Pemprov Jawa Barat mencatat sejumlah tantangan yang dihadapi dalam sektor pertanian, terutama kesejahteraan petani dan buruh tani. Hal ini turut disorot oleh Sekretaris Komisi 2 DPRD Jawa Barat, R Yunandar Rukhiadi Eka Perwira.
Ia mengamati dalam catatan BPS tahun 2023, sektor pertanian menyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sekitar Rp221 triliun. Di tengah sumbangan tersebut, ada fenomena kesenjangan ekonomi yang sempat disorot Sekda Pemprov Jabar Herman Suryatman.
"Memang belum ada ukuran gini rasio atau ukuran kesenjangan khusus untuk petani. Walaupun, kemungkinan besar memang petani dan buruh tani termasuk bagian dari rakyat yang pendapatannya berada di bawah rata-rata pendapatan perkapita penduduk Jabar," kata Yunandar, Jumat (16/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yunandar mencermati bahwa kesejahteraan petani diukur menggunakan data NTP (nilai tambah petani) oleh BPS. NTP menjadi indikator perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran petani, yang semakin tinggi angka indeksnya maka semakin baik kesejahteraannya.
"NTP Jabar Juli 2024 naik 0,87 persen dibandingkan Juni 2024, dari 109,97 menjadi 110,92. Jadi pendapatan lebih banyak sekitar 10 persen dibandingkan pengeluaran. Ini tidak rugi, tapi juga tidak banyak marginnya untuk di saving atau untuk membiayai produksi berikutnya," ucap Yunandar memaparkan.
"Kesenjangan ekonomi ini bisa terjadi karena beberapa faktor yakni kurangnya pendidikan dan penguasaan iptek dikalangan petani, pun semua rakyat Jabar. Nilai tambah terhadap hasil produksi juga kurang. Rata-rata petani hanya menghasilkan gabah kering, bukan padi atau produk olahan lainnya jadi nilai jualnya rendah," lanjutnya.
Menurutnya, harga produk pertanian juga masih dipatok tidak boleh terlalu tinggi, hal ini agar tidak terjadi inflasi atau tidak terjangkau konsumen. Tapi di sisi lain, petani juga dibuat bingung karena tidak ada produk pertanian alternatif yang bisa ditanam dengan nilai jual premium.
Padahal, biaya produksi pertanian, terutama tenaga kerja, pupuk, obat-obatan dan sewa lahan masih mahal. Bukan cuma petani, kata Yunandar usaha rakyat juga di sektor perdagangan dan industri juga masih kurang bernilai tambah.
Harga jual produk relatif rendah dan masih kalah bersaing dengan produk impor. Apalagi, kata dia, pasar semakin menyempit karena daya beli kelas menengah semakin berkurang, terdampak kondisi ekonomi nasional dan global.
Hal ini turut berdampak pada keputusan ekonomi yang dipilih masyarakat. Seperti diketahui, Jawa Barat menduduki peringkat pertama yang warganya punya utang terbanyak ke pinjaman online (pinjol). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, jumlah pinjaman warga Jabar ke pinjol mencapai Rp13,8 triliun.
"Pinjol ini sebenarnya juga tidak berbeda jauh dengan lintah darat tradisional atau biasa disebut bank keliling atau bank emok. Seperti memberi kemudahan, meminjam dengan bunga sangat tinggi. Mereka hadir karena pemerintah tidak memberikan solusi pembiayaan bagi sektor pertanian. Tidak ada kredit khusus petani atau kredit khusus pertanian padi," ucap Yunandar.
"Kredit macet terjadi, dampak dari kecilnya pendapatan yang diperoleh oleh petani maupun peminjam pinjol lainnya. Ada kebiasaan berkembang untuk tidak membayar pinjaman pinjol selama tidak berhadapan dengan debt collector atau masuk ranah hukum. Sangat disayangkan, tapi NPL atau tunggakan yang tinggi disertai kasus pinjol menunjukkan hal tersebut," sambung dia.
Kini, Yunandar pun menyiapkan sejumlah catatan untuk Pemprov Jabar. Indeks gini di Jawa Barat kata dia, berakar dari kurangnya pendidikan dan keterampilan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
Pemprov Jabar menurutnya selain perlu menggalakkan lagi soal lapangan kerja, juga harus meningkatkan serapan produk lokal UMKM jabar melalui APBD hingga 75% nilai APBD. Dimulai dari ASN Pemprov Jabar yang wajib melakukan belanja produk lokal Jabar.
"Pemprov harus bisa memberikan nilai tambah kepada setiap produk pertanian atau lainnya sebagai bagian pengembangan produk. Selain itu bisa menyediakan kredit berbunga rendah tanpa agunan untuk petani, juga nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam," tutur Yunandar.
"Peluang pasar produk di Jabar juga harus dibuka lebih luas, baik di dalam maupun di luar negeri. Semua demi membangun kemandirian dan efisiensi bahan baku dan bahan mentah. Misalnya membangun industri yang terhubung dari hulu ke hilir, desa mandiri pupuk organik, dan desa mandiri pakan ternak atau ikan," lanjutnya.
Pertanian di Jabar juga harus dihadapkan pada alih fungsi lahan lahan pertanian dan anomali cuaca yang mengancam produktivitas padi. Pada 2024, Jabar menargetkan produksi 11 juta ton gabah kering giling (GKG) lebih tinggi dari tahun 2023 sebanyak 9,14 juta ton GKG.
DPRD Jabar pun ikut andil dalam perlindungan alih fungsi lahan itu. Yunandar mengaku sejumlah Perda disahkan untuk mendorong Pemprov lebih peduli dengan kondisi pertanian di Tanah Sunda.
"DPRD sudah sahkan di perda RTRW perlindungan terhadap lahan pertanian lebih dari 2 juta hektar, itu termasuk lahan sawah di dalamnya. Lahan itu dilarang untuk dikonversi menjadi bentuk lain termasuk pemukiman," ucap Yunandar.
"Nah kalau perubahan iklim, kami dorong perlu ada penelitian dan pengembangan teknologi. Misalnya teknologi pertanian smart farming dan precision farming, yang sudah difasilitasi melalui Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani," imbuh dia.
(aau/mso)