Disnakertrans Jawa Barat mencatat 4.800 ribu orang terkena PHK sepanjang 2022. Namun, data itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan data PHK yang dicatat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) maupun data nonaktif peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Kadisnakertrans Jabar Taufik Garsadi merinci, data Apindo mengenai perselisihan hubungan kerja mencapai 79.316 orang. Sementara BPJS Ketenagakerjaan mencatat ada 146.443 orang yang sudah nonaktif dari kepesertaan.
"Tapi data PHK yang tidak terlaporkan baik melalui Dinas, Apindo, Serikat Pekerja maupun pekerja yang tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atau tidak mengklaim JHT itu jumlahnya bisa lebih besar lagi," katanya saat dihubungi wartawan, Selasa (15/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi laporan potensi atau rencana PHK dari 25 perusahaan di Jabar binaan dari Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO-BWI (Better Work Indonesia). Tercatat, sebanyak 47.539 orang mengalami perselisihan kerja sepanjang 2022.
Taufik mengaku kondisi ini yang memicu data tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat menjadi tinggi dan melahirkan kasus PHK massal di industri padat karya. Dari hasil penelusuran Disnakertrans, penyebab kondisi ini disebabkan beberapa faktor.
"Pandemi jadi salah satu penyebab utamanya, terus terjadi perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan berkurangnya permintaan produk padat karya kita, ditambah adanya perang Ukraina dan Rusia. Kemudian kenaikan UMK di Jabar yang terlalu tinggi juga membuat kemampuan pengusaha tidak sanggup membayarnya secara merata, dan penurunan metode kerja di beberap industri," bebernya.
Ancaman PHK besar-besaran pun kini sedang mengintai sektor industri di Jabar. Namun, Disnakertrans sudah menyiapkan sejumlah rencana supaya PHK tersebut tidak semakin membesar dan berdampak buruk bagi para pekerja.
Salah satunya dengan memberi rekomendasi kepada perusahaan untuk mengurangi upah dan fasilitas pekerja di level atas, mulai dari tingkat manajer hingga direktur. Kemudian mengurangi shift kerja, membatasi atau menghapuskan lembur, mengurangi jam kerja serta mengurangi hari kerja buruh.
"Perusahaan juga kita beri opsi untuk meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu. Terus tidak memperpanjang kontrak pekerja yang masa kerjanya sudah habis, sampai ke opsi pemberian pensiun dini bagi karyawan yang sudah memenuhi persyaratan. Itu supaya masih tetap bertahan yah," tuturnya.
Sementara mengenai upah tinggi di beberapa daerah di Jabar, Taufik menyatakan pihaknya sudah meminta pengusaha untuk membuat kesepakatan kepada pemerintah pusat supaya ada relaksasi tentang pengupahan tersebut.
"Apalagi daerah yang memiliki UMK tinggi, kami mendorong asosiasi dan perkumpulan pengusaha di sektor padat karya supaya meminta ke pemerintah pusat membuat kesepakatan relaksasi pengupahan. Itu semua kita lakukan supaya pengusaha ini bisa bertahan," pungkasnya.
(ral/mso)