Bergelar sarjana, tak membuat Jihan Nabila Savitri minder melakoni pekerjaannya sebagai petugas kebersihan di taman-taman Kota Surabaya. Komentar miring tak membuatnya patah arang.
Senin pagi, Jihan memindahkan tempat sampah, lalu menyapu dedaunan yang terserak di jalur pedestrian Taman Bungkul. Kepada detikJatim, ia mengingat tentang ungkapan seseorang kepadanya.
"Kamu itu sarjana, ngapain kerja menyapu," ujar Jihan menirukan seseorang kepadanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wanita berusia 27 tahun itu, sedianya adalah seorang sarjana manajemen ekonomi dari Universitas WR Supratman. Setelah lulus dari SMK Pemasaran pada 2017, ia meneruskan berkuliah sambil bekerja paruh waktu.
"Saya kerja sambil kuliah. Setelah lulus, saya tetap lanjut kerja. Sekarang punya 2 anak," kata Jihan kepada detikJatim.
Saat ini Jihan bekerja sebagai petugas kebersihan dengan status pegawai paruh waktu. Dia jelaskan bahwa program itu berada di bawah Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang membagi skema kerja Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi penuh waktu dan paruh waktu.
"Di Surabaya ada PPPK penuh waktu sama paruh waktu. Alhamdulillah, saya kerja di sini," ujarnya.
Sebelum menjadi tukang sapu, Jihan pernah bekerja sebagai admin di Taman Flora dan kawasan Taman Dolly. Ia juga dikenal aktif dalam kegiatan kepramukaan dan organisasi lingkungan sejak muda.
Ketertarikan pada isu lingkungan membuatnya terlibat dalam pengelolaan bank sampah, mesin pengolahan kompos, hingga komposter aerob dan hidroponik. Tak jarang ketika rasa lelah menghampiri Jihan tetap berkata kepada suaminya bahwa ia lupa rasanya capek.
"Aku kan cewek, tapi kerjaan cowok kok tak lakuin (saya juga kerjakan)," ujarnya.
Momen paling mengharukan baginya adalah ketika anaknya menyadari kelelahan sang ibu.
"Bunda kalau sapu-sapu capek ya? Bunda capek, duduk dulu yuk," ucap anaknya suatu hari.
Perjalanan hidup Jihan diwarnai masa sulit Pandemi COVID-19. Anak keduanya lahir di tengah situasi krisis. Ia harus kembali bekerja tak lama setelah melahirkan, bahkan mengalami kendala saat menyusui.
"Zaman corona. Anak umur lima bulan nggak mau ASI, habis vaksin. Akhirnya terpaksa pakai susu formula," kenangnya.
Jihan Nabila, salah satu perempuan petugas kebersihan di Kota Surabaya. Foto: Fadya Majida Az-Zahra/detikJatim |
Meski demikian, Jihan menolak larut dalam keterpurukan. Ia memilih menjadikan pekerjaannya sebagai bagian dari hobi dan bentuk pengabdian.
"Aku nggak patah semangat. Suami kasih motivasi, jadi kerja ini aku anggap kayak hobi aja," ujarnya bersyukur memiliki suami yang suportif.
Namun selepas bekerja seharian, tugas Jihan belum selesai. Setibanya di rumah, ia langsung menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Memasak, mencuci pakaian, hingga merawat dua anaknya menjadi rutinitas harian yang tak bisa ditinggalkan.
"Pulang kerja ya kewajiban keluarga. Masak, nyuci, ngurus anak," tuturnya.
Anak-anaknya, Yasmin dan Ozil, menjadi sumber semangat utama Jihan. Ia kerap menanamkan nilai keteguhan dan persaudaraan kepada keduanya, meski mereka telah kehilangan orang tua.
"Nak, jangan sampai berantem, tetap rukun sama saudara, sama om, nenek. Jangan patah semangat cari cita-cita," pesan Jihan kepada kedua anaknya.
Bagi Jihan, profesi tukang sapu bukanlah aib. Ia ingin anak-anaknya tumbuh dengan mental kuat dan tidak minder dengan kondisi orang tuanya.
"Meskipun bunda ayah tukang sapu, tetap berjuang cari uang dan cita-cita," katanya.
Bagi Jihan, bekerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan upaya bertahan hidup dan memberi contoh pada anak-anaknya bahwa pendidikan tinggi tak selalu berujung pada pekerjaan bergengsi, tetapi pada keteguhan dan kejujuran dalam menjalani hidup.
Artikel ini telah tayang di detikJatim
(yum/yum)











































