Suara mesin terdengar jelas begitu memasuki ruangan di salah satu sudut kawasan perpustakaan braille yang ada di Jalan Pasirkaliki, Kota Bandung, Jawa Barat.
Di sana, beberapa orang tampak sibuk menyusun lembar demi lembar kertas berwarna putih. Namun sebelum disusun, lembaran kertas putih ini terlebih dulu diolah menggunakan mesin tua yang ada di sana.
Kertas tersebut dimasukkan ke dalam pelat besi yang kemudian di press menggunakan mesin. Tekanan dari mesin itu akan menimbulkan tekstur menonjol di permukaan kertas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tekstur itulah yang kemudian akan memudahkan mereka para tuna netra untuk membaca ejaan huruf demi huruf yang dituliskan di atas kertas tersebut.
Tempat ini memang merupakan sebuah percetakan Al-Qur'an braille yang ada di Kota Bandung. Setiap harinya, ratusan lembar kertas dicetak dan disusun menjadi Al-Quran.
Percetakan Al-Quran braille ini merupakan milik Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG). Di bulan Ramadan, permintaan akan Al-Quran braille meningkat drastis dari bulan-bulan sebelumnya.
"Di momen Ramadan biasanya gairah saudara-saudara kita penyandang tuna netra di dalam membaca Al-Qur'an lebih meningkat sehingga permintaan lebih banyak dari bulan sebelumnya," kata Kepala Sekretariat YPGW Ayi Ahmad Hidayat belum lama ini.
![]() |
Dalam sebulan, Ayi mengungkapkan YPGW mampu mencetak hingga 100 set Al-Quran braille. Namun khusus di Ramadan tahun ini, permintaan meningkat hingga tiga kali lipat.
"Di bulan Ramadan ini beberapa mitra kita sudah memesan dari bulan-bulan kemarin dan kami sudah mencetak hampir 300 set Al-Quran. Kalau kapasitas biasa hanya 100 set," ungkapnya.
Menurutnya produksi Al-Quran braille di YPGW telah disalurkan hingga berbagai pelosok tanah air. Bahkan tidak sedikit pelanggan dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura yang memesan Al-Quran tersebut.
Gunakan Mesin Kuno Bersejarah
Yang menarik dari pembuatan Al-Quran braille di YPGW itu yakni penggunaan mesin kuno yang bersejarah. Mesin itu konon sudah digunakan untuk mencetak Al-Quran braille sejak tahun 1952.
Ayi menerangkan jika mesin itu merupakan hibah dari Yayasan Helen Keller International yang dihibahkan langsung Indonesia di zaman kepemimpinan Presiden Soekarno.
"Sejarah mesin ini tahun 1952 ada sebuah yayasan dari Amerika, mereka memesan mesin (braille) ke Thomson hanya 6 buah untuk dibagikan ke seluruh dunia dan Indonesia kebagian satu," ujarnya.
Sebelum ada di Bandung, mesin tersebut sempat ditempatkan di Jakarta. Meski sudah berpuluh-puluh tahun digunakan untuk membuat Al-Qur'an braille, namun mesin tua tersebut masih baik kondisinya.
"Masih baik kondisinya," jelas Ayi.
Ayi juga mengungkapkan jika penyandang tuna netra lebih senang membaca Al-Qur'an braille yang dibuat menggunakan mesin tua tersebut. Ia mengklaim Al-Qur'an braille cetakan mesin itu lebih memudahkan para tuna netra.
"Dibacanya lebih enak kata temen-temen tuna netra dari lada hasil print out. Jadi formatnya pakai mesin ini lebih bagus, lebih disenangi oleh teman-teman (tuna netra)," pungkasnya.
(bba/mso)