Lorong Waktu

Saat Dunia Terbelah 1954: Ya untuk Tiongkok, Tidak untuk Israel

Andry Haryanto - detikJabar
Kamis, 09 Okt 2025 08:00 WIB
Foto dokumen pertemuan petinggi lima negara asia di Bogor pada Desember 1954 untuk mematangkan pertemuan monunental Konferensi Asia Afrika (Foto: Andry Haryanto)
Bandung -

Pada akhir tahun 1954, Istana Bogor menjadi panggung bagi pertemuan lima pemimpin Asia yang kelak menentukan arah sejarah diplomasi abad ke-20. Dari kota yang dulu bernama Buitenzorg itu, lahir keputusan penting yang membuka jalan bagi Konferensi Asia-Afrika di Bandung, perdebatan apakah Tiongkok harus diundang, dan apakah Israel patut disertakan.

Tulisan ini disusun berdasarkan jurnal ilmiah karya Andrea Benvenuti berjudul "Nehru's Bandung Moment: India and the Convening of the 1955 Asian-African Conference," diterbitkan dalam India Review, Volume 21, Nomor 2, halaman 153-180, tahun 2022, oleh Taylor & Francis Online (DOI: 10.1080/14736489.2022.2080489).

Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru datang ke Bogor dengan pandangan yang tegasm bahwa Asia tidak bisa menutup pintu bagi Tiongkok. Ia menilai tidak mungkin mengecualikan Tiongkok, karena keputusan semacam itu akan bertentangan dengan kebijakan India yang selama ini mendukung keanggotaan Tiongkok di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bagi Nehru, mengundang Tiongkok bukan soal ideologi, melainkan pengakuan terhadap realitas geopolitik baru di Asia pascakolonial. Ia ingin membangun tatanan regional yang berlandaskan Five Principles of Peaceful Coexistence non-agresi, non-intervensi, kesetaraan, saling menghormati, dan hidup berdampingan secara damai.

Dukungan terhadap pandangan Nehru datang dari sahabat sekaligus penasihatnya, V. K. Krishna Menon. "Tidak terpikirkan untuk mengadakan konferensi Asia tanpa keikutsertaan Tiongkok dan Jepang," tulis Menon dalam suratnya kepada Nehru.

Menon juga memperingatkan bahwa mengecualikan Beijing justru akan mendorongnya lebih jauh ke dalam blok Sino-Soviet dan mengeluarkannya dari konteks Asia.

Konferensi Colombo Powers yang berlangsung pada 28-29 Desember 1954 di Istana Bogor berjalan singkat namun menentukan. Benvenuti menggambarkan suasananya sebagai hangat dan bersahabat. Berbeda dengan pertemuan Kolombo yang penuh ketegangan. Namun, di balik suasana itu, perdebatan tentang Tiongkok dan Israel menjadi inti pertemuan.

Perdana Menteri Pakistan Mohammed Ali Bogra menolak keras usulan untuk mengundang Tiongkok, khawatir negara-negara Arab, Thailand, dan Filipina akan menolak hadir.

Namun U Nu, pemimpin Burma, menentang keras pandangan itu. "Konferensi akan gagal tanpa kehadiran Tiongkok," tegas U Nu.

Ia bahkan mengancam tidak akan hadir bila Beijing dikecualikan. Pandangan ini kemudian dikuatkan oleh Nehru, yang menengahi perdebatan dengan argumen diplomatik. Nehru menyebut bahwa Tiongkok tidak memiliki niat menumbangkan negara-negara tetangganya.

"Rakyat Tiongkok pada dasarnya adalah orang-orang Tionghoa, bukan komunis," ucap Nehru.

Indonesia di bawah Ali Sastroamidjojo mendukung posisi India dan Burma. Jakarta tidak ingin memusuhi Tiongkok, melainkan menjaga keseimbangan yang sesuai dengan semangat solidaritas Asia-Afrika. Ceylon, yang semula menolak, akhirnya ikut setuju. Akhirnya, kelima negara sepakat: Tiongkok diundang, Israel tidak.

Penolakan terhadap Israel bukan sekadar keputusan teknis, melainkan pertimbangan politis dan moral. Para pemimpin Asia sadar bahwa sebagian besar negara peserta, terutama dari Afrika dan Timur Tengah, masih berjuang melawan kolonialisme.

Mengundang Israel berisiko memicu ketegangan dengan dunia Arab yang kala itu menjadi bagian penting dari solidaritas Asia-Afrika.

Dalam komunike akhir, para pemimpin hanya menegaskan tujuan konferensi Bandung nanti untuk menumbuhkan niat baik dan hubungan bersahabat di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Serta mengeksplorasi kepentingan bersama mereka, tanpa menyebut nama Israel sedikit pun, sebagaimana ditulis Benvenuti.

Keputusan Bogor untuk mengundang Tiongkok tetapi menolak Israel menjadi tonggak penting dalam sejarah diplomasi Asia. Bagi Nehru, langkah itu bukan hanya manuver politik, tetapi bagian dari strategi membangun kawasan area perdamaian, sebuah Asia netral yang tidak terseret arus Perang Dingin. Ia berharap dengan mengundang Tiongkok, India dapat menambatkan Beijing dalam orbit perdamaian.

Namun, sebagaimana ditulis Benvenuti, "Nehru's Bandung moment was short-lived" momen keakraban dan hubungan India dan Tiongkok dalam beberapa tahun memburuk, dan cita-cita kawasan damai perlahan pudar.

Tetapi di Bogor, pada akhir Desember 1954, sejarah mencatat satu keputusan berani yang memberi arah baru bagi dunia pascakolonial: ya untuk Tiongkok, tidak untuk Israel.




(yum/yum)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork