Kisah Lekra Bandung yang Bubar Seiring G30S PKI

Lorong Waktu

Kisah Lekra Bandung yang Bubar Seiring G30S PKI

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Selasa, 30 Sep 2025 18:00 WIB
Koran de Preangerbode yang membahas tentang Lekra
Koran de Preangerbode yang membahas tentang Lekra (Foto: delpher.nl)
Bandung -

Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah partai peserta pemilihan umum di Indonesia yang berhaluan 'kiri' punya banyak sayap dalam bentuk lembaga. Termasuk di antaranya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Lekra mewadahi seniman dari berbagai bidang seperti dari seni sastra, seni tari, seni rupa, seni lukis, seni pertunjukan termasuk wayang golek, dan lain sebagainya, dengan kesamaan ide, bahwa seni untuk rakyat.

Di Bandung, pernah berdiri Lekra cabang Bandung. Menurut penelusuran detikJabar dari berita-berita pada koran de Preangerbode, Lekra Cabang Bandung resmi berdiri pada bulan Maret 1952.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Op 23 Maart zal de Lekra (Instituut voor Volkscultuur) afdeling Bandung een halve windu (vier jaren) bestaan," tulis Preangerbode 29 Februari 1956.

(Pada tanggal 23 Maret, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) cabang Bandung akan merayakan hari jadinya yang ke-setengah windu/keempat).

ADVERTISEMENT

Lekra cabang Bandung yang berkantor di Jalan Nangka nomor 25 Bandung, dan kadang menyelenggarakan rapat di Jalan Malabar nomor 2 ini, banyak mengadakan kegiatan. Perayaan 17 Agustusan hingga pertunjukan wayang golek menjadi kegiatan kebudayaan yang diramaikan oleh lembaga ini.

Pengurus Lekra cabang Bandung

Pada tahun 1955 diketahui struktur pengurus Lekra cabang Bandung seperti ini: "Sekretaris pertama A. Suchjar, sekretaris kedua Ibu Asiah Sukraatmadja, bendahara B. Ardiwidjaja, dan komisioner organisasi Rahmaen Subrata, dibantu oleh beberapa anggota pengurus lain yang mewakili berbagai cabang." tulis de Preangerbode 12 November 1955, dalam berita berjudul 'Nieuw bestuur Lekra afdeling Bandung' (Pengurus Baru Lekra cabang Bandung).

Uang Pertunjukan Seni untuk Kegiatan Sosial

Menjelang 17 Agustusan pada tahun 1956 di Bandung, Lekra memegang peranan dalam acara-acara memeriahkan peringatan hari Kemerdekaan RI tersebut.

Menurut de Preangerbode, 31 Juli 1956, orang-orang Lekra duduk di kursi kepanitiaan. Hal ini didasarkan pada hasil pemilu, di mana partai-partai besar menjadi bagian utama dari kepanitiaan.

"Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang telah mengukir namanya di kalangan masyarakat Bandung selama empat tahun berdiri, menerima pengakuan ini dengan menduduki tiga kursi di seksi kebudayaan untuk pertama kalinya tahun ini: Ketua Seksi Kebudayaan, Sekretaris-Bendahara Seksi Permainan Rakyat, dan Direktur Eksekutif Seksi Dekorasi dan Resepsi." tulis koran tersebut.

Selain itu, jika mengadakan pertunjukan seni dengan mengutip 'tiket', uang yang terkumpul dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya, beberapa bulan sebelum Agustusan tahun itu, ketika Lekra cabang Pembantu Coblong-Sekeloa merayakan HUT Lekra cabang Bandung, uang dari pertunjukan wayang dialokasikan untuk sosial.

"In het kader vp.n de viering van het vferjarig bestaan van de Lekra (Instituut voor Volkscultuur) afdeling Bandung, is de onderafdeling desa Tjoblong - Sekeloa voornemens op 25 Maart in samenwerking met de betrokken Lembaga Sosial Desa (Sociaal Desa-instituut) een wajangvoorstelling geven voor de inwoners van genoemde plaats. De nettoopbrengst komt ten goede aan de sociale zorg van Tjoblong." tulis de Preangerbode, 6 Maret 1956.

