Harga telur ayam sedang melejit. Bahkan harganya menembus Rp 32 kilogram di Karawang.
Meski harga telur melejit, tak serta-merta peternak ayam petelur menikmati untung berlipat. Sebaliknya, justru peternak seret keuntungan. Salah satunya diungkapkan Dede Ismail, peternak ayam petelur asal Desa Cintalanggeng, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang.
Baca juga: Harga Telur di Bandung Masih Tinggi |
Dede menuturkan, naiknya harga telur ayam tak membuat usahanya makin moncer. Malah sebaliknya, ia harus putar otak agar beban biaya produksi tak menghancurkan usahanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang memang naik Rp 32 ribu, itu termasuk harga tertinggi. Tapi kita bukan kebagian untung, justru kebanyakan hampir bangkrut," ujar Dede ketika ditemui di kandangnya, Desa Cintalanggeng, Kabupaten Karawang, Rabu (31/8/2022).
Dede menuturkan, naiknya harga telur tersebut disebabkan naiknya harga konsentrat (pakan jadi) yang cukup tinggi, bahkan membebani biaya produksi.
"Sebenarnya naik ini karena konsentrat, mulai naiknya itu semenjak dua minggu lalu. Dan memang ini yang tertinggi mencapai Rp 375 ribu per karung," kata dia.
Untuk harga konsetrat per karung seberat 50 kilogram, kata Dede, dulu hanya sekitar Rp 300 ribu dan itu sudah diantarkan. Namun, kini harga per karung mencapai Rp 375 ribu dan belum termasuk ongkos kirim.
Untuk menyiasati harga pakan yang melonjak, Dede menanam jagung di lahan samping kandangnya. Ia pun memanfaatkan pupuk hasil olahan kotoran ayam di kandangnya.
"Saya tanam jagung, karena jatuhnya lebih murah. Saya mengakali pakan ini dengan cara mencampurkan bubuk jagung," ungkapnya.
Untuk harga pakan jagung, saat ini mencapai Rp 300 ribu per kuintal. Angka itu 50 persen lebih murah dari harga pakan konsentrat.
"Kita modal tenaga, jadi nambah dua kali, jadi menanam, mengurus tanaman sampai panen, menjemur, dan menggilingnya hingga jadi pakan ayam," imbuhnya.
Dengan cara itu ia mampu memangkas biaya produksi hingga 30 persen imbas dari kenaikkan harga pakan tersebut.
"Supaya usaha tetap jalan aja, kita hemat biaya produksi meskipun sebenarnya jumlah keuntungan tetap lebih kecil dari harga normal," tuturnya.
Soal harga telur yang dijualnya, Dede mengakui menjualnya dengan harga lebih mahal dibanding biasanya. Hal itu mau tidak mau dilakukan karena biaya produksi yang naik.
Di kandangnya, rata-rata panen per hari sebanyak satu ton telur. Dede mengaku saat ini ia lebih memilih menjual telurnya dengan cara mengecer ketimbang kepada agen.
"Sekarang ini saya tahan dulu ke agen, saya milih keluarkan ke warung-warung eceran," ungkapnya.
Jika dijual eceran, Dede mengaku, ia mendapat harga lebih baik dan bisa mengurangi beban biaya produksinya.
"Di agen telur saat ini hanya diterima seharga Rp 26ribu, kalau di eceran saya bisa jual di harga Rp 28-29 ribu," pungkasnya.
Curhat Pedagang Bolu
Selain dikeluhkan Dede, Eva (23) warga Cintaasih, Kabupaten Karawang, juga mengeluhkan mahalnya harga telur. Sebab naiknya harga telur membuat ia kesulitan menjalankan usahanya.
"Saya jual bolu, telur tentu saja jadi bahan dasar yang wajib, karena jumlah pemakaian nya hampir sama dengan terigu," kata Eva.
Ia menuturkan, harga jual bolunya masih mengikuti harga normal yaitu Rp 30 per loyang. Jika harganya dinaikkan, ia justru kebingungan lantaran pembeli sudah memesannya sejak awal.
"Nggak bisa naik, mereka itu pesan sudah lama, misal acara hari ini pesan bolu bisa dua minggu lalu sudah pesan. Tentu bolu dipesan masih harga dulu," ungkapnya.
Eva mengaku, ia hanya bisa mengakali ukuran bolu dalam loyang, "Saya akali nuang adonan itu nggak full di loyang, jatohnya ukuran bolu lebih pendek," imbuhnya.
Eva mengaku, dengan harga telur normal Rp28 ribu ia dapat untung sekitar Rp 6 ribu per loyang. Namun dengan harga telur saat ini Rp32 ribu, ia hanya mendapat untung Rp 2.500 per loyang, itu pun dengan memperkecil ukuran bolu.
"Untuk usaha rumahan seperti saya tentu naiknya harga telur sangat mengganggu dan berpengaruh," kata dia.