mengasah, dan manusia yang mengasuh atau mengurus.
"Kembali lagi, ketika orangtua kita tinggal di Kampung Cireundeu dulu, itu alam, kepercayaan, dan kehidupannya seimbang. Bagaimana nama itu selaras antara manusia dan alam. Cara merawat alam, cara mensyukuri pemberian gusti, dan kita jangan merusak alam," tuturnya.
![]() |
Toleransi Kehidupan Beragama
Pembicaraan mengenai agama dan kepercayaan boleh jadi amat sensitif. Alangkah baiknya, pembicaraan itu juga bisa diimbangi dengan realita para pemeluk dan penghayatnya menjalankan ritual yang mereka yakini.
Di Kampung Adat Cireundeu, pemeluk agama Islam bisa berbaur dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan tanpa ada kekhawatiran sama sekali. Misalnya ketika warganya yang muslim menjalankan ibadah puasa Ramadan, sementara penghayat Sunda Wiwitan menjalankan ritualnya.
Sunda Wiwitan sudah lahir dan diteruskan oleh para anak, cucu, hingga cicitnya di Kampung Adat Cireundeu. Kepercayaan itu terus dipupuk ratusan warga di tengah sebagian pemeluk Islam. Sunda Wiwitan sendiri merupakan kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda
Di Kampung Adat Cireundeu, dari 400 kepala keluarga (KK) yang tersebar di wilayah RW 10, ada 60 KK atau sekitar 240 jiwa masyarakat yang menjadi penganut Sunda Wiwitan. Mereka saling menghormati saudara yang tengah berpuasa, pun sebaliknya yang berpuasa pun menghargai yang tak berpuasa.
"Ini namanya 'Silih Ajenan' atau saling menghormati. Harus menjaga toleransi umat beragama atau bahasanya itu silih ajenan. Tidak boleh membedakan kepercayaan. Dalam kehidupan itu ada welas asih, undak usuk, silih asah silih asih," tutur Abah Widi.
Dalam menjalankan ritual peribadatan, baik warga yang beragama muslim maupun mereka penganut Sunda Wiwitan sama sekali tak pernah saling mengganggu maupun terganggu.
"Dalam keagamaan dan kegiatan apapun ya kita harus saling menjaga. Misalnya abah kalau mau melaksanakan kegiatan upacara adat itu tentu izin dulu ke warga muslim. Sebaliknya warga muslim juga gitu, kalau ada kegiatan keagamaan pasti izin dulu ke penganut Sunda Wiwitan," katanya.
(yum/yum)