Salah seorang pelukis di sentra payung geulis Panyingkiran Tasikmalaya adalah Mak Iyah. Wanita berusia 77 tahun ini dapat dikatakan maestro pelukis payung geulis, karena sudah menjadi perajin payung geulis sejak masih belia.
"Sejak kecil sudah belajar melukis payung. Dulu mah semua warga Panyingkiran perajin payung geulis. Jadi pulang sekolah langsung belajar melukis atau membuat payung geulis, terus sampai sekarang," kata Mak Iyah kepada detikJabar belum lama ini.
Tangan Mak Iyah sangat cekatan melukis beragam gambar bunga. Dia mengaku punya sedikitnya 15 motif lukisan. Proses melukis payung tidak menggunakan pola, atau digambar dulu dengan pensil, melainkan langsung menggunakan cat.
Hasilnya tak pernah gagal, motif lukisan karya Mak Iyah selalu berhasil mencuri perhatian. "Langsung saja pakai cat, dipola di sini," jelas Mak Iyah sambil menunjuk kepalanya.
Hebatnya lagi, proses melukis payung yang dilakukan Mak Iyah relatif cepat. Dari pagi hingga tengah hari dia mampu menyelesaikan lukisan 30 payung. "Kalau yang ukuran kecil bisa 40, dari pagi sampai istirahat salat zuhur," ungkapnya.
![]() |
Keunikan lain dari keterampilan Mak Iyah melukis payung geulis adalah kuas cat yang digunakan. Rupanya dia membuat kuas khusus dari rambutnya sendiri. Alasannya menurut dia kuas dari rambut asli lebih lentur.
"Lebih enak pakai rambut. Batangnya pakai pipa alumunium kecil bekas antena TV. Jadi rambut dimasukkan ke lubangnya, lalu diikat. Makanya rambut saya pendek, habis dipotong buat kuas," tuturnya diiringi tawa.
Mak Iyah punya 15 motif lukisan. Tapi yang biasa dia lukiskan selama ini hanya 10 motif saja. Sisanya jarang digunakan karena motifnya rumit. Sehingga butuh waktu lama.
Yang menarik, ada satu motif yang sudah tak pernah lagi dilukiskan Mak Iyah karena alasan misterius. Yaitu motif Merak Ngibing atau dalam bahasa Indonesia berarti Merak Menari.
Alasannya karena konon motif itu bisa mundut nyawa atau dalam bahasa Indonesia menuntut nyawa. Sayang Mak Iyah enggan menjelaskan maksud dari mundut nyawa yang dikatakannya.
"Pokoknya tidak mau melukis Merak Ngibing," tegas Mak Iyah.
Pada setiap payung yang dilukisnya, Mak Iyah mendapatkan upah Rp 1 ribu untuk payung ukuran kecil dan Rp 1.250 untuk payung berukuran besar. Meski upahnya relatif kecil, namun Mak Iyah tetap menerimanya tanpa mengeluh.
"Tamba kesel (obat bosan) saja, lumayan dari pada diam di rumah nggak ada kerjaan," ucap Mak Iyah.
Dia mengaku sangat mencintai pekerjaannya ini, karena sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Namun demikian ada keresahan yang dirasakan Mak Iyah, yaitu soal regenerasi pelukis payung geulis. Bahkan anaknya sendiri pun tak ada yang tertarik belajar melukis payung.
"Anak-anak saya enggak ada yang mau belajar melukis payung," pungkasnya.
(ors/ors)