Kota Sukabumi mencatat inflasi year-on-year (yoy) tertinggi di Jawa Barat pada Januari 2025, mencapai 1,50 persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan harga di berbagai kelompok pengeluaran, dengan makanan, minuman, dan tembakau sebagai penyumbang terbesar.
Berdasarkan salinan dokumen Perkembangan IHK (Indeks Harga Konsumen) Januari 2025 menunjukkan bahwa komponen makanan, minuman dan tembakau menyumbang inflasi sebesar 5,02 persen, disusul komponen pakaian dan alas kaki sebesar 1,29 persen dan kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,79 persen.
Inflasi juga didukung oleh kenaikan harga kelompok kesehatan sebesar 4,52 persen, kelompok transportasi sebesar 0,39 persen, kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 7,27 persen, kelompok pendidikan sebesar 4,46 persen, kelompok penyediaan makanan dan minuman atau restoran sebesar 3,9 persen dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 7,92 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks, yaitu kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 10,24 persen; dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 1,47 persen.
Kepala Sub Bagian Umum BPS Kota Sukabumi, Wisnu Eka, mengungkapkan bahwa inflasi tertinggi berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau, terutama dari sub minuman kopi bubuk, cabai, beras hingga rokok. Kopi bubuk memberikan andil 0,24 persen, diikuti minyak goreng (0,19 persen), telur ayam ras (0,13 persen), beras (0,12 persen), dan cabai merah (0,11 persen).
"Hasil survei menunjukkan peningkatan harga signifikan di kelompok ini. Andil tertingginya berasal dari kopi bubuk, cabai, beras, dan rokok," kata Wisnu kepada detikJabar saat ditemui di kantor BPS Kota Sukabumi, Kamis (13/2/2025).
BPS mencatat bahwa meskipun inflasi tahunan Kota Sukabumi lebih rendah dibanding Januari 2024 (2,57 persen), kenaikan harga kebutuhan pokok tetap berdampak pada daya beli masyarakat.
"Kita melihat inflasi year on year (yoy), month to month (mtm), dan year to date (ytd). Dalam 12 bulan terakhir, yang memiliki andil tertinggi adalah kopi bubuk, minyak goreng, dan telur ayam," ujarnya.
Menurut Wisnu, inflasi terjadi karena beberapa faktor, seperti tingginya permintaan, perilaku pedagang yang mengambil keuntungan hingga gangguan distribusi.
"Distribusi dan kebijakan pemerintah juga berpengaruh. Seperti sekarang, listrik mengalami deflasi karena ada kebijakan diskon tarif dari pemerintah," tambahnya.
Baca juga: Kecewa Warga Sukabumi gegara Air 'Tajin' |
Meski ada komponen yang mengalami deflasi, lonjakan harga makanan dan minuman tetap membuat inflasi Kota Sukabumi melampaui daerah lain di Jawa Barat. Sebagai otoritas moneter, kata dia, Bank Indonesia (BI) bertanggung jawab dalam mengendalikan inflasi agar daya beli masyarakat tetap stabil.
"Inflasi yang tidak terkendali bisa menggerus daya beli masyarakat dan melemahkan nilai mata uang. Makanya inflasi disebut silent killer bagi perekonomian," kata dia.
Untuk menekan inflasi, diperlukan strategi stabilisasi harga pangan dan efisiensi distribusi barang. Pemerintah daerah diharapkan bisa berkolaborasi dengan pelaku usaha dan masyarakat agar kenaikan harga tidak semakin membebani warga Sukabumi.
(yum/yum)