Sekitar pukul sembilan pagi setiap harinya, Angga (40), biasanya telah siap memikul gerobak cuankinya untuk dijajakan di sekitaran Lapang Gasibu, Kota Bandung. Saat sebagian orang tengah beristirahat dari olahraga pagi, di sanalah Angga mulai mendulang rezeki.
Setelah mengais cukup rupiah dari pengunjung Lapang Gasibu, ia biasanya berpindah tempat ke sekitaran gerbang depan Gedung Sate Bandung. Di sana, warga dan wisatawan yang lalu-lalang mencari makan siang menjadi target pasarnya.
Aktivitas tersebut telah ia lakoni setiap hari, dari pagi hingga malam hari, sejak 15 tahun lalu. Biasanya, ia akan menutup lapak seiring dengan berakhirnya aktivitas di Lapang Gasibu, yakni di sekitar pukul 21.00.
"Tapi kalau lagi pengen, bisa sampai tengah malam. Biasanya di malam Minggu," ungkap Angga saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.
Namun, pada malam Minggu satu bulan lalu, ia memutuskan untuk pulang lebih cepat. Di hari itu, Sabtu 30 Agustus 2025, Angga memilih untuk meninggalkan lapak dagangnya meski jam baru menunjukan pukul tujuh malam.
"Ternyata masih ramai yang demo di Sabtu malam itu. Saya datang sore sekitar jam 15.30, sudah ada aksi lempar-lemparan. Jadi saya jualan cuma sebentar saja, langsung pulang weh. Serem ah," tuturnya.
Angga tak lain adalah salah satu dari sejumlah pedagang yang berjualan di sekitaran pusat aksi demonstrasi di Kota Bandung pada akhir Agustus lalu. Saat demo hari pertama pecah di depan gedung DPRD Jawa Barat dan berakhir ricuh, ia sedang berada di kampung halamannya di Cianjur.
"Waktu demo hari pertama tanggal 29 Agustus itu, saya lagi pulang kampung jadi enggak jualan. Saya lihat berita, dan dapat kabar dari teman-teman juga kalau demo-nya itu rusuh banget. Coba jualan di Sabtu, saya kira sudah enggak akan ramai," ungkapnya.
Prediksinya meleset. Ia pun mendapati dirinya memanggul gerobak kesana-kemari, berpindah-pindah tempat, menghindari keramaian dan menjauh dari batu-batu yang melayang.
"Kemarin itu ngeri jadinya, saya takut kena lemparan batu. Mau lanjut jualan juga, yang beli sudah enggak fokus buat jajan, sudah pada takut," tuturnya.
Meski demikian, beberapa mangkuk cuankie-nya berhasil berbuah rupiah. Angga pun segera membereskan lapaknya sebelum aksi ricuh semakin menjadi.
Diajak Demo
Di tengah suasana lemparan molotov berbalas gas air mata tersebut, Angga mengaku sempat mendapat ajakan dari salah satu peserta demo untuk turut mengikuti aksi. Sontak ia pun menolak.
"Hayu mang, ngiluan mang (Ayo ang, ikutan mang)," tutur Angga menirukan orang yang mengajaknya turun aksi.
Ia pun mengutarakan keengganannya. Ia teringat anak dan istri yang menunggunya di kampung halaman.
"Ah moal, ngeri. Aya budak jeung pamajikan (Ah nggak, ngeri. Punya anak dan istri)," balas Angga.
Ia tidak mengenali sosok yang mengajaknya untuk ikut turun aksi tersebut. Angga hanya mengingat pakaian yang dikenakan, yang disebut serba hitam lengkap disertai masker.
"(Yang mengajak) itu yang baju hitam lah. Pakai baju hitam, celana hitam. Kelihatannya bukan mahasiswa. Dia juga pakai masker, enggak dibuka wajahnya. Saya bilang enggak mau," papar Angga.
Pasalnya, ia menjelaskan, ia mengingat kejadian salah satu temannya sesama pedagang cuanki, yang terciduk aparat saat ikut melempar batu di aksi demonstrasi. Bedanya, sang teman tersebut mengaku ikut melempar batu karena keinginan sendiri.
Kala itu, saat demo Omnibus Law tahun 2020, ia mengatakan temannya tersebut ikut aksi melempar batu ke arah polisi yang berjaga karena terbawa suasana. Alhasil, pedagang tersebut pun diciduk aparat tanpa bisa mengelak.
"Ya prinsip masing-masing itu mah kan, mungkin dia pikir seru. Eh enggak lama diseret polisi, dagangannya terjungkir, di video juga jelas banget ada dia sedang lempar batu. Akhirnya ditahan, dan ditebus oleh bosnya," tuturnya.
Tak ingin bernasib sama, Angga mengaku selalu mencari aman dan mengutamakan keselamatan saat berjualan di situasi yang memanas seperti aksi-aksi demonstrasi.
"Kita mah kan enggak ikut campur, jangan sampai jualan saya jadi rusak. Kita dukung saja baiknya ke mana," ungkapnya.
(orb/orb)