(Dalam rangka perayaan hari ulang tahun Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) cabang Bandung, cabang pembantu desa Tjoblong-Sekeloa bekerja sama dengan Lembaga Sosial Desa, berencana mengadakan pertunjukan wayang untuk warga desa pada tanggal 25 Maret. Hasil penjualan akan disumbangkan untuk kegiatan sosial Tjoblong.)

Lekra dan Wayang Golek

Tampaknya, pertunjukan wayang menjadi sarana yang amat penting untuk Lekra di Bandung dalam menyampaikan pesan-pesan ideologi mereka kepada rakyat. Hampir di banyak kesempatan, wayang yang dipertunjukkan dominan berasal dari Lekra.

Misalnya, peringatan perjuangan para pahlawan kemerdekaan yang digelar dua hari, menurut de Preangerbode 25 Maret 1957, diisi dengan berbagai kegiatan dan dihadiri berbagai elemen. Dari seluruh rangkaian kegiatan, di dalamnya ada mengheningkan cipta, penyalaan obor, dan kegiatan lain, termasuk acara penutup berupa pertunjukan wayang.

"Malam itu ditutup dengan pertunjukan populer lagu, tari, dan wayang di empat panggung, yang diselenggarakan dengan kerja sama Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan ISSI (Ikatan Seniman Sunda)." tulis koran tersebut.

Lebih dari itu, Lekra tampaknya hafal betul bagaimana wayang golek di Sunda diproduksi dan dimainkan. Utamanya, bagaimana cerita dibentuk. Dua tahun sebelumnya, Lekra kedatangan profesor dari Cekoslowakia yang tengah mengkaji wayang.

Koran de Preangerbode, 27 Desember 1955 mengabarkan misi kebudayaan Cekoslowakia, yang terdiri atas Profesor Dr. Otto Rodl dan Dr. Eva Vodovicka tiba di Bandung. Mereka tinggal beberapa minggu di Bandung dan akan mempelajari seni pewayangan Indonesia.

"Minggu pagi, mereka mengunjungi salah satu perajin wayang di Bandung, tempat berbagai tahapan proses pembuatan wayang didemonstrasikan kepada para tamu asing. Sekitar pukul sebelas, kedua profesor tersebut mengunjungi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga tempat berlangsungnya pertukaran informasi teknis tentang seni pedalangan di Cekoslowakia, serta bentuk-bentuk seni pedalangan tradisional dan modern yang terdapat di Indonesia," tulis koran tersebut.

Bubar Seiring G30S PKI

Para pelukis, para sastrawan, dan seniman pada umumnya yang aktif di Lekra bubar seiring dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah PKI melakukan pemberontakan yang terjadi pada 30 September 1965, atau yang dikenal sebagai kudeta gagal G30S PKI.

Sebanyak enam jenderal dan satu perwira meninggal dunia karena diculik dan dibunuh oleh kelompok Dewan Revolusi Indonesia yang isinya merupakan sebagian militer yang terafiliasi kepada PKI. Di dalamnya ada Letkol Untung yang divonis mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). PKI secara resmi dibubarkan sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966. Semua anggotanya 'dibersihkan'.

Dengan demikian, Lekra pun bubar, tak kecuali Lekra cabang Bandung. Para pentolan Lekra turut ditangkapi, termasuk tokoh kebudayaan Saleh Iskandar Poeradisastra atau Buyung Saleh.

Dia adalah seorang Sunda yang pernah hadir di Kongres Pemuda Sunda, di Bandung. SI Poeradisastra adalah putra tokoh komunis Banten, Poeradisastra. Ayahnya itu tertangkap Belanda di Garut.

SI Poeradisastra, demikian dia menggunakan nama itu sebagai nama pena, adalah sosok yang mampu berbulan-bulan saling berbalas opini di koran (berpolemik) dengan Soedjatmoko, anggota konstituante ketika itu.

Usai 1965, Buyung Saleh ditangkap dan dipenjara di Pulau Buru, Maluku. Sebagian dari orang-orang yang ada pertalian dengan PKI, terutama yang 'Golongan A' mendapat vonis hukuman mati.

Buyung Saleh yang Lekra-Sunda itu menjadi tapol dan kemudian dibebaskan kembali. Meski, setelah itu, kehidupan dirasanya semakin sulit karena pada Kartu Tanda Penduduk yang dia pegang, ada cap ET alias eks tapol. Cap itu menyulitkan siapapun yang memilikinya untuk mendapat kehidupan yang layak, bahkan sekadar sapaan dari tetangga.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads