Kala Petani Sukabumi Menua

Kala Petani Sukabumi Menua

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Rabu, 24 Sep 2025 15:31 WIB
Petani di Sukabumi
Petani di Sukabumi (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar).
Sukabumi -

Tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Momentum ini lahir dari semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960, yang menjanjikan pemerataan tanah dan kedaulatan petani. Namun, di lapangan, peringatan itu terasa getir bagi sebagian petani di Sukabumi.

Di Kampung Jajaway, Desa Citepus, Kecamatan Palabuhanratu, pasangan suami istri Pepen Supendi (58) dan Sopiah (54) masih setia menggarap sawah. Dengan tangan keriput, mereka menumpuk rumpun padi di atas terpal, sesuatu yang sudah mereka lakukan sejak kecil.

"Sudah 50 tahun di sini, dari bapak kemudian ke saya. Sejak masih berstatus lahan kontrak atau lahan perkebunan, masih hutan, sudah nyawah. Sebelum ada gedung-gedung pemerintahan, belum ada jalan," kenang Pepen, saat ditemui detikJabar, Rabu (24/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun di balik kesetiaan itu, ada satu kekhawatiran yang kian menguat, yakni tidak ada lagi penerus. Pepen dan Sopiah hanya memiliki seorang anak, dan ia memilih jalan hidup lain.

ADVERTISEMENT

"Punya anak satu, cita-citanya nggak mau jadi petani memang dari dulu sekarang dia bekerja di sektor lain. Padahal saya anak petani, keturunan petani. Tapi ya anak sekarang beda, lebih pilih kerja lain," ujar Pepen lirih.

Ada banyak persoalan yang menjerat petani di masa kini, terutama di kawasan perkotaan seperti Palabuhanratu yang merupakan pusat ibu kota Kabupaten Sukabumi.

Sopiah menjelaskan, biaya pupuk dan ongkos buruh kerap menggerus hasil panen mereka. "Kalau panen, hasilnya enggak cukup. Buat pupuk aja kadang susah, ditambah upah kuli gebuk, rokok, kopi. Panen belum habis, sudah mikir modal tanam lagi," ujarnya.

Situasi itu menurut Sopiah membuat pekerjaan bertani makin tak menarik di mata generasi muda.

Di sisi lain, lahan sawah yang dulu terbentang luas kini makin sempit. Gedung-gedung pemerintahan dan kawasan perumahan berdiri di atas lahan yang dulunya hijau.

"Dulu sawah lega (luas), sekarang banyak jadi perumahan. Petani yang dulu nyawah bareng entah kemana. Sawahnya sudah enggak ada," kata Pepen.

Keluarga ini pun tak pernah tergabung dalam kelompok tani. Akibatnya, ketika bencana menghantam lahan beberapa waktu lalu, mereka tidak mendapat ganti rugi.

"Dari dulu enggak pernah gabung kelompok tani. Jadi enggak tahu ada program apa-apa. Kemarin waktu bencana, habis semua sawah, enggak dapat apa-apa. Katanya karena enggak masuk kelompok tani," tutur Sopiah.

Kisah Pepen dan Sopiah bukanlah satu-satunya. Fenomena serupa dialami Aki Adom (62), seorang petani sepuh dari Kecamatan Cikakak.

Dengan tubuh yang renta, ia masih setia turun ke sawah setiap musim tanam. Di usia senja, ia tetap membungkukkan badan di pematang, meski sadar bahwa kelak mungkin tak ada lagi yang akan menggantikannya.

Namun, berbeda dengan dirinya, anak-anak Aki Adom memilih jalan lain. Mereka lebih senang mencari penghidupan di kota, jauh dari lumpur sawah yang membesarkan ayah mereka.

"Anak saya kerja di kota semua, ada yang di bengkel, ada yang kerja lain. Enggak ada yang mau nerusin sawah," ucapnya pelan.

Nada suaranya sarat pasrah. Ia tahu zaman sudah berubah. Sawah yang bagi dirinya adalah sumber hidup, bagi anak-anaknya hanya dianggap pekerjaan berat dengan hasil tak seberapa.

"Sekarang anak-anak maunya cari kerja yang cepat ada uangnya. Katanya kalau nyawah lama, hasilnya sedikit. Jadi ya saya biar sendiri," imbuhnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: DPR Dorong Pemerintah Bentuk Badan Pelaksana Reformasi Agraria"
[Gambas:Video 20detik]
(sya/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads