Suasana mencekam menyelimuti Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Sabtu (20/12/2025).
Di bawah guyuran hujan, kampung yang sempat dijuluki sebagai 'Kampung Mati' karena ditinggalkan warganya ini tampak tidak terawat.
Pantauan detikJabar di lokasi, rerumputan liar dan semak belukar mulai menjalar tinggi menutupi pekarangan hingga teras rumah-rumah warga yang telah ditinggalkan. Beberapa bangunan rumah permanen tampak kosong melompong, sebagian kondisinya miring dan retak akibat pergerakan tanah yang terus menggerus fondasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah kebisuan puing-puing tersebut, sebuah pemandangan kontras terlihat di salah satu dinding rumah berwarna biru. Sebuah kain putih lusuh membentang dengan tulisan tangan berwarna merah yang menyayat hati.
"Kapan Kami di Relokasi Apa Nunggu Ada Yang Mati Dulu?"
Tulisan di spanduk itu bukan sekadar coretan, melainkan jeritan frustrasi ratusan warga yang sudah satu tahun hidup terkatung-katung menanti kepastian.
Janji DTH dan Relokasi Cuma 'Iming-iming'
Tokoh Masyarakat Kampung Gempol, Hasyim, yang ditemui di lokasi tak kuasa menahan kekecewaannya. Ia menyebut warga hidup dalam ketakutan karena pergerakan tanah masih aktif, termasuk kejadian susulan pada Kamis (18/12/2025) lalu.
Namun, ketakutan itu kini bercampur amarah karena janji pemerintah, khususnya BNPB, tak kunjung nyata.
"Masyarakat pada waktu itu memang ada perjanjian, ada istilah iming-iming lah dari pihak BNPB. Beliau menjanjikan korban bencana akan menerima Dana Tunggu Hunian (DTH)," ungkap Hasyim dengan nada tinggi.
Hasyim merinci, janji tersebut berupa uang sewa hunian sementara sebesar Rp 600 ribu per bulan selama 6 bulan, sembari menunggu rumah relokasi dibangun. Namun faktanya, uang itu tak pernah sampai ke tangan warga.
"DTH enggak datang, pembangunan enggak ada realisasi. Masyarakat menunggu saat itu sampai sebulan, dua bulan, tiga bulan berjalan, itu yang namanya alat berat belum action," tegas Hasyim.
Padahal, menurut Hasyim, skema relokasi sudah sangat jelas. Lahan seluas 7 hektare milik Dinas Perkim di dekat desa sudah disiapkan. Bahkan, ploting kapling untuk warga RT 01 dan RT 02 sudah diatur di atas kertas.
"Kepercayaan masyarakat sampai hari ini sudah habis, semuanya cuma hanya janji doang. Kalau begini terus, warga masyarakat sampai bertanya, apakah ini menunggu korban jiwa ?" keluh Hasyim.
Berdasarkan data verifikasi akhir, Hasyim menyebut terdapat 101 Kepala Keluarga (KK) yang dinyatakan valid harus direlokasi karena rumahnya berada di zona merah, menyusut dari data awal 113 KK setelah dilakukan verifikasi ketat.
Warga Terpaksa Balik ke Zona Bahaya
Dampak dari tidak cairnya bantuan tersebut sangat fatal. Ketua RT 01 RW 07 Kampung Gempol, Teteng, mengungkapkan fakta miris bahwa banyak warganya yang sempat mengungsi kini terpaksa kembali menempati rumah rusak mereka di zona bahaya.
Alasannya sederhana namun pilu, mereka kehabisan uang untuk membayar kontrakan.
"Tadi kan beberapa warga ini terpaksa kembali lagi, padahal sebelumnya mereka sempat mengontrak. Itu masalahnya nggak dibayar kontrakannya," ujar Teteng.
Teteng menjelaskan, saat awal bencana, warga bersedia pindah dan mengontrak rumah di wilayah aman seperti Cikadu hingga Palabuhanratu karena memegang janji tertulis di atas meterai.
"Tadinya kan masalahnya perjanjian ya di atas segel, tanda tangan untuk memberikan uang. Nah itu enggak ada muncul-muncul uang kontrakannya, jadi balik lagi ke sini," beber Teteng.
Saat dikonfirmasi siapa pihak yang memberikan janji tersebut, Teteng menjawab singkat, "Itu dari BNPB," lirihnya.
Warga sebenarnya sempat ditawari lokasi sementara di area Balai Desa. Namun, menurut Teteng, lokasi tersebut ditolak warga karena kondisinya dinilai sama-sama rawan pergerakan tanah.
"Tempatnya di balai desa, cuman itu kan enggak cocok ya. Istilahnya sudah dikontrol begini, tapi kayak begini tempatnya masih sama-sama gitu (kondisinya), buat apa," pungkasnya.
Sekadar diketahui, Kampung Gempol mengalami bencana pergerakan tanah dahsyat pada akhir tahun 2024 silam, tepatnya bermula pada awal Desember 2024.
Fenomena alam ini memporak-porandakan puluhan rumah warga hingga fasilitas pendidikan, dan memaksa wilayah tersebut dinyatakan sebagai Zona Merah atau area terlarang untuk hunian oleh tim Geologi.
Sejak saat itu, kampung yang dulunya ramai ini perlahan ditinggalkan hingga kondisinya kini nyaris tak berpenghuni bak 'kampung mati', menyisakan puing-puing bangunan yang kian rapuh dimakan usia dan cuaca.
(sya/dir)











































