Rumah Megah Abad 19 di Sumedang, Ternyata Ini Pemiliknya

Rumah Megah Abad 19 di Sumedang, Ternyata Ini Pemiliknya

Nur Azis - detikJabar
Selasa, 22 Feb 2022 08:08 WIB
Bangunan Kolonial Abad 19 di Sumedang
Bangunan Kolonial Abad 19 di Sumedang. (Foto: Nur Azis)
Sumedang -

Sebuah rumah megah dengan gaya desain kolonial Belanda tampak kokoh berdiri di Kampung Ciburial, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Namun siapa sangka, rumah yang dibangun pada masa kolonial abad 19 ini nyatanya milik seorang pribumi dari sejak awal dibangun.

Rumah tersebut tampak begitu mentereng di tengah panorama alam pedesaan. Area pesawahan dan pegunungan menjadi pemandangan utama dibalik dua jendela besar di depan rumah.

Sementara untuk pelataran di belakang rumah dijaga oleh dinding alami berupa tebing tinggi berbatu. Gunung Tampomas pun seolah sedang mengintip dibaliknya dari arah kejauhan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bangunan Kolonial Abad 19 di SumedangBangunan Kolonial Abad 19 di Sumedang Foto: Nur Azis

Seperti model desain kolonial pada umumnya, bangunannya yang tinggi ditambah pilar-pilar dan dinding-dindingnya yang sangat tebal menjadikannya tampak kokoh dan berkesan klasik.

Rumah tersebut memiliki luas bangunan 400 meter persegi dengan total luas lahan seluruhnya sekitar satu hektar. Lahan itu termasuk dengan tanah pesawahan yang berada di depan rumah yang hanya terpisahkan oleh akses jalan warga.

ADVERTISEMENT

Sang pemilik rumah, Prof. DR. Ir. Agus Pakpahan menjelaskan, rumah yang ditinggalinya merupakan rumah peninggalan dari bebuyutnya yang bernama Bao Jayapraja dengan istri keduanya bernama Ineng (red : Bao adalah kakeknya kakek) yang dibangun pada akhir abad 19. Rumah tersebut sempat dibiarkan kosong selama 12 tahun lamanya hingga akhirnya ditinggali oleh keluarga Agus sebagai generasi kelima.

"Rumah ini peninggalan dari Bao Jayapraja yang diwariskan secara turun temurun," ungkap Agus pada detikJabar beberapa waktu lalu.

Sekilas untuk diketahui, Agus sendiri terlahir dari keluarga batak yang menikah dengan keluarga Sumedang tulen keturunan Cibolang atau dari keluarga istri keduanya Jayapraja bernama Ineng. Ayah Agus bernama A.G Pakpahan sementara Ibunya bernama Oya Toyibah.

Orang tua Agus dipertemukan saat ayahnya yang diketahui sebagai TNI AU sedang berdinas di Bandara Husein, sementara ibunya sedang bersekolah di Kepandai Putri pada sekitar tahun 1950-an.

"Saya kagum pada kakek saya dimana di zaman itu membolehkan anak perempuannya bersekolah ke Bandung, lalu setelah beres sekolah membolehkan menikah dengan pria batak. Bahkan pada zaman itu, menurut penuturan ibu saya, yang sekolah ke Bandung itu hanya 3 orang sekecamatan," terang Agus.

Agus mengatakan, selain sebagai seorang petani, bebuyutnya kemungkinan bukanlah orang sembarang di daerah sekitaran Cimalaka. Hal itu dapat terlihat dari warisan yang ditinggalkannya. Selain rumah megah, berikut dengan lahan pertanian yang cukup luas.

"Rumah megah model gini sebetulnya dua unit, cuma yang satu oleh buyut saya sudah di wakafkan dan kini menjadi kantor balai Desa Mandalaherang," tutur Agus.

Rumah yang ditinggali keluarga Agus, menurut ilmu arsitektur merupakan gabungan antara desain kolonial Belanda dengan sentuhan desain model Cina. Cirinya terlihat dari sejumlah ukiran yang terdapat di setiap dinding bangunan rumah.

Sebut saja seperti ukiran dinding berupa tiga ekor ikan dan ukiran bunga yang terdapat di setiap pilar dan atas jendela. Termasuk bubungan atap yang meliuk seperti layaknya bangunan klenteng.

"Anak saya kebetulan seorang arsitek, dia bilang rumah ini bergaya 'Dutch-Chinese' gabungan antara desain keduanya," ungkap suami dari Nadina Alkatiri yang kini telah memiliki empat orang anak yang salah satunya lulusan arsitek Universitas Parahyangan (Unpar).

Rumah tersebut tampak begitu otentik lantaran setiap bagian banguanannya masih mempertahankan keorisinalitasannya. Salah satunya dapat terlihat dari gelondongan kayu jati sepanjang 20 meter yang menyangga di bagian langit-langit rumah.

"Pintu, jendela semua kayu jati dulu, termasuk dapat dilihat kayu jati di langit-langit rumah, itu kayu jati segede itu usianya berapa puluh tahun," ujarnya.

Bangunan Kolonial Abad 19 di SumedangBangunan Kolonial Abad 19 di Sumedang Foto: Nur Azis

Tidak hanya itu, bangunannya yang tinggi ditambah setiap ruangan memiliki jendela besar-besar, menjadikan sirkulasi udara disana cukup baik. Antara pintu depan dan pintu belakang segaris lurus seolah menjadi penghubung antara pekarangan depan dan pekarangan belakang.

"Kalau menurut saya, keunikan bangunan ini kalau buka jendela, itu lurus dari halaman depan sampai ke pekarangan belakang dan berakhir di sebuah tebing. Jadi arus udara sangat bagus," kata Agus.




(mso/tya)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads